Blog

Fadli Zon: Ketua DPR “Ngibulin” Rakyat

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua DPR RI Marzuki Alie dituding melakukan pembohongan publik terkait rencana pembangunan gedung baru DPR RI. Tudingan tersebut dilontarkan oleh Fraksi Gerindra yang menegaskan pernyataan Marzuki, bahwa seluruh fraksi telah menyetujui rencana tersebut adalah bohong.

Maka, kami menyatakan menolak pembangunan gedung baru, karena mengkhianati keadilan rakyat.
— Fadli Zon

“Kami sudah secara tegas menolak pembangunan gedung baru, karenanya klaim semua fraksi mendukung tidak benar dan merupakan kebohongan publik,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Selasa (11/1/2011).

Menurutnya, klaim yang menyatakan bahwa semua fraksi telah mencapai kata sepakat sama sekali tidak benar karena Gerindra dengan tegas menolak. Fadli menegaskan, pembangunan gedung baru memakan dana Rp 1,3 Triliun. Oleh karena itu, pembangunan ini menunjukan absennya sensitivitas dewan terhadap kebutuhan rakyat. Padahal, dana yang besar itu bisa dikonversikan ke aspek lain, seperti kesehatan dan pendidikan.

“Maka, kami menyatakan menolak pembangunan gedung baru, karena mengkhianati keadilan rakyat,” tandasnya.

Dana Gedung Baru DPR Bisa Sejahterakan 22 Juta Rakyat Miskin

Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra secara tegas menolak rencana pembangunan gedung baru untuk wakil rakyat. Gerindra menyarankan dana pembangunan gedung baru yang diperkirakan menelan dana mencapai Rp 1,3 triliun itu, dialokasikan untuk mensejahterakan warga miskin.

“Kami secara tegas menolak rencana pembangunan gedung baru DPR. Rencana itu hanya menghamburkan uang rakyat, pengkhianatan terhadap amanat rakyat, dan mencederai rasa keadilan rakyat Indonesia,” tandas Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerinda, Fadli Zon, Selasa (11/1/2011) di gedung DPR, Jakarta.

Fadli menegaskan, fraksinya di DPR juga telah menolak rencana pembangunan gedung baru DPR. Gerindra telah mengirimkan surat secara resmi kepada pimpinan DPR.

“Klaim pimpinan DPR yang mengatakan semua fraksi mendukung adalah tidak benar dan pembohongan publik. Lebih baik dana pembangunan gedung baru DPR untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat saja,” tandas Fadli Zon.

Dana yang dialokasikan untuk pembangunan gedung baru DPR sebesar Rp 1,3 triliun itu diperkirakan akan dikeluarkan secara bertahap dari APBN 2010 sebesar Rp 50 miliar dan APBN 2011 sebesar Rp 800 miliar. Bila dihitung rata-rata, maka harga untuk satu ruangan anggota DPT dijatah Rp 2,2 miliar.

Dikatakan Fadli, jika dikonversikan untuk kepentingan rakyat, total dana gedung baru bisa untuk tambahan jaminan kesehatan masyarakat bagi 22 juta rakyat miskin selama satu tahun.

“Sementara jika dialihkan untuk pembangunan sekolah baru, dengan standar biaya pembangunan gedung sekolah senilai Rp 50 juta per ruang kelas, maka dana untuk pembangunan gedung DPR baru dapat membangun 12.000 gedung sekolah baru. Dana itu juga bisa untuk bangun rumah sederhana tipe 21, per unit Rp 60 juta, bisa terbangun 22 rumah baru,” papar Fadli.(*)

Gerindra: Manuver Taufik Kiemas Untuk Menyegarkan Suasana Politik

Munculnya nama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di posisi kedua sebagai calon Presiden 2014 dibawah Megawati Soekarnoputri berdasarkan hasil survei Indobarometer, mencerminkan saat ini masyarakat menginginkan adanya sosok pemimpin yang kuat, visioner, dan berani membela kepentingan rakyat.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Minggu, 9/1).

“Saya kira peluang Pak Prabowo masih sangat terbuka, dan jika Indonesia menginginkan ada perbaikan, maka kita memerlukan pemimpin yang sekarang ini ada karakterikstiknya pada Pak Prabowo,” ujar Fadli.

Sebagaimana diketahui, pada Pemilu lalu, Partai Gerindra pernah bermitra dengan PDIP melalui duet Mega-Prabowo. Setelah kalah di per­tarungan, kabarnya, banteng menjanjikan dukungan untuk Prabowo jadi Capres, pada Pemilu 2014 nanti.

Namun belakangan, manuver kandang banteng sepertinya tak fokus ke pencapresan Prabowo. Petingginya, Taufik Kiemas malah bermesraan dengan Demokrat. Dan terakhir, dia menyatakan bahwa PDIP akan memunculkan Capres dari kalangan muda, usia 40-50.

“Itu mah biasa. Itu namanya manuver politik. Biasa, sah-sah saja. Yang nanti menentukan adalah sikap resmi partai. Nah, tentu terlalu dini, terlalu pagi untuk sikap politik itu. Wong, Pemilu juga masih panjang,” ujar Fadli.

Politisi yang juga Sekjen HKTI ini juga menambahkan, wacana yang digulirkan Taufik Kiemas selain sebagai manuver yang sah-saja saja dalam politik,  hal tersebut juga dapat menjadi bahan untuk diskusi, perdebatan, dan untuk menyegarkan suasana politik.

“Jadi tidak perlu alergi dengan apa yang dilontarkan pak Taufik. Karena kita sebagai Parpol harus bisa menjalin kerjasama dari awal, termasuk Gerindra juga tidak menutup kemungkinan kerjasama dengan Demokrat, Golkar, atau dengan partai lainnya. Sepanjang sejalan melihat konfigurasi Indonesia ke depan, dan membela kepentingan rakyat,” tambah Fadli.

Fadli Zon: Mungkin Saja Kami Kerja Sama Dengan Golkar & Demokrat

Pada pemilu lalu, Partai Gerindra pernah bermitra dengan PDIP melalui duet Mega-Prabowo. Setelah kalah di per­tarungan, kabarnya, banteng menjanjikan dukungan untuk Prabowo jadi capres, pada pemilu nanti.

Tapi belakangan ini, manuver kandang banteng sepertinya tak fokus ke pencapresan Prabowo. Petingginya, Taufik Kiemas malah bermesraan dengan Demokrat. Dan terakhir, dia menyatakan bahwa PDIP akan memunculkan capres dari kalangan muda, usia 40-50.

Apakah Gerindra merasa dikhianati? Berikut ini wawan­cara Rakyat Merdeka dengan Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, kemarin.

Taufik Kiemas makin mesra dengan Demokrat. Dan PDIP sepertinya akan memunculkan capres dari kalangan muda. Apa­kah Gerindra khawatir “dikhianati” PDIP dengan wacana itu?
Wacana itu bisa menjadi dis­kusi publik atau bisa menjadi pemikiran kita bersama. Gagasan politik adalah hal yang wajar untuk diungkapkan. Tapi keputu­san politik pasti ditentukan oleh partai. Dan (partai PDIP) dalam hal ini Bu Mega yang akan me­nen­tukan.

Taufik Kiemas saat ini ber­mesraan dengan pemerintah. Apakah tak khawatir Gerindra ditinggal dan PDIP berkoalisi dengan Demokrat?
Ya, itu bukan usaha yang baru. Saya kira dalam politik, sikap seperti itu biasa-biasa saja. Se­bab, ujungnya adalah pendapat resmi dari partai.

Seandainya PDIP bergabung dengan Demokrat di 2014, ba­gaimana?
Saya tidak khawatir. Saya me­lihat bahwa tokoh-tokoh PDIP sendiri, terutama Bu Mega adalah orang-orang yang memegang kata-kata dan punya sikap. Kalau tidak punya sikap tentu dia sangat mudah tergiur oleh tawaran-ta­waran jangka pendek.

Kabarnya ada tokoh Gerin­dra yang marah dengan manu­ver itu?
Saya kira itu bukan marah. Tapi kurang lentur menyikapinya.

Dalam politik, melihat manu­ver tidak bisa dengan kacamata kuda. Harus dari berbagai per­spek­tif. Mungkin itu kesalahpa­haman saja. Kita tidak melihat hal itu sebagai sesuatu yang prinsipil. Itu wacana politik Pak Taufik Kiemas yang sah-sah saja.

Ada pengamat yang menilai Gerindra saat ini gelisah de­ngan manuver Taufik Kiemas.
Saya kita tidak begitu. Kami sama sekali tidak gelisah dan ma­rah. Kami optimis dan yakin bahwa rakyat saat pemilu 2014 akan memilih dengan lebih jernih demi perbaikan-perbaikan.

Seandainya, pada akhirnya, PDIP tidak memenuhi komit­men­nya, dan tidak men­du­kung pencapresan Pra­bowo, bagai­mana?
Saya tidak per­caya. Dinamika politik kita ma­­­sih pan­jang. Masih banyak yang mung­kin bisa terjadi. Kita tidak tahu, jangan-jangan nanti lebih banyak yang mendukung Pak Prabowo. Bisa saja begitu kan? Mungkin saja Gerindra bekerja sama de­ngan Demokrat atau dengan Golkar. Kita kan hidup dengan dinamika yang tidak statis.

Taufik Kiemas mengatakan PDIP baiknya mencalonkan pre­siden dari usia muda 40-50 ta­hun. Ba­gai­mana tang­ga­pan anda?
Itu kan usu­­lan be­liau. Saya kata­kan, sah-sah saja. Yang lain mungkin mengu­sulkan usianya 50-60 tahun, atau 25-30 tahun. (Bagi saya), jangan me­mandang usia. Ha ha ha. Boleh-boleh saja. Berbeda pen­dapat boleh. Sebab, berbeda pen­dapat baik-baik saja adanya.

Anda sepertinya tak yakin sikap Taufik akan jadi sikap PDIP.
Yang menentukan itu adalah keputusan politik yang resmi. Itu semuanya sedang berproses. Terlalu dini untuk mengungkap­kan formasi politik di 2014. Di dalam politik, sering kali yang menentukan adalah kepentingan.

Usia Prabowo pada tahun 2014 adalah 62 tahun.  Apakah ti­dak terlalu tua untuk capres?
Kita tidak melihat usia. Menu­rut saya, yang kita perlukan seo­rang pemimpin yang tegas, yang punya visi jauh ke depan, kapa­bel, punya integritas dan karakter kuat. Jadi, tua dan muda adalah relatif. Ada yang pemimpin tua yang berhasil. (Tapi) ada pemim­pin muda yang kurang berhasil. Begitu juga sebaliknya. Kalau muda tapi tidak berhasil, tidak ada gunanya bagi masyarakat.

Oh ya, adakah strategi khu­sus Gerindra untuk meme­nang­kan pemilu di 2014 nanti?
Ya, tentu ada. Terpenting ada­lah konsolidasi internal, organi­sasi dan konsolidasi ke dalam. Gerindra punya kelebihan soal itu dibanding (partai) yang lain.

Kami sudah punya calon untuk running sebagai Presiden. Jadi, kalau memilih Gerindra, kira-kira tahulah siapa yang akan dicalon­kan untuk jadi presiden. (Partai) lain masih belum tahu, siapa (calon­nya). Ini adalah hal yang menguntungkan posisi kami.

Bagaimana dengan cawapres Gerindra, siapa yang akan di­ajukan. Apakah sudah mengi­ra-ngira calon pendamping Pra­bowo?
Oh, kalau itu belum. Nanti ada saatnya. Ini masih terlalu pagi dan terlalu dini.

Kasus Gayus Puncak Kebobrokan Hukum Indonesia

Menggunakan nama Sonny Laksono, Gayus Tambunan diduga berwisata hingga Macau dan Kuala Lumpur. Jika benar, pria tersebut adalah Gayus, inilah puncak kebobrokan hukum di Indonesia.

“Ini luar biasa sekali. Baru pertama ada kasus seperti ini di Indonesia. Mungkin di dunia juga baru ada yang seperti ini. Inilah puncak kebobrokan hukum di Indonesia,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Fadli Zon kepada detikcom, Selasa (4/1/2011) malam.

Fadli meminta agar aparat hukum mengusut tuntas kasus mafia pajak ini. Perlu diusut apa yang dilakukan ‘Sonny’ di Makau. Hanya sekedar wisata, jalan-jalan, atau menemui seseorang atau menyembunyikan kekayaannya. Pengungkapan kasus Gayus pun jangan hanya sepotong-sepotong.

“Ini kan terungkap karena ada surat pembaca. Dulu waktu di Bali karena ada fotografer Kompas. Bukan diungkap oleh aparat hukum. Sekarang semua menjadi tugas aparat hukum untuk mengungkap ini. Jangan hanya menunggu laporan masyarakat,” katanya.

Partai Gerindra pun meminta agar Presiden SBY megevaluasi kinerja bawahannya. Kalau perlu seluruh jajaran imigrasi, kejaksaan, kepolisian dan penegak hukumnya diganti sekaligus. Hal ini penting dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik yang sudah pudar pada penegak hukum.

“Untuk apa mempertahankan pejabat yang tidak punya kemampuan,” kritik dia.

Fadli pun yakin, jika Gayus saja yang hanya seorang PNS golongan IIIA bisa mengobrak-abrik tatanan hukum, apalagi orang-orang yang lebih berkuasa dari Gayus. “Bayangkan yang punya koneksi lebih kuat, atau yang lebih berkuasa dari Gayus itu bisa seperti apa,” paparnya.

Selain itu, Gerindra pun meminta agar Adnan Buyung Nasution tidak perlu lagi membela Gayus. Hal ini justru akan merusak reputasi Buyung karena membela seorang mafia. “Lagipula Buyung kan sudah bilang waktu itu akan mundur kalau Gayus benar ke luar negeri,” tutupnya.

Gerindra Heran Setgab Bahas Parliamentary Treshold

Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) merasa keberatan jika pembahasan soal penetapan angka Parliamentary Treshold (PT) untuk Pemilu 2014 dilakukan di Sekretariat Gabungan (Setgab). Pasalnya, Setgab dianggap bukan sebagai wakil rakyat.

Wakil Ketua Umum, Fadli Zon mengatakan, Gerindra sebenarnya tidak keberatan soal isu pembahasan PT dilakukan di Setgab. Namun, yang menjadi pertanyaan utama, apakah jika nantinya dibahas oleh Setgab memang murni hasilnya demi dan untuk kepetingan rakyat.

Fadli khawatir pembahasan soal PT di Setgab justru akan menguntungkan beberapa kelompok mayoritas atau tertentu. Ini tentu tidak bagus dalam iklim demokrasi bangsa.

“Setgab itu bukan parlemen. Seharusnya pembahasan soal PT dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Keberadaan Setgab malah menimbulkan oligarki politik,” ujar Fadli saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (29/12).

“Sah-sah saja Setgab membahas soal PT. Tapi apa ini demokrasi yang diinginkan untuk kepentingan bangsa?” imbuhnya.

Terkait angka PT sebesar 2,5 persen sendiri bagi Gerindra dinilai sudah cukup dan layak. Dan kalaupun nantinya angka PT dinaikkan dari 2,5 persen, Fadli berharap angka yang dinaikkan tersebut ma

UI Pentaskan Sketsa Robot Ver.2.0

JAKARTA, KOMPAS.com–Persoalan pendidikan di Indonesia sudah begitu akut dan menjadi lingkaran setan. Lembaga pendidikan mulai dari sekolah taman kanak-kanak, pendidikan dasar, hingga pendidikan tinggi sudah menjadi industri. Subyek didik diperlakukan sebagai sumber keuangan , dengan sasaran bagaimana ia masuk dengan biaya yang relatif mahal, lalu cepat lulus dengan segala cara.

Persoalan tak berhenti sampai di situ. Sarjana yang dihasilkan perguruan tinggi amat jauh dari harapan. Kualitas dan profesionalitasnya dipertanyakan. Lembaga pendidikan dengan kurikulumnya hanya dituntut menyiapkan pekerja-pekerja yang siap pakai dalam waktu singkat. Hanya menghasilkan pekerja, bukan untuk memanusiakan manusia. Kadang seolah mengabaikan hukum supply and demand, bahwa ketersediaan pekerja yang banyak membuat harganya turun. Dan hasilnya adalah generasi baru yang lebih merobot.

Demikian benang merah yang dikemukakan pengamat budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, I Yudhi Soenarto, dan Ketua Alumni FIB Universitas Indonesia Fadli Zon, di sela-sela latihan Tea ter Sastra Universitas Indonesia, yang tengah menyiapkan pementasan Sketsa Robot Ver.2.0 , Kamis (18/11) di Jakarta. Berbagai kritikan yang diarahkan ke dunia pendidikan, sudah banyak dilakukan banyak kalangan. Namun, kali ini, untuk pertama kalinya, dikritik melalui pementasan teater genre komedi satire, kata Yudhi Soenarto, yang sekaligus bertindak sebagai penulis naskah Sketa Robot Ver.2.0 dan sutradara.

Menurut dia, dalam tradisi teater barat, komedi sering digunakan untuk mengangkat persoalan besar ke atas panggung. Tercatat beberapa drama komedi seperti Lysistrata (Aristophanes, 411 Sebelum Masehi) yang bertema antiperang. The Tempest (W Shakespeare, 1611) yang mengangkat persoalan kolonialisme, Der Zerbrochne Krig (H Von Kleist, 1808) yang mengangkat tema keadilan versus pengadilan, dan Pygmalion (GB Shaw, 1913) yang mengangkat kepalsuan masyarakat kelas atas Inggris.

Agar persoalan lebih membumi, jelas Yudhi Soenarto, Teater Sastra UI dalam produksinya yang ke-322, sejak berdiri tahun 1984, mengkritik masalah pendidikan dalam konteks masa depan di mana teknologi robot semakin maju. Sudah ada robot berwujud manusia yang dilengkapi dengan artificial intelligence yang memungkinkan robot untuk bukan hanya melakukan p ekerjaan-pekerjaan manusia, tapi juga melakukan perilaku yang diprogram untuk menyerupai manusia.

Fadli Zon mengatakan, sejak zaman Yunani, komedi memang bukan hanya sekedar hiburan, tapi cara untuk mengingatkan/menyadarkan orang tentang suatu masalah. Pementasan Sketsa Robot Ver.2.0 , Sabtu dan Minggu (20-21/11) di Graha Bahkti Budaya Taman Ismail Marzuki, jalan Cikini, Jakarta, tak hanya sekadar mengangkat persoalan sistem sosial, ekonomi dan pendidikan kita yang morat-marit ke atas pangg ung, tetapi juga menyelipkan pesan-pesan penting untuk mengingatkan/menyadarkan orang tentang suatu masalah, katanya.

Menurut Fadli Zon, Teater Sastra UI sebenarnya sudah menerapkan konsep komedi dalam format lenong kontemporer, sejak 10 tahun lalu, tahun 2000. Dalam periode 2000-2006, Teater Sastra UI sudah memanggungkan lebih dari seratus judul cerita dengan label Lenong Kampus di berbagai tempat. Beberapa bahkan ditayangkan di televisi. Tahun ini kembali berkomedi, dengan persoalan-persoalan yang sangat urgen: kecenderungan pola kehidupan yang serba praktis dan morat-maritnya pendidikan, tandasnya.

Dilarang Prabowo, 2 Anggota Fraksi Gerindra Batal Studi Banding

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo telah melarang semua anggota Fraksi Partai Gerindra melakukan studi banding ke luar negeri. Dua anggota Fraksi Gerindra, Ahmad Muzani dan Sadar Subagio pun batal studi banding ke Eropa. “Semua dibatalkan. Muzani di Komisi I mau ke Belanda, dan Sadar Subagio yang di Komisi XI dibatalkan kunjungan ke Inggris,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon kepada detikcom, Rabu (3/11/2010) malam.

Menurut Fadli, sesuai dengan Keputusan Rapimnas Partai Gerindra yang dilakukan akhir pekan lalu, Partai Gerindra menolak semua kunjungan studi banding ke luar negeri. Hal ini pun menurutnya bukan hanya wacana atau soal pencitraan.

“Tidak, sanksi tegas menanti jika ada yang melanggar. Paling berat di-PAW,” tegas dia. Menurut dia, seluruh anggota fraksi Gerindra bisa menerima keputusan Rapimnas. “Kalau yang sudah, ya sudah. Ke depannya kami melarang dengan tegas,” terang pria berkacamata ini.

Fadli pun menyayangkan masih ada anggota DPR yang asyik melawat ke luar negeri. Menurutnya ini adalah bentuk pengkhianatan pada aspirasi rakyat. “Lebih baik dari pada uangnya dibuang-buang, serahkan saja pada korban bencana alam,” tutup dia.

Politik Etis Gerindra Respons Pelesiran DPR

Kepergian anggota DPR ke luar negeri untuk studi banding menimbulkan reaksi negatif publik. Partai Gerindra mencoba melakukan politik etis dengan melarang kadernya ikut pelesiran ke luar negeri.

Larangan bagi anggota parlemen ke luar negeri oleh Partai Gerakan Indonesia Raya itu beralasan. Kecaman masyarakat terhadap anggota DPR yang kerap melakukan kunjungan ke luar negeri yang begitu marak, menjadi pertimbangan Gerindra mengeluarkan larangan itu. Gerindra juga minta kepada yang belum berangkat untuk membatalkan kunjungan ke luar negeri itu. Sikap resmi itu disampaikan langsung Ketua Dewan Pembina DPP Gerindra Prabowo Subianto dan diumumkan langsung dalam Rapimnas.

“Saya sudah keluarkan instruksi untuk tidak melakukan perjalanan ke luar negeri dengan alasan apapun,” tegasnya di arena Rapimnas III Partai Gerindra di Jakarta, Sabtu (30/10). Mantan Pangkostrad ini menegaskan saat ini Indonesia sedang dalam keadaan susah. “Rakyat kita banyak yang susah. Anggran perjalanan luar negeri cukup besar untuk APBN,” katanya. Prabowo menegaskan anggaran perjalanan luar negeri untuk studi banding sebesar Rp19,5 triliun dapat dialokasikan untuk pembukaan ladang sawah. “Kalau dijadikan sawah berapa ratus ribu hektar dan berapa ratus ribu rakyat bisa hidup,” ujarnya.

Sejauh ini, Gerindra mencatat, anggaran ke luar negeri DPR dalam APBN Perubahan 2010 meningkat dibandingkan APBN 2010. Sebelumnya hanya Rp122 miliar, kemudian meningkat menjadi Rp170 miliar. “Biaya itu amat besar,” kata Waketum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, kemarin.

Sejumlah anggota Badan Kehormatan DPR sudah berkunjung ke Yunani dengan alasan studi banding soal kode etik. Di saat mereka berada di Yunani, bencana alam melanda Indonesia di beberapa tempat.  Setidaknya ada lima rombongan DPR yang berangkat ke manca negara. Salah satunya dari Komisi II yang juga membidangi pemerintahan. Komisi II akan berangkat ke India dan China untuk studi banding tentang kependudukan. Komisi II terbagi dalam dua rombongan. Mereka akan mempelajari tentang sistem administrasi kependudukan di dua negara padat penduduk itu. Menurut jadwal di Sekretariat Jenderal DPR, keberangkatan ke India ini dilakukan pada 9 November 2010. Sementara ke China pada 1 November.

Selain Komisi II, Komisi V juga akan terbang ke Italia. Agenda utama mereka dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang Rumah Susun di negeri asal pembalap MotoGP Valentino Rossi itu. Anggota Komisi V yang terbang ke Italia yakni empat orang dari Fraksi Demokrat: Rustanto Wahid, Usmawarni Peter, Sutarip Tulis Widodo dan Zulkifli Anwar. Tiga orang dari Fraksi Golkar: Riswan Tony, Eko Sarjono Putro dan Roem Kono.

Dua dari Fraksi PDIP: Irfansyah dan Sadar Estuati. Dua orang dari Fraksi PAN: Yasti Soepredjo Mokoagow dan Ahmad Bakri. Serta masing-masing satu orang dari Chairul Anwar (FPKS), Epyardi Asda (F-PPP), Imam Nachrowi (F-KB), dan Gunadi Ibrahim (F-Gerindra). Rombongan selanjutnya yakni dari Badan Kehormatan (BK) DPR yang akan belajar tentang kode etik ke Yunani. Tugasnya, untuk menyempurnakan tata tertib dan kode etik anggota dewan. Dari semua anggota BK, yang tidak turut berangkat ke Yunani yakni Ketua BK dari F-PDIP Gayus Lumbuun dan Tri Tamtomo. Sedangkan semua anggota BK dan wakilnya terbang ke Yunani.

Rombongan terakhir adalah Komisi XI, khususnya Panitia Khusus Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Rombongan ini akan terbang ke empat negara, Inggris, Perancis, Jepang, dan Korea. Studi banding ini akan menghabiskan dana sekitar Rp1,7 miliar. Pimpinan Gerindra melihat biaya kunjungan itu, jauh melampaui harga sebuah menara early warning system di wilayah bencana. Di pasar Tiku, Tanjung Mutiara, Agam, Sumatera Barat, berdiri tegak sebuah menara sirene, yang akan secara otomatis menjerit bila ada gempa di lautan yang menimbulkan tsunami. Sejumlah wilayah di Sumbar memiliki menara seperti ini.  Tapi karena harganya mahal, sekitar Rp 1 miliar, warga di Mentawai tidak memilikinya dan hanya mengandalkan lonceng Gereja jika tsunami datang. Saat petaka 25 Oktober lalu itu, suara lonceng Gereja itu tenggelam oleh deru hujan yang lebat.

Melihat semua kemahalan biaya ke luar negeri itu, Gerindra mencoba berpolitik etis, semoga tidak sekedar lipstik dan lamis.

FADLI ZON – MENGOLEKSI SEBAGAI USAHA MERAJUT SEJARAH

FADLI ZON – MENGOLEKSI SEBAGAI USAHA MERAJUT SEJARAH

BERANGKAT SEBAGAI PECINTA SENI, INTELEKTUAL, AKTIVIS, KEMUDIAN TERJUN KE DUNIA POLITIK SEBAGAI KEWAJIBAN. TAHUN 2008 MENDIRIKAN “FADLI ZON LIBRARY”, UNTUK MERAJUT SEJARAH, SEKALIGUS MEMBERI INSPIRASI BAGI MEREKA YANG LEBIH MAMPU.

Usianya belum genap 40 tahun, tapi dalam diri Fadli Zon ada banyak Fadli. Sebut saja Fadli sebagai kolektor benda seni, telah  mengoleksi ratusan lukisan, yang dimulai sejak  duduk dibangku SMA. Hingga sekarang, ia memiliki karya Raden Saleh, Hendra Gunawan, Affandi, Basoeki Abdullah, Sudarso, Popo Iskandar, Wakidi, H.Widayat, Koempoel, Lee Mayeur, Lee Man Fong, Hardi (salah seorang eksponen Gerakan Seni Rupa Baru), sampai perupa kontemporer  Alit Sembodo, dan Putu Sutawijaya. Sayang koleksi pertamanya, lukisan Amri Yahya, ludes bersama puluhan koleksinya yang lain, saat rumahnya di Cibubur tahun lalu dilalap api.

Fadli sebagai kolektor keris dan tombak memiliki ratusan keris dan tombak dari berbagai kerajaan di nusantara, sejak zaman Mojopahit, Mataram, hingga keris kontemporer. Fadli sebagai kolektor buku, memiliki ribuan buku tua atau kuno, sejak abad 17 hingga sekarang. Diantaranya buku Het Ambonisch Kruid-Boek (Herbarium Amboinenseis) karya Georgius Everhardus Rumpius (1747). Selain itu juga menyimpan naskah-naskah kuno, majalah kuno, dan ribuan lembar koran sejak abad ke-19, misalnya Selompret Melajoe (1862), Sin Po (1922-1955), Berjoang (1946-1947) dan Madura Syu (1943-1945).

Fadli sebagai kolektor patung, mengoleksi patung Asmat sampai patung Amrus Natalsya. Sebagai kolektor uang kuno, ia mengoleksi uang logam (coin) dan uang kertas antara lain set coin zaman kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai (Aceh), Banten, Palembang, hingga VOC, Hindia Belanda dan Republik Indonesia.  Di samping itu masih ada Fadli sebagai kolektor perangko, tekstil tua dari berbagai daerah, fosil ribuan tahun, keramik kuno, aneka macam bungkus rokok (meskipun tidak sebanyak Butet Kertaradajasa), foto sejarah (diantaranya detik-detik eksekusi tokoh Kartosoewirjo), hingga kaca mata para tokoh seperti Bung Hatta sampai Taufiq Ismail.

Sebagian besar koleksinya itu disimpan dalam sebuah bangunan tiga lantai yang diberi nama “Fadli Zon Library” (Pustaka fadli Zon) yang terletak di Jl. Danau Limboto C2/96 Jakarta Pusat. Ditata rapi dengan pendataan standar perpustakaan professional, oleh sejumlah staf yang berdedikasi tinggi.

Belum selesai sampai di situ, dalam diri Fadli Zon masih ada Fadli yang lain. Dalam arti Fadli sebagai intelekual, ia belajar sastra Rusia di Universitas Indonesia, lalu melanjutkan kuliah ekonomi dan politik di Inggris hingga meraih gelar Master of Science (MSc) lalu mengajar di almamaternya, UI. Fadli sebagai pengusaha, ia menjadi komisaris perusahaan kelapa sawit, dan direktur di perusahaan lainnya. Fadli sebagai politisi, pernah menjadi anggota MPR RI (1997-1999) pada usia 26 tahun, ikut mendirikkan Partai Bulan Bintang, dan kini menjadi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Di samping itu dalam diri Fadli Zon juga ada Fadli sebagai jurnalis (Dewan Redaksi majalah Horison sejak 1993), penyair, dan penulis sejumlah buku politik dan kebudayaan.

Passion saya dari dulu sampai sekarang tetap di seni budaya. Adapun (ber)politik itu kewajiban,”  jawab Fadli spontan, saat ditanya mengapa ia terjun ke politik, sebuah dunia yang bertolak belakang dengan  kesenian yang ditekuninya sejak remaja. Bahkan ia menganjurkan, bagi siapa saja yang merasa baik, wajib terjun ke politik, agar dunia politik Tanah Air menjadi baik. Kalau dunia politik kita baik, maka Negara akan menjadi baik. Masalahnya, kalau orang-orang baik enggan terjun ke politik,  maka dunia politik kita akan dikuasai oleh orang-orang yang tidak baik.

Fadli Zon, bergelar Datuk Bijo Dirajo Nan Kuniang dan Tuanku Muda Pujangga Dirajo, adalah putra Minangkabau, Sumatra Barat, lahir di Jakarta, 1 Juni 1971. Sehari-hari tinggal di Cibubur bersama istri, dan kedua anak kesayangannya Shafa dan Zara.

Merajut Sejarah

Kalau kolektor masa kini motivasinya lebih banyak didorong mencari untung lewat jual beli koleksinya di balai lelang, Fadli Zon lain. Ia menjadi kolektor, berangkat dengan kesadaran merajut sejarah masa lalu, dan masa sekarang, untuk ancangan ke masa depan. Dengan cara begitu, ia bisa ikut menyelematkan warisan budaya. Selain itu, dengan mengoleksi, sesungguhnya ia juga dalam kesadaran melakukan dekonstruksi terhadap perubahan yang berkelanjutan (change in continuiting).

Fadli Zon mengaku, dari sana, dari masing-masing koleksi benda-benda warisan budaya itu, ia dapat belajar banyak tentang nilai-nilai, yang dapat membentuk jatidiri bangsa. Oleh karena itu, gerak-gerik dan langkah dirinya dalam mengoleksi lukisan hingga, katakanlah keris, buku tua, sampai tekstil tersebut di atas, sandaran benang merahnya tak lain adalah merajut nilai-nilai sejarah kebangsaan.

Dalam konteks seni rupa kontemporer di Tanah Air yang saat ini sedang dikuasai oleh hegemoni pasar, kalau ada waktu ia memerlukan datang ke Galeri Nasional untuk menghadiri pameran. Kalau ada waktu sesekali ia juga datang ke kegiatan lelang. Aneka majalah seni rupa dilahapnya, agar tidak ketinggalan wacana. “Saya membaca Visual Arts sejak edisi pertama lho Mas,” tuturnya. Ia cukup tahu bagaimana praktik goreng-menggoreng karya, dan siapa-siapa saja yang telah menjadi korbannya. Tapi ia tidak ikut “bermain” di dalamnya, karena memang motivasinya dia berbeda.

 

Ia menjadi kolektor, berangkat dengan kesadaran merajut sejarah masa lalu, dan masa sekarang, untuk ancangan ke masa depan.