FADLI ZON – MENGOLEKSI SEBAGAI USAHA MERAJUT SEJARAH

FADLI ZON – MENGOLEKSI SEBAGAI USAHA MERAJUT SEJARAH

BERANGKAT SEBAGAI PECINTA SENI, INTELEKTUAL, AKTIVIS, KEMUDIAN TERJUN KE DUNIA POLITIK SEBAGAI KEWAJIBAN. TAHUN 2008 MENDIRIKAN “FADLI ZON LIBRARY”, UNTUK MERAJUT SEJARAH, SEKALIGUS MEMBERI INSPIRASI BAGI MEREKA YANG LEBIH MAMPU.

Usianya belum genap 40 tahun, tapi dalam diri Fadli Zon ada banyak Fadli. Sebut saja Fadli sebagai kolektor benda seni, telah  mengoleksi ratusan lukisan, yang dimulai sejak  duduk dibangku SMA. Hingga sekarang, ia memiliki karya Raden Saleh, Hendra Gunawan, Affandi, Basoeki Abdullah, Sudarso, Popo Iskandar, Wakidi, H.Widayat, Koempoel, Lee Mayeur, Lee Man Fong, Hardi (salah seorang eksponen Gerakan Seni Rupa Baru), sampai perupa kontemporer  Alit Sembodo, dan Putu Sutawijaya. Sayang koleksi pertamanya, lukisan Amri Yahya, ludes bersama puluhan koleksinya yang lain, saat rumahnya di Cibubur tahun lalu dilalap api.

Fadli sebagai kolektor keris dan tombak memiliki ratusan keris dan tombak dari berbagai kerajaan di nusantara, sejak zaman Mojopahit, Mataram, hingga keris kontemporer. Fadli sebagai kolektor buku, memiliki ribuan buku tua atau kuno, sejak abad 17 hingga sekarang. Diantaranya buku Het Ambonisch Kruid-Boek (Herbarium Amboinenseis) karya Georgius Everhardus Rumpius (1747). Selain itu juga menyimpan naskah-naskah kuno, majalah kuno, dan ribuan lembar koran sejak abad ke-19, misalnya Selompret Melajoe (1862), Sin Po (1922-1955), Berjoang (1946-1947) dan Madura Syu (1943-1945).

Fadli sebagai kolektor patung, mengoleksi patung Asmat sampai patung Amrus Natalsya. Sebagai kolektor uang kuno, ia mengoleksi uang logam (coin) dan uang kertas antara lain set coin zaman kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Samudra Pasai (Aceh), Banten, Palembang, hingga VOC, Hindia Belanda dan Republik Indonesia.  Di samping itu masih ada Fadli sebagai kolektor perangko, tekstil tua dari berbagai daerah, fosil ribuan tahun, keramik kuno, aneka macam bungkus rokok (meskipun tidak sebanyak Butet Kertaradajasa), foto sejarah (diantaranya detik-detik eksekusi tokoh Kartosoewirjo), hingga kaca mata para tokoh seperti Bung Hatta sampai Taufiq Ismail.

Sebagian besar koleksinya itu disimpan dalam sebuah bangunan tiga lantai yang diberi nama “Fadli Zon Library” (Pustaka fadli Zon) yang terletak di Jl. Danau Limboto C2/96 Jakarta Pusat. Ditata rapi dengan pendataan standar perpustakaan professional, oleh sejumlah staf yang berdedikasi tinggi.

Belum selesai sampai di situ, dalam diri Fadli Zon masih ada Fadli yang lain. Dalam arti Fadli sebagai intelekual, ia belajar sastra Rusia di Universitas Indonesia, lalu melanjutkan kuliah ekonomi dan politik di Inggris hingga meraih gelar Master of Science (MSc) lalu mengajar di almamaternya, UI. Fadli sebagai pengusaha, ia menjadi komisaris perusahaan kelapa sawit, dan direktur di perusahaan lainnya. Fadli sebagai politisi, pernah menjadi anggota MPR RI (1997-1999) pada usia 26 tahun, ikut mendirikkan Partai Bulan Bintang, dan kini menjadi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Di samping itu dalam diri Fadli Zon juga ada Fadli sebagai jurnalis (Dewan Redaksi majalah Horison sejak 1993), penyair, dan penulis sejumlah buku politik dan kebudayaan.

Passion saya dari dulu sampai sekarang tetap di seni budaya. Adapun (ber)politik itu kewajiban,”  jawab Fadli spontan, saat ditanya mengapa ia terjun ke politik, sebuah dunia yang bertolak belakang dengan  kesenian yang ditekuninya sejak remaja. Bahkan ia menganjurkan, bagi siapa saja yang merasa baik, wajib terjun ke politik, agar dunia politik Tanah Air menjadi baik. Kalau dunia politik kita baik, maka Negara akan menjadi baik. Masalahnya, kalau orang-orang baik enggan terjun ke politik,  maka dunia politik kita akan dikuasai oleh orang-orang yang tidak baik.

Fadli Zon, bergelar Datuk Bijo Dirajo Nan Kuniang dan Tuanku Muda Pujangga Dirajo, adalah putra Minangkabau, Sumatra Barat, lahir di Jakarta, 1 Juni 1971. Sehari-hari tinggal di Cibubur bersama istri, dan kedua anak kesayangannya Shafa dan Zara.

Merajut Sejarah

Kalau kolektor masa kini motivasinya lebih banyak didorong mencari untung lewat jual beli koleksinya di balai lelang, Fadli Zon lain. Ia menjadi kolektor, berangkat dengan kesadaran merajut sejarah masa lalu, dan masa sekarang, untuk ancangan ke masa depan. Dengan cara begitu, ia bisa ikut menyelematkan warisan budaya. Selain itu, dengan mengoleksi, sesungguhnya ia juga dalam kesadaran melakukan dekonstruksi terhadap perubahan yang berkelanjutan (change in continuiting).

Fadli Zon mengaku, dari sana, dari masing-masing koleksi benda-benda warisan budaya itu, ia dapat belajar banyak tentang nilai-nilai, yang dapat membentuk jatidiri bangsa. Oleh karena itu, gerak-gerik dan langkah dirinya dalam mengoleksi lukisan hingga, katakanlah keris, buku tua, sampai tekstil tersebut di atas, sandaran benang merahnya tak lain adalah merajut nilai-nilai sejarah kebangsaan.

Dalam konteks seni rupa kontemporer di Tanah Air yang saat ini sedang dikuasai oleh hegemoni pasar, kalau ada waktu ia memerlukan datang ke Galeri Nasional untuk menghadiri pameran. Kalau ada waktu sesekali ia juga datang ke kegiatan lelang. Aneka majalah seni rupa dilahapnya, agar tidak ketinggalan wacana. “Saya membaca Visual Arts sejak edisi pertama lho Mas,” tuturnya. Ia cukup tahu bagaimana praktik goreng-menggoreng karya, dan siapa-siapa saja yang telah menjadi korbannya. Tapi ia tidak ikut “bermain” di dalamnya, karena memang motivasinya dia berbeda.

 

Ia menjadi kolektor, berangkat dengan kesadaran merajut sejarah masa lalu, dan masa sekarang, untuk ancangan ke masa depan.