Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membantah ada perpecahan di tubuh koalisi Prabowo Subianto – Sandaiaga Uno. Menurutnya empat partai pengusung yakni Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat masih solid.
“PAN, Partai Demokrat, PKS kita semua masih kumpul bareng,” kata Fadli saat ditemui wartawan di markas Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Ragunan, Jakarta Selatan, Minggu (28/4).
Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi itu tak memusingkan anggapan yang menyebut kubu Joko Widodo ingin ‘menggerogoti’ koalisinya. Fadli mengatakan seluruh anggota koalisi tetap tertib menunggu keputusan final penghitungan suara.
Ia juga optimistis Prabowo dan Sandiaga bakal memenangi Pemilu untuk bisa melenggang ke Istana untuk periode 2019-2024.
“Kami semua masih menunggu hasil dan kami harapkan kecurangan ini bisa dihentikan. Kami semua masih menunggu hasil,” ucapnya.
Sebelumnya Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), memberi instruksi agar kader partai mengantisipasi ketegangan politik usai Pemilu 2019.
Tidak lama setelahnya, ada kabar tentang kemungkinan PAN bakal meninggalkan koalisi dari kubu Prabowo. Isu tersebut sempat disampaikan Wakil Ketua Umum PAN, Bara Hasibuan.
Bara mengaku pembahasan arah koalisi akan dilakukan partainya itu.
Tidak hanya itu, Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo- Ma’ruf Amin juga membuka kesempatan kepada PAN untuk bergabung ke dalam koalisinya. Namun hal tersebut bakal dibahas TKN usai penetapan presiden.
Pada pemilu 2014 PAN juga melakukan manuver yang nyaris sama yakni menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi, sementara dalam proses pemilihan berada pada kubu Prabowo dan Hatta Rajasa.
Menanggapi kabar tersebut, Fadli enggan berspekulasi terkait potensi perpecahan koalisi partai pendukung Prabowo jika dalam pengumuman pada 22 Mei 2019 dinyatakan kalah.
“Ya kami lihat, kami tidak mau berspekulasi. Kan semua tergantung partai politiknya. Pokoknya saya kira sejauh ini tidak ada masalah,” kata Fadli Zon.
Di momen ulang tahun ke-46, HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) prihatin dengan kondisi kesejahteraan petani dalam lima tahun terakhir.
Menurut catatan HKTI, Nilai Tukar Petani (NTP) cenderung stagnan. Pada 2014, NTP tahunan ada di angka 102,03. Empat tahun kemudian, pada 2018 kemarin, angka itu berubah menjadi 102,39. Jika dilihat dari sisi NTP, empat tahun terakhir bisa dikatakan tidak ada pergeseran sama sekali. Apalagi jika kita bandingkan data NTP bulanan. Pada bulan Oktober 2014, angka NTP sebesar 102,87. Tapi pada Maret 2019 kemarin, angka NTP kita “cuma” 102,73.
“Angka-angka tersebut menunjukkan kesejahteraan petani beberapa tahun ini tidak mengalami peningkatan sama sekali. Ini sangat memprihatinkan, mengingat jumlah petani kita masih cukup besar. Bahkan, ada kecenderungan jumlah rumah tangga petani kian bertambah,” ujar Ketua Umum HKTI Fadli Zon dalam pernyataan tertulisnya kepada Suara Islam Online, Ahad (28/4/2019).
Fadli menjelaskan, berdasar Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS) pada 2018, misalnya, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat terdapat 27,22 juta rumah tangga usaha pertanian yang jumlah anggota rumah tangganya mencapai 98,31 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan data 2013, telah terjadi peningkatan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) sebanyak 1.471.506 rumah tangga petani. Sebagai catatan, jumlah RTUP pada 2013 hanya sebesar 25.751.267.
Menurutnya, peningkatan jumlah rumah tangga petani tersebut tentu saja perlu mendapat perhatian Pemerintah. Mengingat, peningkatan jumlah rumah tangga petani tersebut ternyata ditandai juga oleh peningkatan jumlah petani gurem, yaitu petani penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektar. Berdasarkan data BPS, jumlah petani gurem bertambah sebanyak 1.560.534 rumah tangga petani, dari sebelumnya 14.248.864 (2013) menjadi 15.809.398 (2018). Artinya, 58,07 persen rumah tangga petani kita, alias lebih dari separuhnya, tergolong sebagai petani gurem.
“Itu angka rata-rata secara nasional. Jika kita lihat per wilayah, angkanya bisa lebih buruk lagi. Di wilayah Jawa dan Bali, misalnya, persentase petani gurem mencapai 78,66 persen. Di Jawa Tengah angkanya bahkan mencapai 80,80 persen,” ungkap Wakil Ketua DPR RI itu.
Berangkat dari gambar besar tadi, menurut HKTI kebijakan ekonomi kita di masa mendatang haruslah bertolak dari fakta-fakta tadi. Ada lebih dari 35 juta petani, maka dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,2 persen per tahun, yang artinya jumlah konsumen pangan kita terus membesar, isu petani dan pertanian mestinya mendapat prioritas penting pemerintah. “Itu sebabnya saya merasa ganjil, menghadapi persoalan tersebut pemerintah sekarang malah lebih suka ngomong Revolusi Industri 4.0 dan ekonomi digital tinimbang masalah pertanian,” kata Fadli.
Seharusnya, kata Fadli, pemerintah mencatat perekonomian Indonesia telah “disubsidi” para petani yang jumlahnya sekitar 35 juta orang. Mereka terus berproduksi meski nilai tambahnya stagnan.
Menurutnya, untuk membangun pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani juga diperlukan perlindungan dan pemberdayaan. Jaminan kepastian harga komoditas pertanian (harga dasar dan harga tertinggi) serta jaminan terserapnya hasil produksi pertanian menjadi hal yang mendesak dilakukan pemerintah. Selain juga jaminan ketersediaan benih dan pupuk yang berkualitas, harga terjangkau, dan tersedia.
“Pemberdayaan kemampuan dan ketrampilan petani juga harus ditingkatkan melalui penyuluhan yang mengikuti perkembangan zaman dan kontinyu. Ini mensyaratkan penyuluh dan kelembagaan penyuluh yang kuat dan memadai. Tanpa penyuluh dan penyuluhan, petani niscaya tertinggal dan tak berkembang ketrampilannya,” ujar Fadli.
“Hal lain, Reforma Agraria yang merujuk pada redistribusi lahan bukan sertifikasi lahan harus segera dilakukan. Pembangunan infrastruktur harus memprioritaskan bidang yang terkait secara langsung dengan petani dan pertanian. Juga hubungan dagang dengan luar negeri, perhitungkan dampaknya bagi petani. Itu yang seharusnya diproritaskan Pemerintah,” tambahnya.
Jumlah petugas penyelenggara pemilihan umum yang bertugas di tempat pemungutan suara yang meninggal dunia hingga Sabtu kemarin tercatat mencapai 326 orang (Jawa Pos). Politikus Fahri Hamzah dan Fadli Zon mengkritik keras penyelenggaraan pemilu serentak, presiden dan legislatif, yang memakan banyak korban jiwa.
“Masihkah percaya bahwa semua baik-baik saja?…” kata Fahri Hamzah melalui akun Twitter @Fahrihamzah.
Menurut Fadli Zon melalui akun Twitter @fadlizon kalau ada yang percaya pemilu berlangsung dengan baik, mesti dipertanyakan kenormalannya.
“Kalau masih ada yang percaya semua baik-baik saja, otaknya atau hatinya perlu diperiksa,” kata Fadli Zon.
Dalam tweet yang lain, Fahri Hamzah terus menerus menyoroti penyelenggaraan pemilu.
“Kita terpaksa melayani pikiran yang lemah, yang dangkal dan yang fatal. Tuhan dibawa untuk menaklukkan pikiran yang mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Lalu negara meyakinkan kita, “Mereka pahlawan gugur dalam tugas mulia.” Dan kita harus diam. Seakan tanggungjawab selesai,” kata dia.
Dalam perang saja, kata dia, dimana-mana, jatuhnya korban setelah berminggu atau berbulan atau bertahun, sering menjadi alasan pemerintah diminta menghentikan perang atau bahkan pemerintah dijatuhkan. “Ini bukan perang, ini hanya mengurus pencoblosan satu menit, korban berjatuhan. Ada apa?”
Dalam situasi seperti sekarang, kata dia, banyak yang menganggap kalau jatuh korban yang banyak, maka segera disebut mereka pahlawan. “Tapi tidak ada yang bertanggungjawab atas matinya korban. Kita permisif terhadap nyawa manusia dan kita permisif kepada kegagalan yang dirayakankan sebagai sukses,” kata dia.
Gusar oleh tudingan adanya kecurangan, KPU melalui akun Twitter yang sudah terverifikasi pun memberikan ulasan.
Penjelasan yang diurai KPU itu rupanya berasal dari pernyataan sang ketua KPU RI, Arief Budiman.
Ulasan yang diberikan KPU itu pun menuai perhatian dari Fadli Zon.
Wakil Ketua DPR RI itu lantas melalui laman Twitternya membalas ulasan dari akun KPU tersebut.
Dilansir TribunnewsBogor.com, beberapa waktu lalu, akun KPU RI yang sudah terverifikasi menuliskan sebuah cuitan berkenaan dengan tudingan kecurangan yang selama ini dialamatkan kepadanya.
Ya, pasca penyelenggaraan Pemilu 2019, KPU gencar mendapat tudingan melakukan tindakan kecurangan dari berbagai pihak.
Melihat hal tersebut, pihak KPU pun akhirnya buka suara seraya membuat penjelasan.
Ulasan tersebut merupakan pernyataan yang berasal dari sang Ketua KPU RI sendiri yakni Arief Budiman.
Menurut Arief Budiman, jika memang tudingan kecurangan tersebut memang benar, lantas kenapa pihaknya memperlihatkan hal itu di depan khalayak ?
Sebab menurut Arief Budiman, sebuah kecurangan seharusnya disembunyikan, bukan justru dipertontokan.
Lebih lanjut, Arief Budiman pun berpendapat pihaknya justru sangat terbuka dengan masukan dari masyarakat.
Pun ketika ada kesalahan data yang tertera dalam laman KPU, Arief Budiman membuka tangannya lebar-lebar terkait dengan koreksi.
Pernyataan yang dilayangkan Arief Budiman itu pun lantas dibuatkan sebuah poster dengan wajah serta kalimatnya.
“Kalau kami ini dituduh curang, untuk apa kami mempertontonkan kecurangan kami ? Mestinya curang itu disembunyikan.
Ini kan kami buka, silahkan masyarakat memberikan masukan kepada kita kalau ada yang salah silahkan dikoreksi, kami akan melakukan itu.
Masyarakat bisa memberikan masukan, bisa tahu bahwa salah input, itu karena kami terbuka”
Arief Budiman Ketua KPU RI
Pernyatan dari Arief Budiman itu pun lantas dibagikan oleh akun Twitter KPU yang sudah terverifikasi.
Tak hanya membagikan poster berupa pernyataan, akun KPU pun memberikan ulasan singkat terkait dengan pernyataan itu.
Akun KPU juga melengkapinya dengan tagar yang menunjukkan bahwa KPU siap melayani masyarakat.
“Kalau kami ini dituduh curang, utk apa kami mempertontonkan kecurangan kami? Mestinya curang itu disembunyikan.
Ini kan kami buka, silahkan masyarakat memberikan masukan kpd kita kalau ada yg salah silahkan dikoreksi, kami akan melakukan itu. Arief Budiman Ketua KPU #KPUMelayani,” tulis akun KPU.
Melihat cuitan yang diurai akun KPU RI, Fadli Zon pun langsung memberikan tanggapannya.
Melalui akun Twiternya yang sudah terverifikasi, Fadli Zon pun ikut berandai-andai terkait dengan tudingan kecurangan terhadap KPU.
Menurut Fadli Zon, jika rakyat percaya terhadap KPU, tentu hingga saat itu tak ada relawan kawal suara Pemilu.
Sebab menurut Fadli Zon, satu kesalahan saja di Pemilu 2019 bisa berakibat fatal.
Apalagi jika dicampuri dengan ratusan kesalahan atau bahkan ribuan.
“Kalau rakyat percaya pd penyelenggara pilpres/pemilu bisa menjamin kejujuran n keadilan, tentu tak perlu repot2 ada relawan kawal suara yg bisa berubah, berpindah atau berkembang biak diternak tangan2 tak terlihat. Satu kesalahan sj sdh fatal apalagi ratusan atau ribuan,” tulis Fadli Zon.
Reaksi keras yang ditujukkan Fadli Zon terhadap penjelasan KPU itu pun menuai beragam reaksi dari Warganet.
Hal itu terlihat dari ratusan pengguna TWitter yang menyukai balasan Fadli Zon terhadap akun KPU RI itu.
Ketua DPR RI, Fadli Zon menilai banyak kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
Menurutnya, kecurangan terjadi secara terstruktur, sistematis dan masif.
Untuk itu, ia mengusulkan Panitia Khusus (Pansus) guna mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019.
“Saya kira nanti perlu dibentuk pansus kecurangan ini. Saya akan mengusulkan meski ini akhir periode. Kalau misalnya teman-teman itu menyetujui, akan bagus untuk evaluasi ke depan. Karena kecurangan ini cukup masif, terstruktur, dan brutal. Mulai pra-pelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan,” ucap Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Politikus Gerindra itu mengatakan usulannya itu akan disampaikan kepada fraksi-fraksi di DPR.
Ia ingin DPR mengevaluasi total pelaksanaan sistem pemilu serentak.
“Kan ada mekanismenya, asal ada usulan kemudian dibawa ke rapur nanti kita lihat saja. Kalau dari DPR kalau ada pansus tadi lebih enak. Karena bisa menjadi sebuah alat melakukan investigasi dan bisa menelusuri kelemahan dari sistem, prosedur dan sebagainya,” tuturnya.
Selain itu, Fadli Zon menyebut kecurangan yang begitu masif membuat kualitas demokrasi Indonesia menjadi buruk.
Ia menyatakan jika penyelenggaraan pemilu tahun ini lebih buruk dibanding penyelenggaraan pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955.
“Saya termasuk yang percaya kalau ini adalah pemilu terburuk sejak era reformasi bahkan jauh lebih buruk ketimbang pemilu tahun 1955,” katanya.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid mendukung usul Wakil Ketua DPR Fadli Zon untuk membentuk pansus kecurangan pemilu.
Menurut dia, ini adalah salah satu cara untuk menghadirkan pemilu yang sah.
“Legitimasi yang tinggi memerlukan hadirnya pembuktian beragam kontroversi dan atau kekhawatiran termasuk tuduhan, termasuk fakta di lapangan tentang begitu banyak carut marut, menurut saya ini perlu diselesaikan,” ujar Hidayat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (26/4/2019).
“Ya salah satu di antara pintunya adalah ya pansus,” tambah dia.
Hidayat melihat berbagai indikasi kecurangan yang ada di lapangan. Dia mencontohkan kejadian salah input data dalam situs Situng Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Belum lagi mengenai polemik 17,5 juta daftar pemilih tetap (DPT) tak wajar yang pernah dilaporkan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga sebelumnya.
“Banyak masalah yang kemudian menurut saya sesungguhnya membutuhkan penyelesaian,” kata dia.
Menurut dia, pansus ini nantinya juga harus diperkuat dengan orang-orang di luar DPR untuk menjamin kenetralan. Dengan begitu, pansus bisa membahas dugaan kecurangan ini dengan objektif.
“Sehingga bisa dihadirkan hasil yang betul-betul memberikan kata akhir bahwa pemilu ini legitimate (sah),” ujar Hidayat.
Selain pansus, BPN Prabowo-Sandiaga juga mengusulkan pembentukan tim independen pencari fakta kecurangan pemilu.
Hidayat mengaku juga setuju dengan usul itu. Namun, dia menilai tim yang lebih memiliki kekuatan hukum adalah pansus.
“Silahkan nanti pilihannya apa, kami pasti akan melalui mekanisme di DPR. Tapi kalau DPR pasti akan lebih mungkin pada pansus. Kalaupun nanti ada tim pencari fakta, yang penting ujungnya ini harus ada solusi,” kata dia.
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengusulkan pembentukan Panitia Khusus ( Pansus) kecurangan Pemilu 2019. Sebab, menurut Fadli, banyak temuan kecurangan pemilu yang cukup masif, terstruktur, dan brutal.
“Saya akan mengusulkan meski ini akhir periode, kalau misalnya teman-teman itu menyetujui akan bagus untuk evaluasi ke depan. Karena kecurangan ini cukup masif, terstruktur dan brutal. Mulai pra pelaksanaan, pelaksanaan dan pasca-pelaksanaan,” kata Fadli.
Fadli mengatakan, akan mengusulkan pembentukan pansus tersebut ke fraksi-fraksi yang ada di DPR. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini, adanya pansus akan menjadi alat penelusuran kelemahan dari sistem dan prosedur Pemilu.
Fadli Zon, anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi mengungkapkan, server di tempat proses tabulasi penghitungan suara paslon 02, kerap diretas.
Atas alasan itu, kata Fadli Zon, lokasi tabulasi suara Prabowo-Sandi berpindah-pindah.
“Ya ada timnya itu, ada beberapa tim. Kita sengaja juga pecah-pecah, karena server kita dihantami terus oleh pihak-pihak lain,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/4/2019).
“Jangankan server, handphone kita pun berusaha diretas,” sambungnya.
“Jadi memang serangan-serangan itu real dari luar negeri dari beberapa situs. Jadi kita tidak dibiarkan kerja ini, sehingga akhirnya berpindah-pindah, yang saya tahu begitu,” bebernya.
Kendati demikian, legislator Partai Gerindra itu memastikan rumah Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara menjadi satu di antara beberapa lokasi tabulasi BPN Prabowo-Sandi.
“Ada, ada di beberapa tempat. Di Kertanegara ada, di DPP (DPP Partai Gerindra) ada pengumpulan-pengumpulan C1 dan bukti-bukti,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fadli Zon mengatakan pada saatnya nanti, pihaknya akan membuka proses penghitungan suara dan lokasinya.
“Ya saya kira itu akan menjadi salah satu consideran kami, karena kami sangat yakin bahwa Prabowo-Sandi menang,” tegasnya.
Sebelumnya, Prabowo Subanto mengklaim sudah menang 62 persen berdasarkan real count internalnya.
Juru Bicara BPN Andre Rosiade sempat menyampaikan bahwa proses penghitungan suara dipusatkan di DPP Partai Gerindra. Sehari kemudian, Andre menyebutkan lagi bahwa lokasinya dipindah.
“C1 kami dikumpulkan dari seluruh Indonesia di DPP Partai Gerindra,” ucapnya soal cara kerja real count internal.
” Real count terus dilakukan oleh DPP Partai Gerindra dan BPN. Mengenai lokasi tentu kami tempatkan di lokasi yang aman dan tidak gampang diakses pihak yang tidak berkepentingan,” kata Andre kepada Kompas.com, Selasa (23/4/2019).
Andre beralasan, ada dokumen penting seperti C1 yang harus dijaga.
Apalagi, lanjutnya, C1 dari seluruh wilayah Indonesia terus berdatangan dikirim oleh DPD Gerindra se-Indonesia dan relawan-relawan pendukung Prabowo Subianto.
Andre sempat menyebut bahwa real count dipusatkan di Kantor DPP Partai Gerindra di Jalan RM Harsono, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Namun, saat Kompas.com mencoba meliput kegiatan tersebut hari ini, Selasa, Kantor DPP Partai Gerindra tampak sepi.
Masuk ke dalam gedung, Kompas.com pun bertemu dengan petugas penerima tamu di DPP Gerindra. Petugas tersebut menyatakan bahwa di DPP Gerindra tidak ada sama sekali kegiatan penghitungan real count Prabowo-Sandi.
“Justru di Kertanegara. Di sini sama sekali enggak ada kegiatan. Semua diserahkan di sana. Semua dikawal di sana. Pak Andre Rosiade jarang banget ke sini,” ujar petugas tersebut, Selasa.
Sebelumnya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA dan beberapa lembaga survei lainnya dilaporkan ke KPU, terkait siaran hasil hitung cepat (quick count) yang dinilai tak benar.
Peneliti LSI Denny JA Ikrama Masloman menyebut lembaganya melakukan perhitungan cepat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ia juga yakin lembaganya dapat membuktikan hasil quick count secara ilmiah.
“Jadi sebenarnya kalau berbicara soal hasil bisa diperdebatkan, kita bisa uji validasi,” ujarnya saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (18/4/2019).
Secara legal formalitas, Ikrama juga menyebut LSI Denny JA telah terdaftar di KPU sebagai lembaga resmi yang berhak menayangkan hasil quick count.
Ikrama justru mempertanyakan tim survei internal Prabowo-Sandi yang mengklaim kemenangan paslon nomor urut 02 itu.
Ikrama meminta pihak Prabowo-Sandi untuk membuka identitas tim surveinya, serta menjelaskan metode yang dipakai dalam perhitungan cepat.
“Kita bisa dipertanggungjawabkan, karena data yang masuk itu real time. Mereka real time enggak? Dadakan, perasaan tiba-tiba angka 62 (persen) datang. Kalau mau memantau kenapa enggak buka dari jam 3, sehingga publik juga bisa melihat ini data yang masuk,” tuturnya.
“Kan kalau seperti ini wajar saja ada yang nyinyir. Ada yang curiga kok quick count-nya dadakan? Hasilnya dadakan, tiba-tiba hasil akhir. Quick count itu kan bergerak datanya, karena enggak mungkin 2.000 TPS masuk dalam satu waktu,” imbuhnya.
Namun, Ikrama tak mau mengambil pusing terkait pelaporan tersebut.
Ia menilai pelaporan tersebut sah-sah saja sebagai bagian dari hak warga negara.
Ia juga memastikan LSI Denny JA siap jika dipanggil pihak KPU terkait pelaporan tersebut.
“Sangat siap, bahkan kita siap memberikan kuliah 6 SKS untuk menjelaskan metode yang dipakai,” tegasnya.
Senada, Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan mengatakan pihaknya siap diaudit lembaga berwenang, terkait hitung cepat (quick count) yang dilakukan pada Pemilihan Presiden 2019.
“Iya lah (siap),” kata Djayadi saat dihubungi Tribunnews.com, Kamis (18/4/2019).
Djayadi melanjutkan, ke depan akan melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan asosiasi lembaga survei profesional, untuk mengambil keputusan atas laporan BPN Prabowo-Sandi ke KPU.
“Nanti kami akan koordinasi dulu dengan teman-teman yang dilaporkan di Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepsi),” ucapnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Cyrus Network Hasan Hasbi menantang kubu Prabowo Subianto menampilkan data exit poll yang dijadikan acuan capres 02 itu, sehingga mengklaim menang Pilpres 2019.
Prabowo Subianto menuding sejumlah lembaga survei menggiring opini bahwa Prabowo-Sandi kalah dalam hasil penghitungan suara cepat alias quick count.
“Dia (Prabowo Subianto) mengeluarkan pernyataan data versi pollster juga yang memenangkan dia, tadi dia konferensi pers begitu,” ujar Hasan saat konferensi pers di Kantor CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2019).
“Buat saya itu enggak sehat dan enggak fair. Kalau mau, diadu saja. Itu lembaganya beneran ada atau tidak, SDM- nya ada atau tidak, kantornya ada atau tidak, ada kegiatan terbuka seperti kami lakukan atau tidak? Dan paling gampang adalah mengaudit seluruh proses mereka,” papar Hasan.
Menurut Hasan, lembaga survei profesional, akan terbuka mengenai survei yang dilakukan.
“Karena proses quick count itu tidak bisa bohong. Kami punya 2.002 TPS sampling, itu bisa dibuka semua. Mereka (Kubu Prabowo) tidak bisa ngarang TPS-nya di mana, hasilnya berapa. Mereka enggak akan sanggup hingga 2.002 TPS dengan titiknya di mana dan hasilnya berapa,” tegas Hasan.
Hasan melanjutkan, klaim kemenangan Ketua Umum Partai Gerindra tersebut tidak berdasarkan data.
“Deklarasi kemenangan tanpa punya data, menuduh kita pollster dan konsultan yang melaksanakan quick count berpihak. Kalau kita bisa diaudit kapan saja,” tuturnya.
“TPS-nya di mana, hasilnya berapa, siapa orangnya di sana? Dan itu tidak mungkin bisa ngarang, apalagi yang ngaku 5.000 TPS. Kalau kita paksa hari ini mengeluarkan datanya pasti tidak akan bisa, kalau kita berani tantang-tantangan,” sambungnya.
Ketua DPR Fadli Zon menilai banyak kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
Menurutnya, kecurangan yang terjadi secara masif, terstruktur, dan brutal.
Untuk itu, ia mengusulkan Panitia Khusus (Pansus) mengevaluasi penyelenggaraan Pemilu 2019.
“Saya kira nanti perlu dibentuk pansus kecurangan ini. Saya akan mengusulkan meski ini akhir periode,” ucapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/4/2019).
“Kalau misalnya teman-teman itu menyetujui, akan bagus untuk evaluasi ke depan. Karena kecurangan ini cukup masif, terstruktur, dan brutal. Mulai pra-pelaksanaan, pelaksanaan, dan pasca-pelaksanaan,” sambungnya.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan, usulan teresebu akan disampaikan ke fraksi-fraksi di DPR.
Ia ingin DPR mengevaluasi total pelaksanaan sistem pemilu serentak ini.
“Kan ada mekanismenya, asal ada usulan kemudian dibawa ke rapur, nanti kita lihat saja,” ucapnya.
“Kalau dari DPR kalau ada pansus tadi lebih enak. Karena, bisa menjadi sebuah alat melakukan investigasi dan bisa menelusuri kelemahan dari sistem, prosedur, dan sebagainya,” paparnya.
Fadli Zon menyebut, dugaan kecurangan yang begitu masif membuat kualitas demokrasi Indonesia menjadi buruk.
Ia menyatakan penyelenggaraan pemilu tahun ini lebih buruk dibanding penyelenggaraan pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955 silam.
“Saya termasuk yang percaya kalau ini adalah pemilu terburuk sejak era reformasi, bahkan jauh lebih buruk ketimbang pemilu tahun 55,” bebernya.
Sebelumnya, Ratna Sarumpaet, terdakwa kasus dugaan penyebaran berita bohong alias hoaks, menilai Pemilu 2019 berantakan.
“Saya pikir pemilunya berantakan ya karena itu,” ujar Ratna Sarumpaet, pasca-sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (23/4/2019).
Ia pun menjelaskan maksud dari pernyataannya terkait pemilu berantakan. Ibunda Atiqah Hasiholan itu menilai pemilu kali ini berantakan, lantaran banyak hal yang tidak diselesaikan secara benar.
Ratna Sarumpaet menyinggung perihal pencoblosan surat suara di Selangor, Malaysia, yang belum menemui titik terang.
Selain itu, ia juga menyoroti banyaknya korban meninggal dunia yang turut andil dalam Pemilu 2019.
“Ya dari awal ada pencoblosan gelap di Selangor aja enggak diberesin. Orang sampai mati itu kenapa sih? Karena keberatan beban. Berarti panitia buruk dalam menata siapa pekerjanya, jangan-jangan mereka pelit,” bebernya.
Di sisi lain, Ratna Sarumpaet enggan menanggapi hasil hitung cepat alias quick count yang menyatakan paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kalah dari paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Maruf Amin.
“Ya aku enggak tahu, aku enggak ikut berpendapat soal itu,” ucapnya.
Sementara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) merekomendasikan pelaksanaan pemilu serentak untuk pesta demokrasi berikutnya, dibagi menjadi dua jenis tahapan.
Yakni, pemilu serentak nasional seperti Pilpres, DPR dan DPD untuk memilih pejabat di tingkat nasional, serta pemilu serentak daerah seperti Pilkada Gubernur, Bupati/Wali kota dan DPRD Provinsi atau Kabupaten/Kota, untuk memilih pejabat di tingkat daerah.
Hal itu diutarakan oleh Komisioner KPU Hasyim Asy’ari berdasarkan riset evaluasi Pemilu 2009 dan 2014.
“Salah satu rekomendasinya adalah Pemilu serentak dua jenis,” kata Hasyim dalam keterangan tertulis, Selasa (23/4/2019).
Terkait kerangka waktu rekomendasi tersebut, Hasyim menuturkan bahwa perhelatan Pemilu tingkat nasional maupun daerah tetap dalam periode Pemilu lima tahunan.
Namun bedanya, Pemilu serentak daerah diselenggarakan di tengah-tengah Pemilu serentak nasional lima tahunan.
Artinya, Pemilu serentak daerah dilakukan 2,5 tahun setelah berjalannya Pemilu serentak nasional.
“Pemilu daerah 5 tahunan diselenggarakan di tengah 5 tahunan Pemilu nasional. Misalnya pemilu nasional 2019 dalam 2,5 tahun berikutnya yaitu 2022 Pemilu daerah,” jelas Hasyim.
Lebih lanjut ia menjelaskan, rekomendasi KPU menitikberatkan pada empat poin argumentasi. Meliputi aspek politik, aspek manajemen penyelenggaraan Pemilu, aspek pemilih, dan aspek kampanye.
Pertimbangan aspek politik, bertujuan agar pembagian ini bisa terjadi konsolidasi yang semakin stabil antar-partai politik. Sebab, koalisi partai dibangun sejak awal pencalonan.
Kemudian, aspek manajemen penyelenggaraan pemilu. Menurutnya, beban peneyelnggara Pemilu dalam hal ini KPU, akan lebih proporsional dan tidak terjadi penumpukan beban yang berlebih.
Ketiga, aspek kepentingan pemilih. KPU berpandangan, masyarakat bisa lebih mudah menentukan pilihan, karena fokus mereka hanya dihadapkan pada calon pejabat nasional dan daerah di dua Pemilu berbeda.
Pertimbangan terakhir, ialah aspek kampanye. Dengan dibaginya Pemilu serentak jadi dua tahapan, isu-isu kampanye semakin fokus antara isu nasional dan daerah yang dikampanyekan. Sehingga, tidak terjadi tumpang tindih terkait aspek kampanye.
Sementara, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menyarankan KPU melakukan perbaikan atas kesalahan dan kekurangannya secara transparan dan akuntabel.
Agus juga meminta seluruh komponen masyarakat melakukan pengawasan independen atas kerja KPU tersebut.
Hal tersebut disampaikan Agus saat Konferensi Pers Gubernur Lemhannas RI yang mengangkat tema “Menyikapi Situasi Terkini Setelah Pemilihan Umum 2019 dari Perspektif Ketahanan Nasional” di Ruang Syailendra Gedung Astagatra Lt 3 Lemhannas RI di Jakarta Pusat pada Selasa (23/4/2019).
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mengaku terus melakukan real count internal Pilpres 2019. Namun, penghitungan suara tersebut sengaja dilakukan di lokasi yang tak mudah diakses.
Anggota Dewan Pengarah BPN, Fadli Zon, mengaku bahwa lokasi rekapitulasi suara mereka berpindah-pindah. Hal tersebut dilakukan demi menjamin keamanan tempat rekapitulasi.
“Ada di beberapa tempat, di Kertanegara ada, di DPP ada pengumpulan-pengumpulan C1 dan bukti-bukti,” tutur Fadli di Kompleks Parlemen Senayan pada Rabu (24/4). “Salah satu alasannya security, karena itu berpindah-pindah.”
Ternyata, BPN Prabowo-Sandi takut kepada sosok hacker alias peretas, sehingga mereka memilih untuk tak memberitahu lokasi penghitungan suara tersebut. Fadli pun menyebut bahwa ia sanggup menyediakan data berupa foto untuk membuktikan bahwa BPN benar-benar melakukan penghitungan real count.
“Begitu Anda kasih tahu di mana langsung itu dihack, langsung itu diretas. Itu terjadi berkali-kali,” ungkap Fadli. “Kita gampang. Saya bisa kasih Anda kalau untuk kebutuhan foto, ada orang lagi kerja, itu banyak. Di beberapa tempat.”
Tak hanya itu, Fadli juga mengaku bahwa BPN Prabowo-Sandi akan membuka hasil proses rekapitulasi suara mereka. Hanya saja mereka masih menunggu waktu yang tepat.
“Saya kira itu akan menjadi salah satu consideran kita,” jelas Fadli. “Karena kita sangat yakin bahwa Prabowo-Sandi menang.”
Hal senada juga sempat diungkapkan oleh Direktur Materi Debat BPN, Sudirman Said. Ia mengaku siap membeberkan data real count internal BPN. Namun dengan syarat para lembaga survei juga harus mau membeberkan siapa yang menjadi sumber dana mereka.
“Bila diperlukan, nanti kami siap membuka,” kata Sudirman dilansir dari iNews, Selasa (23/4). “Tapi saya menantang lembaga survei yang terbukti menjadi bagian dari tim kampanye membuka siapa pendananya.”
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, menolak tantangan membuka data real count internal pasca mengklaim menang 62 persen dari rivalnya, Jokowi-Maruf dalam Pilpres 2019 yang digelar pada 17 April lalu.
Anggota Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandi Fadli Zon, mengungkap alasan mengapa pihaknya belum mengungkapkan hasil penghitungan cepat suara pilpres yang dilakukan tim internalnya. Ia mengaku takut terjadi masalah keamanan.
“Iya yang saya tahu itu salah satu alasannya sekuriti,” ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/4).
Fadli khawatir, ada peretasan apabila data tersebut dibuka bebas. Sebab, kata dia, serangan itu terjadi berkali-kali.
“Begitu anda kasih tahu di mana langsung itu di-hack, langsung itu diretas. Itu terjadi berkali-kali,” ungkapnya.
Bahkan, Fadli menambahkan, masalah keamanan itu juga menjadi alasan BPN selalu memindahkan pusat penghitungan internalnya. Sehingga pusat penghitungan pemilu milik BPN selalu berpindah tempat.
“Ada, ada di beberapa tempat. Di Kertanegara ada, di DPP ( Gerindra) ada pengumpulan-pengumpulan C1 dan bukti-bukti,” tukasnya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan bakal ada kajian lebih lanjut atas rencana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang penyelenggaraan pemilu serentak.
Hal itu ia katakan untuk merespons pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang meminta DPR mengkaji ulang ketentuan UU Pemilu.
Fadli mengatakan kajian akan dilakukan oleh Komisi II agar bisa secepatnya dilakukan evaluasi penyelenggaraan pemilu serentak tahun ini.
“Ya mungkin [direvisi], itu nanti jadi satu kajian lah nanti di komisi terkait, di komisi II,” kata Fadli saat ditemui di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Rabu (24/4).
Fadli menyatakan revisi diperlukan sebagai sarana evaluasi pelaksanaan pemilu serentak yang dianggap telah merugikan banyak pihak. Salah satunya turut menyebabkan banyak petugas KPPS meninggal dunia
“Ini suatu tragedi yang tak perlu terjadi, kalau sudah diatur sedemikian rupa, dan karena kelelahan yang luar biasa, saya kira harus ada mekanisme yang mengurus ini,” kata dia.
Lebih lanjut, Fadli menilai pemilu telah menjadi bencana politik di Indonesia karena banyak petugas KPPS meninggal dunia. Ia menyatakan kejadian tersebut tak seharusnya terjadi dalam pesta demokrasi yang seharusnya bisa dijalankan secara suka ria.
“Sangat ironis, di negara yang demokratis semacam ini banyak korban meninggal karena pemilu. Saya kira ini jadi bencana politik,” kata dia.
Terpisah, anggota Komisi II dari Fraksi PPP Ahmad Baidowi mendukung revisi Undang-Undang Pemilu selama tidak menabrak ketentuan hukum yang lebih tinggi.
“Kesimpulannya bahwa pemilu serentak yang dimaksud adalah pelaksanaan pada hari dan jam yang sama. Jika kemudian ada tafsir baru terhadap keserentakan yang dimaksud putusan MK, maka ada peluang untuk mengubahnya di RUU Pemilu,” ujarnya.
Selain itu, Baidowi menyatakan banyaknya petugas KPPS yang meninggal juga menjadi dasar kuat usulan revisi Undang-Undang Pemilu.
Ia mengaku merasa prihatin dan sudah sepatutnya para petugas yang meninggal dilindungi oleh asuransi sejak awal.
“Adapun ketentuan pembayaran premi diatur bersama pemerintah (menkeu). Karena kami menyadari tugas berat mereka yang harus melaksanakan tugasnya dalam satu hari penuh,” kata dia.