Ketua Umum HKTI: Kebijakan Ekonomi Harus Sejahterakan Petani

Ketua Umum HKTI: Kebijakan Ekonomi Harus Sejahterakan Petani

fadli-zon-hkti

Di momen ulang tahun ke-46, HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) prihatin dengan kondisi kesejahteraan petani dalam lima tahun terakhir.

Menurut catatan HKTI, Nilai Tukar Petani (NTP) cenderung stagnan. Pada 2014, NTP tahunan ada di angka 102,03. Empat tahun kemudian, pada 2018 kemarin, angka itu berubah menjadi 102,39. Jika dilihat dari sisi NTP, empat tahun terakhir bisa dikatakan tidak ada pergeseran sama sekali. Apalagi jika kita bandingkan data NTP bulanan. Pada bulan Oktober 2014, angka NTP sebesar 102,87. Tapi pada Maret 2019 kemarin, angka NTP kita “cuma” 102,73.

“Angka-angka tersebut menunjukkan kesejahteraan petani beberapa tahun ini tidak mengalami peningkatan sama sekali. Ini sangat memprihatinkan, mengingat jumlah petani kita masih cukup besar. Bahkan, ada kecenderungan jumlah rumah tangga petani kian bertambah,” ujar Ketua Umum HKTI Fadli Zon dalam pernyataan tertulisnya kepada Suara Islam Online, Ahad (28/4/2019).

Fadli menjelaskan, berdasar Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS) pada 2018, misalnya, BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat terdapat 27,22 juta rumah tangga usaha pertanian yang jumlah anggota rumah tangganya mencapai 98,31 juta jiwa. Jika dibandingkan dengan data 2013, telah terjadi peningkatan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) sebanyak 1.471.506 rumah tangga petani. Sebagai catatan, jumlah RTUP pada 2013 hanya sebesar 25.751.267.

Menurutnya, peningkatan jumlah rumah tangga petani tersebut tentu saja perlu mendapat perhatian Pemerintah. Mengingat, peningkatan jumlah rumah tangga petani tersebut ternyata ditandai juga oleh peningkatan jumlah petani gurem, yaitu petani penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektar. Berdasarkan data BPS, jumlah petani gurem bertambah sebanyak 1.560.534 rumah tangga petani, dari sebelumnya 14.248.864 (2013) menjadi 15.809.398 (2018). Artinya, 58,07 persen rumah tangga petani kita, alias lebih dari separuhnya, tergolong sebagai petani gurem.

“Itu angka rata-rata secara nasional. Jika kita lihat per wilayah, angkanya bisa lebih buruk lagi. Di wilayah Jawa dan Bali, misalnya, persentase petani gurem mencapai 78,66 persen. Di Jawa Tengah angkanya bahkan mencapai 80,80 persen,” ungkap Wakil Ketua DPR RI itu.

Berangkat dari gambar besar tadi, menurut HKTI kebijakan ekonomi kita di masa mendatang haruslah bertolak dari fakta-fakta tadi. Ada lebih dari 35 juta petani, maka dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,2 persen per tahun, yang artinya jumlah konsumen pangan kita terus membesar, isu petani dan pertanian mestinya mendapat prioritas penting pemerintah. “Itu sebabnya saya merasa ganjil, menghadapi persoalan tersebut pemerintah sekarang malah lebih suka ngomong Revolusi Industri 4.0 dan ekonomi digital tinimbang masalah pertanian,” kata Fadli.

Seharusnya, kata Fadli, pemerintah mencatat perekonomian Indonesia telah “disubsidi” para petani yang jumlahnya sekitar 35 juta orang. Mereka terus berproduksi meski nilai tambahnya stagnan.

Menurutnya, untuk membangun pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani juga diperlukan perlindungan dan pemberdayaan. Jaminan kepastian harga komoditas pertanian (harga dasar dan harga tertinggi) serta jaminan terserapnya hasil produksi pertanian menjadi hal yang mendesak dilakukan pemerintah. Selain juga jaminan ketersediaan benih dan pupuk yang berkualitas, harga terjangkau, dan tersedia.

“Pemberdayaan kemampuan dan ketrampilan petani juga harus ditingkatkan melalui penyuluhan yang mengikuti perkembangan zaman dan kontinyu. Ini mensyaratkan penyuluh dan kelembagaan penyuluh yang kuat dan memadai. Tanpa penyuluh dan penyuluhan, petani niscaya tertinggal dan tak berkembang ketrampilannya,” ujar Fadli.

“Hal lain, Reforma Agraria yang merujuk pada redistribusi lahan bukan sertifikasi lahan harus segera dilakukan. Pembangunan infrastruktur harus memprioritaskan bidang yang terkait secara langsung dengan petani dan pertanian. Juga hubungan dagang dengan luar negeri, perhitungkan dampaknya bagi petani. Itu yang seharusnya diproritaskan Pemerintah,” tambahnya.

 

Sumber