Blog

Partai Gerindra: Korupsi di Indonesia Makin Merajalela

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra mengungkap ketidakberesan manajemen penggunaan APBN yang dikelola oleh negara. Yang ada, Indonesia malah menuju sebagai negara gagal dan korupsi makin merajalela.

“Hasil survey Politic dan Economic, Risk Consultancy (PERC) pada 2010 menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9,07 dari angka 10 sebagai negara paling korup. Nilai tersebut naik dari tahun lalu yang poinnya 7,69. Ini menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se Asia Pasifik,” kata Fadli Zon, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra saat menggelar jumpa pers di Pulau Dua Senayan, Selasa (26/07/2011).

Dijelaskan, postur APBN yang mencerminkan negara salah urus, lanjutnya antara lain dilihat dari sejumlah indikator. Misalnya, pertumbuhan ekonomi yang tak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. “Ini memunculkan fenomena paradoks pertumbuhan ekonomi. Walau ekonomi tumbuh positif, namun belum mampu menyerap tanaga kerja untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan secara signifikan,” paparnya.

Partai Gerindra kemudian mengusulkan agar dimasukkan indeks pengentasan kemiskinan dan indeks penyerapan tenaga kerja sebagai salah satu variabel asumsi makro dalam penyusunan APBN. Selama ini, imbuh Fadli, asumsi makro hanya terdiri atas pertumbuhan ekonomi, inflasi, kurs nilai tukar, bunga SBI, harga minyak dunia dan lifting minyak.

“Pertumbuhan, hanya terjadi di sektor non-tradable. Tradable sector yang notabene menyerap 55,62 persen tenaga kerja hanya tumbuh 15,7 persen saja. Pertumbuhan terbesar tradable sector adalah sektor pertanian yang mencapai 7,94 persen. Belum lagi, soal penyerapan anggaran yang tak rasional,” Fadli menegaskan. “Kebijakan yang ada selama ini tak transparan karena kebijakannya liberal,” tambahnya.

Demi Angka Ambang Batas 3 Persen, Gerindra Rangkul Partai Menengah

TEMPO Interaktif, Jakarta – Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) siap mendekati dan melobi partai-partai menengah untuk menyamakan pandangan soal angka ambang batas masuk parlemen (Parliamentary Threshold). Gerindra tetap menilai angka 3 persen adalah angka ambang batas yang ideal bagi semua partai yang akan mengikuti pemilihan umum tahun 2014.

“Kami akan menggalang kesepakatan dengan partai-partai yang sepaham dengan kami soal Parliamentary Threshold. Banyak partai menengah yang ada di Setgab kecewa dengan partai-partai besar yang mengusung PT di atas 4 persen,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, usai konferensi pers di Restoran Pulau Dua, Selasa 26 Juli 2011.

Fadli mengatakan, empat partai menengah anggota Setgab Koalisi bakal dilobi oleh Gerindra. Partai tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Amanat Nasional. “Kemungkinan penyeragaman PT akan ditetapkan di angka 3 persen,” kata dia.

Pekan lalu, keempat partai menengah tersebut juga memilih angka 3 persen sebagai angka ambang batas yang paling sesuai. Sedangkan tiga partai besar yakni Demokrat, Golkar, dan PDI Perjuangan memilih angka 4 persen atau lebih sebagai angka ambang batas.

Fadli mengatakan, Gerindra sebenarnya siap menghadapi angka ambang batas sebesar 5 persen, sesuai keinginan partai-partai besar. Namun penerapan angka ambang batas 5 persen itu menurut Fadli bukanlah keputusan yang bijaksana. “PT yang tinggi menyebabkan oligarkhi kekuasaan yang rawan korupsi. Dengan semakin tinggi PT, banyak suar yang akan hilang,” katanya.

Lagipula, menurut Fadli, jumlah partai di bawah 10 masih sangat wajar dan bisa mencerminkan jumlah penduduk Indonesia sebanyak 240 juta jiwa. Selain itu, “Efektifitas pemerintahan juga tidak ada kaitannya dengan PT.”

Kursi Haram Sumber Kebobrokan DPR

INILAH.COM, Jakarta – Dugaan adanya praktik mafia pemilu di KPU dan Mahkamah Konstitusi (MK) memperkuat penilaian bahwa Pemilu 2009 adalah yang terburuk sepanjang sejarah. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, modus jual beli kursi yang melibatkan oknum KPU dan MK melengkapi kebobrokan selain persoalan amburadulnya Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Kursi haram yang ada di DPR saat ini, menurut Fadli, menjadi penyebab buruknya kinerja lembaga wakil rakyat dan maraknya praktik korupsi anggaran. “Anggota DPR yang lahir dari kecurangan dan menghalalkan segala cara, seperti zombie, yang pasti tak akan membela rakyat kecuali hanya mementingkan diri sendiri,” ujarnya kepada INILAH.COM, Jumat (8/7/2011).

Oleh karena itu, Fadli mendesak agar penegak hukum mengusut kasus jual beli kursi DPR hingga tuntas. “Saatnya kebobrokan dan kecurangan Pemilu 2009 dibongkar sebagai pembelajaran demokrasi dan penegakkan hukum.” KPU sebaga penyelenggara pemilu, menurutnya harus diminta pertanggungjawabannya tak hanya secara moral dan politik tapi juga secara hukum.

“Praktik kecurangan ini berdampak pada tingkat korupsi yang tinggi di DPR karena banyak kursi mungkin tak diperoleh dari suara rakyat,” ujarnya.

Gerindra: Buka Kecurangan Pilpres 2009

JAKARTA, TRIBUN – Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra meminta kepada Panja Mafia Pemilu untuk tak hanya fokus pada pengungkapan terkait surat palsu yang diduga melibatkan mantan anggota Partai Demokrat, Andi Nurpati. Panja, diminta untuk mengungkap hal lain, soal kebobrokan pelaksanaan Pilpres 2009 lalu.

“Saatnya kebobrokan dan kecurangan Pemilu 2009 dibongkar sebagai pembelajaran demokrasi dan penegakan hukum. Ini juga menjadi hal yang penting. Kemudian, anggota DPR yang lahir dari kecurangan dan menghalalkan segala cara, seperti zombie, yang pasti tak akan membela rakyat kecuali hanya mementingkan diri sendiri,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, Jumat (08/07/2011).

Ditegaskan, kenyataan yang terungkap melalui Panja Mafia Pemilu, makin mengukuhkan bahwa, Pemilu 2009 adalah pemilu yang paling bermasalah sejak merdeka. Mulai dari DPT yang tak jelas, praktik jual beli suara sampai jual beli kursi.

“KPU sebagai penyelenggara harus diminta pertanggungjawabannya, tak hanya secara moral dan politik tapi juga secara hukum. Praktek kecurangan ini berdampak pada tingkat korupsi yang tinggi di DPR karena banyak kursi, mungkin tak diperoleh dari suara rakyat,” tandas Fadli Zon.

Dari Loknas Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani: Pemberantasan Kemiskinan Dimulai dari Keluarga

Lembaga penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) dan Pusat Penelitian Gender dan Kependudukan (PPGK) Universitas Brawijaya (UB) menyelenggarakan lokakarya nasional selama dua hari, Rabu-Kamis (6-7) dengan mengangkat tema “Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemisikinan”. Lokakarya berlangsung di Gedung Widyaloka Lantai 2.

Ketua Pelaksana Dr. Ir. Sri Minarti menyampaikan, lokakarya nasional ini dihadiri 287 peserta yang berasal dari perguruan tinggi, balai penelitian, organisasi wanita, gabungan kelompok tani, mahasiswa dan kalangan umum. “Latar belakang diadakannya lokakarya karena keprihatinan kami dengan masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Terutama di pedesaan yang sebagian besar adalah keluarga petani.” tuturnya. Minarti berharap, dengan adanya lokakarya semua peserta bisa menyamakan visi dan misi dalam upaya pengentasan kemiskinan keluarga petani, melalui peningkatan potensi keluarga petani.

Rektor UB Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito yang membuka kegiatan ini menyampaikan, peran perguruan tinggi sebagai pelopor dan penggerak pembangunan harus bisa membantu para petani. “Riset-riset yang telah dihasilkan harapannya bisa memberikan peluang usaha untuk masyarakat ini merupakan bentuk pengabdian kepada masyarakat,” ungkapnya.

Sementara itu Prof Dr Ir Sri Kumalaningsih menuturkan, setiap keluarga memiliki potensi, sumber daya manusia dan utilitas (listrik, air, rumah, lahan). Potensi ini dapat dikembangkan oleh keluarga petani dengan pihak akademisi sebagai pendamping. Dalam pendampingan ini, keluarga petani diberikan modal untuk melakukan sebuah usaha. Modal ini bisa berasal dari perusahaan yang melakukan CSR, koperasi dan sebagainya. Modal tersebut kemudian dikembangkan dan pada akhirnya nanti dapat digulirkan kepada keluarga petani lainnya. “Karenanya, pemberantasan kemiskinan bisa dimulai dari keluarga,” pungkasnya.

Lokakarya menghadirkan Sekretaris Jendral Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon, SS., MSc. Pada kesempatan itu Fadli menyampaikan, besarnya tingkat kemiskinan di pedesaan akan memberikan efek terhadap jumlah kemiskinan Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak desa dan sebagian penduduk tergantung pada sektor pertanian. “Akibat kemiskinan di pedesaan, mendorong  warga desa melakukan urbanisasi mencari pekerjaan ke kota. Hal ini seperti memindahkan kemiskinan dari desa ke kota,” ujar Fadli.

Lebih lanjut Fadli memaparkan tentang pentingnya pendidikan, pelatihan dan penyuluhan bagi petani. Kualitas petani, peternak dan nelayan Indonesia masih rendah dibandingkan dengan kelompok lain. “Sekitar 80 persen petani memiliki tingkat pendidikan formal hanya sampai tamat SD. Tidak  sekolah sama sekali. Perlu usaha percepatan dan peningkatan program pendidikan, pelatihan dan penyuluhan, bagi perbaikan sumber daya petani,” pungkas Fadli.

Sedangkan Manajer Umum Puspa Agro Abdullah Muchibuddin, SE., MAk., menyampaikan tentang sentralisasi pasar komoditi untuk peningkatan produktivitas pertanian.  Menurut Abdullah, permasalahan petani agro saat ini diantaranya masih adanya ketimpangan antara permintaan terhadap ketersediaan produk. Keseragaman mutu produk, penanganan produksi yang masih konvensional dan alur distribusi, masih belum terorganisir. “Puspa Agro berperan sebagai pusat distribusi produk para petani,” ungkapnya. Selain itu, Puspa Agro bisa dijadikan sebagai wisata pasar agribis, wisata pendidikan, penelitian produk-produk pertanian dan perikanan serta pengembangan teknologi.

Sekjen HKTI Dorong Petani untuk Berpolitik

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG – Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pimpinan Prabowo Soebianto, Fadli Zon mengatakan bahwa petani harus berpolitik. “Berpolitik tidak harus berada dalam lingkaran partai politik (parpol), sebab kalau tidak berpolitik petani akan menjadi korban para politisi,” kata Fadli ketika berbicara dalam lokakarya nasional “Pemberdayaan Potensi Keluarga Tani Untuk Pengentasan Kemiskinan” di Universitas Brawijaya (UB) Malang, Rabu.

Menurut dia, politik para petani bertujuan untuk menggunakan hak-haknya sebagai petani sekaligus agar ada pembelaan. Oleh karenanya, petani harus ikut berpolitik jika tidak ingin menjadi korban terutama oleh para politisi.

Ia mengemukakan, kebijakan pemerintah di bidang pertanian masih jauh dari harapan sehingga berdampak pada lambannya keluarga petani yang dientaskan dari jurang kemiskinan. Sebenarnya, kata Fadli, pemerintah bukan tidak mampu untuk memajukan sektor pertanian. Hanya saja, kebijakan di sektor pertanian saat ini salah arah.

Apalagi, lanjutnya, secara garis besar kebijakan pemerintah yang tertuang dalam APBN tidak terlihat sama sekali adanya keberpihakan pemerintah terhadap petani. APBN, katanya, justru lebih banyak digunakan untuk gaji pegawai dan pembiayaan lain-lain yang tidak penting, seperti studi banding alias pelesir ke luar negeri dan pembangunan-pembangunan gedung yang tidak mendesak.

Menyinggung tingginya angka impor berbagai kebutuhan pokok, Fadli Zon mengatakan, sebenarnya bukan bangsa Indonesia tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan rakyat. “Kita mampu mencukupi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya sudah mencapai ratusan juta jiwa ini, tapi karena dari kegiatan impor itu ada rente (komisi), sehingga menjadi rebutan terutama dari para elit politik,” tegasnya.

Ke depan, lanjut Fadli, koperasi petani ini harus dihidupkan kembali dan dikembangkan lebih besar lagi, agar semua kebutuhan petani bisa tercukupi, sehingga tidak bergantung pada salah satu pihak saja.

Ia mencontohkan, koperasi yang khusus menangani masalah pupuk atau bibit (benih) berbagai jenis tanaman. “Kalau semua kebutuhan petani bisa dicukupi sendiri, petani tidak perlu bergantung pada pihak lain, seperti distributor pupuk atau benih,” ujarnya menambahkan.

Lukisan Kamal, Cermin Kegelisahan Minangkabau

JAKARTA – Pelukis Kamal Guci terbilang satu-satunya seniman Indonesia asal Sumatera Barat yang punya kegelisahan batin sama dengan perantau Minang dalam menyikapi kekalahan telak budaya Minang yang disosoh oleh budaya asing.  Lewat karyanya, Kamal Guci mencoba melawan gerak globalisasi yang berprinsip hanya yang kuat yang berhak hidup sementara yang kalah harus menjalani kemusnahan dengan sendirinya.

“Kegelisahan Kamal Guci yang memilih hidup di Minangkabau juga kegelisahan masyarakat Minang di perantauan dalam menyikapi budayanya yang kian tergusur oleh “peradaban baru” yang dikemas dalam hot issu globalisasi,” kata Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof Fasli Jalal, saat membuka pameran tunggal pelukis Kamal Guci, bertema “Menjelajah Ranah Menembus Rantau”, di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (28/6) malam.

Ungkapan kegelisahan Kamal Guci terhadap Budaya Minang yang dikomunikasikannya melalui semua lukisan Rumah Gadang yang terkesan kokoh tapi di setiap bangunannya ada saja yang rusak bahkan miring, menambah kegelisahan perantau bahwa sesaat lagi Minangkabau itu akan “rata” dengan tanah. Kamal Guci secara cerdas menggambarkan kondisi ini melalui penampakan simbol globalisasi yakni antene parabola yang menyajikan informasi global tapi tidak memberi tempat bagi kearifan lokal.

“Interaksi Kamal Guci selama menjelajah ranah sepertinya belum menemukan sikap optimis terhadap budaya Minang yang diyakini oleh komunitasnya masih sanggup mengimbangi paket globalisasi tanpa sedikitpun memperlihatkan kegelisahan sebagaimana yang diperlihatkan oleh Kamal Guci dalam setiap lukisannya,”  ujar Fasli Jalal.

Sementara itu, kegelisahan yang terus-menerus dialami oleh Kamal Guci secara riil tidak terlihat dalam kehidupan masyarakat Minang di Ranah Minang. “Kita dengan sangat mudah bisa menyimpulkan bahwa masyarakat Minang di kampung menganggap biasa saja Rumah Gadang itu terancam roboh, sementara Rumah Gadang adalah simbol dari eksistensi masing-masing kaum,” kata Fasli.

Lebih jauh, mantan Ketua Umum Gebu Minang itu mempertanyakan apakah interaksi antara rantau dan kampung masih berjalan sebagaimana halnya era tahun 80-an? “Pada era tahun 80-an dan sebelumnya terlihat interaksi rantau dengan kampung sangat mewarnai perjalanan Minangkabau. Malam ini kita hanya merasakan kegelisahan seorang Kamal Guci dengan perantau Minang,” ungkap Fasli.

Pada kesempatan yang sama, budayawan yang juga politisi nasional Fadli Zon menyampaikan apresiasi yang sangat luar biasa kepada Kamal Guci yang telah menyampaikan kritikan terhadap kita semua melalui lukisan.

“Sebagai pelukis, Kamal tidak tergoda untuk memindahkan keindahan dan keelokan Minangkabau ke kanvas. Dia dengan caranya sendiri justru menyampaikan nuansa suram Minangkabau yang disimbulkan melalui cacat yang dimiliki oleh setiap lukisan Rumah Gadang. Ini sebuah kritikan dan peringatan untuk kita semua bahwa dibalik keindahan alam Minang tersimpan ancaman (globalisasi) luar biasa,” jelas Fadli.

Lebih lanjut, Fadli Zon yang mengoleksi dua lukisan Kamal Guci melihat pelukis kelahiran Nagari Pakandangan 13 Oktober 1960 ini telah menemukan koordinatnya dalam perkembangan seni rupa di Sumbar dan Indonesia.

“Setelah lama ditinggal oleh Wakidi dan para pelukis “Mooi Indie”, Kamal Guci boleh dibilang pelukis “Mooi Minang” di baris depan dewasa ini. Bedanya, Kamal tidak hanya melukis soal keindahan tapi juga kehancuran tradisi dan budaya akibat ulah manusianya,” tegas Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Kritik dan kepedulian Kamal ini, lanjutnya, patut dihargai sebagai ekspresi emosinya atas perjalanan sejarah Minang. “Ia melukis dengan hati, tanpa basa-basi serta menyetubuhi setiap ruang dan bidang di kanvasnya menjadi irama,” tukas Fadli Zon.

Selain Wakil Mendiknas Fasli Jalal dan Budayawan Fadli Zon ratusan seniman, pembukaan pameran tunggal yang akan berlangsung hingga 7 Juli mendatang juga dihadiri antara lain oleh anggota Senator AM Fatwa, budayawan Leon Agusta, Ida Hasyim Ning dan Kivlan Zein.

Fadli Zon dan Gelar Kanjeng Pangerannya

Kanjeng Pangeran Fadli Zon Kusumo Hadiningrat. Itulah nama baru yang dianugerahkan Pakubuwono XIII dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Bagaimana perasaan Fadli menerima gelar baru itu?

“Saya merasa terhormat dengan ini, karena saya kan orang Minang. Tapi bagi saya ini beban dan amanah. Bagi saya ini tradisi yang bagus. Bukan mau mengagungkan feodalisme, tapi tradisi semacam ini merupakan bagian jatidiri yang tidak boleh dilupakan,” ujar Fadli dalam perbincangan dengan detikcom, Senin (27/6/2011).

Penyerahan gelar dilakukan Minggu (26/6) malam di Keraton Surakarta Hadiningrat. Keesokan harinya, Fadli menghadiri Upacara Tingalandalem Jumenengan yang ke-7 Pakubuwono XIII di Sasana Sewaka Keraton Surakarta Hadiningrat. Dia menuturkan, gelar Kanjeng Pangeran adalah gelar tertinggi yang pernah dicapai oleh orang di luar Keraton Surakarta Hadiningrat, mengingat ada pula orang di luar Keraton yang mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung.

“Kalau orang dalam Keraton mendapat gelarnya Gusti Pangeran Haryo. Dan Kanjeng Pangeran adalah gelar yang pernah dicapai oleh orang luar. Pangeran itu tertinggi. Bagi saya ini merupakan dialog kebudayaan yang konstruktif,” sambung pria kelahiran Jakarta, 1 Juni 1971.

Pemberian gelar ini, bagi Fadli, merupakan bagian mempertahankan tradisi di tengah era globalisasi. Menurutnya, ada sejumlah orang yang mendapatkan gelar dari Keraton Surakarta bersama-sama dengannya seperti beberapa bupati dan walikota. Mantan Ketua MPR Amien Rais juga pernah mendapat gelar dari Keraton Surakarta.

Dia menuturkan, sebelumnya dirinya dihubungi oleh pihak Keraton Surakarta dan ada seorang pengacara bernama Warsito Pranyoto yang mempromosikan dirinya. Fadli mengaku diajak bertemu dengan pihak Keraton dan dimintai curriculum vitae. Peristiwa itu sekitar 1,5 bulan lalu. “Pemberian Kanjeng Pangeran dan Kanjeng Raden Tumenggung itu internal Keraton. Mungkin mereka punya pertimbangan sendiri. Saya tidak tahu pertimbangannya,” ucapnya.

Konsekuensi dari gelar itu, imbuh Fadli, adalah ikut melestarikan budaya Keraton terkait dengan pekerjaan di masyarakat sebagai orang politik dan sosial. Menurut dia, tidak ada yang berbeda dari Fadli Zon dan Kanjeng Pangeran Fadli Zon Kusumo Hadiningrat. “Sama saja,” cetusnya sambil terkekeh.

Sebelumnya, di Sumatera Barat, Fadli juga menerima gelar kehormatan dari Istana Pagaruyung bersama mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim dan sejumlah orang lainnya. Gelar yang diterimanya adalah Tuanku Muda Pujangga Diraja. “Dengan gelar-gelar yang diberikan, kita diharapkan aktif di kegiatan budaya,” sambung Fadli.

Acara kebudayaan Keraton Surakarta yang diminta untuk didatangi para penerima gelar antara lain Jumenengan dan Kirab Pusaka 1 Suro. Fadli tidak keberatan harus aktif dalam kegiatan budaya, karena baginya budaya adalah sesuatu yang menarik. Bahkan dirinya mengoleksi keris sebagai bagian dari budaya.

“Bagi saya politik adalah kewajiban, tapi budaya adalah passion,” ucapnya. Orang dekat Prabowo Subiyanto ini menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Sedangkan pendidikan Master of Science (MSc) Development Studies diperolehnya dari The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris.

Selain aktif di Gerindra, Fadli juga menjadi Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode 2010-2015. Dia juga Ketua ILUNI FIB UI untuk periode 2010-2013.

Konser Musik Kroasia Memukau

Batusangkar, Padek—Trio konser musik klasik Cantibele dari Kroasia dipimpin Dubes Kroasia HE Zeljko Cimbur, tampil memukau dalam pagelaran misi kebudayaan di rumah Budaya Fadli Zon, di Nagari Aieangek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanahdatar, beberapa waktu lalu. Ketiga personel, yakni Danijela Pentaric pada soprano, Tvko Stipic tenor dan Mario Coppor piano, mampu tampil maksimal.

Acara konser musik tersebut, di samping dijamu tuan rumah Fadli Zon, juga hadir sejumlah tokoh Sumbar seperti Basri Djabar, Shofwan Karim (Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat), Bupati Tanahdatar M Shadiq Pasadigoe dan Wakil Wali Kota Padangpanjang Edwin Abas, didampingi Kapolresta Padangpanjang Syofyan Hidayat. Juga, politisi, pengusaha, seniman dan sejumlah budayawan Sumbar, serta wali nagari se-Kecamatan X Koto.

Duta Besar Kroasia HE Zelijko Cimbur dalam sambutannya, mengaku sangat terkesan dengan keindahan alam Minangkabau. Ini merupakan kunjungan keduanya di rumah Fadli Zon yang berhadapan dengan rumah puisi Taufik Ismail. ”Alam Minangkabau sangat indah, dan Minangkabau juga memiliki kebudayaan yang telah lama dikenal luas masyarakat dunia,” katanya. Ia berjanji ikut mempromosikan dan memperkenalkan pariwisata dan budaya Minangkabau di negaranya.

Sementara itu, Bupat Tanahdatar M Shadiq Pasadigoe juga menyampaikan aspresiasinya atas kunjungan Dubes Kroasia dan diprakasai Fadli Zon. Melalui kunjungan itu kita bisa memperkenalkan keindahan alam Tanahdatar kepada turis mancanegara. Kita tentu berharap selama di Tanahdatar Dubes Kroasia merasa betah, dan ikut membantu mempromosikan parwisata Tanahdatar,” katanya.

Di sisi lain, Fadli Zon mengatakan, kegiatan ini dalam rangka kerja sama misi kebudayaan. ”Misi ini memiliki arti sangat strategis dalam upaya  menjadikan Tanahdatar dan Sumbar sebagai kantong kebudayaan baru. ”Keberadaan rumah budaya dan rumah puisi ini akan bisa mengorbitkan kebudayaan dan kesenian Minang, agar bisa lebih dikenal masyarakat luas, baik nasional maupun internasional,” kata politisi Partai Gerindra ini.

Ridwan: 3 September, Hari Jadi Kota Jakarta

Ridwan Saidi, budayawan dan sejarawan Betawi (kanan) serta Batara Hutagalung, peneliti sejarah dalam diskusi terbatas bertajuk Kontroversi HUT Jakarta di Fadli Zon Library, Jl. Limboto C.2, Pejompongan, Jakarta, Rabu (22/6/2011).

Sejarawan dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, menilai bahwa tanggal 3 September lebih layak ditetapkan sebagai Hari Jadi DKI Jakarta. Alasannya, pada tanggal tersebut, Soekarno mengeluarkan surat keputusan penetapan sekaligus penamaan Kota Jakarta sebagai wilayah administratif.

“Saya lebih setuju kalau tanggal 3 September 1945 ditetapkan sebagai hari lahir Kota Jakarta,” kata Ridwan dalam diskusi terbatas “Kontroversi HUT Jakarta” di Fadly Zon Library, Pejompongan, Jakarta, Rabu (22/6/2011).

Menurut Ridwan, hari tersebut lebih tepat dan lebih pasti dibandingkan tanggal 22 Juni 1527 yang ditetapkan hingga saat ini. “Saat itu nama Jakarta ditetapkan secara resmi sebagai wilayah administratif,” kata Ridwan.

Penetapan tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Dia menunjuk kota Bandung dan kota Bekasi menetapkan hari jadi berdasarkan surat keputusan pemerintah nasional.

Lagi pula, kata Ridwan, pada masa pemerintahan Soekarno tidak ada hari tertentu yang dirayakan sebagai hari jadi Jakarta. Perayaan hari jadi Ibu Kota yang dahulu bernama Sunda Kalapa ini baru terjadi pada masa Orde Baru.

Jika memilih tanggal 22 Juni 1527, maka pemerintah dianggap telah memenggal sejarah Jakarta yang sudah ada jauh sebelum hari tersebut. Sejarah sudah menyebutkan adanya Pelabuhan Kalapa di wilayah yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunda Kalapa pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran sekitar abad ke-10. Prasasti Tugu di Jakarta Utara yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 juga menunjukkan tempat tersebut sebagai ibu kota Kerajaan Tarumanegara.

Terkait serangan Demak ke Sunda Kalapa, Ridwan juga menambahkan bahwa motif serangan Kerajaan Demak ke Sunda Kalapa adalah motif bisnis perniagaan. Pelabuhan Demak dan Cirebon kala ini tidak seramai Sunda Kalapa yang memiliki ceruk (sunda atau teluk) yang lebih memadai sebagai pelabuhan.

Pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran dan dikelola oleh orang Betawi itu menurut Ridwan telah mengundang minat orang Portugis dan Kerajaan Demak.

Saat penyerbuan ke Sunda Kalapa, Fatahillah membunuh juga syahbandar pelabuhan, wakilnya, dan penerjemah dagang. Akibatnya, setelah dikuasai Demak, Jayakarta justru mengalami kemunduran. “Ini karena untuk berdagang harus ada penerjemahnya. Yang datang kan orang-orang dari luar, bukan orang-orang dari satu bahasa,” tandas Ridwan.

Untuk menambah pendapatan, Fatahillah kemudian menyewakan kavling tanah kepada VOC. Pada masa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, lahan itu kemudian dibangun menjadi benteng yang kuat. Dari benteng tersebutlah pada tahun 1619, VOC menyerang pemerintahan pribumi yang saat itu berada di bawah kekuasaan Banten. VOC kemudian mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Batavia.