Ridwan: 3 September, Hari Jadi Kota Jakarta

Ridwan Saidi, budayawan dan sejarawan Betawi (kanan) serta Batara Hutagalung, peneliti sejarah dalam diskusi terbatas bertajuk Kontroversi HUT Jakarta di Fadli Zon Library, Jl. Limboto C.2, Pejompongan, Jakarta, Rabu (22/6/2011).

Sejarawan dan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, menilai bahwa tanggal 3 September lebih layak ditetapkan sebagai Hari Jadi DKI Jakarta. Alasannya, pada tanggal tersebut, Soekarno mengeluarkan surat keputusan penetapan sekaligus penamaan Kota Jakarta sebagai wilayah administratif.

“Saya lebih setuju kalau tanggal 3 September 1945 ditetapkan sebagai hari lahir Kota Jakarta,” kata Ridwan dalam diskusi terbatas “Kontroversi HUT Jakarta” di Fadly Zon Library, Pejompongan, Jakarta, Rabu (22/6/2011).

Menurut Ridwan, hari tersebut lebih tepat dan lebih pasti dibandingkan tanggal 22 Juni 1527 yang ditetapkan hingga saat ini. “Saat itu nama Jakarta ditetapkan secara resmi sebagai wilayah administratif,” kata Ridwan.

Penetapan tersebut bukanlah sesuatu yang aneh. Dia menunjuk kota Bandung dan kota Bekasi menetapkan hari jadi berdasarkan surat keputusan pemerintah nasional.

Lagi pula, kata Ridwan, pada masa pemerintahan Soekarno tidak ada hari tertentu yang dirayakan sebagai hari jadi Jakarta. Perayaan hari jadi Ibu Kota yang dahulu bernama Sunda Kalapa ini baru terjadi pada masa Orde Baru.

Jika memilih tanggal 22 Juni 1527, maka pemerintah dianggap telah memenggal sejarah Jakarta yang sudah ada jauh sebelum hari tersebut. Sejarah sudah menyebutkan adanya Pelabuhan Kalapa di wilayah yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunda Kalapa pada masa pemerintahan Kerajaan Pajajaran sekitar abad ke-10. Prasasti Tugu di Jakarta Utara yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 juga menunjukkan tempat tersebut sebagai ibu kota Kerajaan Tarumanegara.

Terkait serangan Demak ke Sunda Kalapa, Ridwan juga menambahkan bahwa motif serangan Kerajaan Demak ke Sunda Kalapa adalah motif bisnis perniagaan. Pelabuhan Demak dan Cirebon kala ini tidak seramai Sunda Kalapa yang memiliki ceruk (sunda atau teluk) yang lebih memadai sebagai pelabuhan.

Pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran dan dikelola oleh orang Betawi itu menurut Ridwan telah mengundang minat orang Portugis dan Kerajaan Demak.

Saat penyerbuan ke Sunda Kalapa, Fatahillah membunuh juga syahbandar pelabuhan, wakilnya, dan penerjemah dagang. Akibatnya, setelah dikuasai Demak, Jayakarta justru mengalami kemunduran. “Ini karena untuk berdagang harus ada penerjemahnya. Yang datang kan orang-orang dari luar, bukan orang-orang dari satu bahasa,” tandas Ridwan.

Untuk menambah pendapatan, Fatahillah kemudian menyewakan kavling tanah kepada VOC. Pada masa Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen, lahan itu kemudian dibangun menjadi benteng yang kuat. Dari benteng tersebutlah pada tahun 1619, VOC menyerang pemerintahan pribumi yang saat itu berada di bawah kekuasaan Banten. VOC kemudian mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Batavia.