Blog

Fadli Zon tegaskan pilkada serentak efisienkan anggaran

Fadli Zon tegaskan pilkada serentak efisienkan anggaran

Fadli Zon tegaskan pilkada serentak efisienkan anggaran

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon mengatakan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak dapat mempengaruhi efisiensi anggaran pemerintah.

“Pilkada serentak adalah suatu kebutuhan bagi demokrasi kita. Selain menghapus biaya politik tinggi, hal itu juga akan meningkatkan kualitas demokrasi yang esensinya harus menyejahterakan rakyat,” kata Fadli Zon dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Pelaksanaan pilkada serentak secara otomatis akan mengurangi biaya politik partai, karena tenaganya tidak terkuras untuk memikirkan kelancaran pelaksanaan pilkada.

Dengan demikian, lanjutnya, parpol akan semakin fokus mengurusi kepentingan rakyat.

“Waktu bagi parpol untuk bekerja menyelesaikan masalah rakyat akan semakin banyak dan fokus karena tak terlalu disibukkan oleh dinamika pilkada,” tambah Fadli Zon.

Menurut dia, sistem pilkada yang saat ini berlangsung di Tanah Air sejak 2005 harus segera dievaluasi karena tidak tepat guna, baik secara anggaran maupun pelaksanaannya.

“Pembiayaan pilkada selama ini diambil dari dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), sementara untuk pilkada kabupaten dan kota saja minimal menghabiskan Rp25 miliar dan pilkada provinsi minimal Rp100 miliar,” jelasnya.

Dia menambahkan bahwa pembiayaan pilkada juga sebaiknya dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar dapat meminimalisasikan peluang anggaran politik yang besar.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi telah mengupayakan usul pelaksanaan pilkada serentak dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada yang saat ini masih dalam pembahasan di DPR.

Saat ini, Pemerintah meminta seluruh daerah yang akan menggelar pilkada 2014 untuk dimajukan pada 2013 karena berbenturan dengan pelaksanaan Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden.

Pelaksanaan pilkada pada tahun 2014 tercatat sebanyak 43 daerah, dengan 15 di antaranya masih belum menemukan kata sepakat.

Ke-15 daerah tersebut terdiri atas satu provinsi, sembilan kabupaten, dan lima kota, sementara jadwal pilkada pada tahun 2013 ada 14 provinsi, 95 kabupaten, dan 28 kota. Dengan demikian, total penyelenggaraan pilkada pada tahun 2013 sebanyak 152 pilkada.
(F013/A011)

Editor: Ruslan Burhani

Gerindra: Pilkada Serentak Efisienkan Anggaran

Gerindra: Pilkada Serentak Efisienkan Anggaran

Gerindra Pilkada Serentak Efisienkan Anggaran

 

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon mengatakan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak dapat mempengaruhi efisiensi anggaran pemerintah.

“Pilkada serentak adalah suatu kebutuhan bagi demokrasi kita. Selain menghapus biaya politik tinggi, hal itu juga akan meningkatkan kualitas demokrasi yang esensinya harus menyejahterakan rakyat,” kata Fadli Zon dalam pernyataannya, di Jakarta, Sabtu (16/2/2013).

Menurut Fadli Zon, pelaksanaan pilkada secara serentak otomatis akan mengurangi biaya politik partai, karena tenaganya tidak terkuras untuk memikirkan kelancaran pelaksanaan pilkada. Dengan demikian, lanjutnya, parpol akan semakin fokus mengurusi kepentingan rakyat.

“Waktu bagi parpol untuk bekerja menyelesaikan masalah rakyat akan semakin banyak dan fokus karena tak terlalu disibukkan oleh dinamika pilkada,” kata Fadli Zon.

Fadli menjelaskan, sistem pilkada yang saat ini berlangsung di Tanah Air sejak 2005 harus segera dievaluasi karena tidak tepat guna, baik secara anggaran maupun pelaksanaannya.

“Pembiayaan pilkada selama ini diambil dari dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), sementara untuk pilkada kabupaten dan kota saja minimal menghabiskan Rp 25 miliar dan pilkada provinsi minimal Rp 100 miliar,” jelasnya.

Bagi daerah yang memiliki pendapatan rendah, biaya sebesar itu jelas memboroskan anggaran daerahnya. “Efeknya, ini akan mempengaruhi alokasi untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur lainnya di daerah tersebut,” kata Fadli.

Fadli menambahkan, pembiayaan pilkada akan lebih baik jika dialokasikan dari APBN, bukan APBD. Sebab, jika dari APBD, peluang politisasi anggaran sangat besar dilakukan oleh para politisi lokal. Namun peluangnya akan kecil bila dialokasikan dari APBN.

Fadli Zon: Pilkada Serentak, Efisienkan Anggaran

Fadli Zon: Pilkada Serentak, Efisienkan Anggaran

Pilkada Serentak, Efisienkan Anggaran

 

Mekanisme pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang diselenggarakan sejak 2005, harus segera dievaluasi. Pasalnya, Pilkada ini sangat tak efisien. Baik secara anggaran, maupun pelaksanaan.

“Pembiayaan pilkada selama ini diambil dari dana APBD. Untuk pilkada kabupaten dan kota saja minimal menghabiskan 25 miliar rupiah. Untuk pilkada provinsi minimal 100 miliar rupiah,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai GERINDRA, Fadli Zon kepada wartawan beberapa saat lalu, (Sabtu, 16/2).

Menurutnya, bagi daerah yang memiliki pendapatan rendah, biaya sebesar itu jelas memboroskan anggaran daerahnya. Efeknya, ini akan mempengaruhi alokasi untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur lainnya di daerah tersebut.

Pembiayaan pilkada, masih lanjutnya, juga akan lebih baik jika dialokasikan dari APBN, bukan APBD. Sebab, jika dari APBD, peluang politisasi anggaran sangat besar dilakukan oleh para politisi lokal. Namun peluangnya akan kecil bila dialokasikan dari APBN.

“Pilkada serentak juga akan membuat political cost berkurang. Artinya, mesin partai tak akan menghabiskan waktu banyak untuk pilkada,” ujar Sekjen HPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu.

Dengan begitu, lanjut Fadili Zon, waktu untuk bekerja menyelesaikan masalah rakyat akan semakin banyak dan fokus karena tak terlalu disibukkan oleh dinamika pilkada.

“Bayangkan, jika mesin partai setelah sibuk urusi pilkada walikota, lalu kabupaten, lalu provinsi. Kapan partai bisa fokus kerja mendukung proses pembangunan pendidikan dan kesehatan bagi konstituennya?,” tegasnya.

Dikatakannya, ini jelas tak bagus bagi kualitas demokrasi Indonesia. Partai yang harusnya bisa turut menjadi dinamisator pembangunan justru hanya menjadi sekedar mesin politik.

“Karenanya, pilkada serentak adalah suatu kebutuhan bagi demokrasi kita. Selain menghapus biaya politik tinggi, juga akan meningkatkan kualitas demokrasi, yang esensinya harus mensejahterakan rakyat,” demikian Fadli Zon.

Pemerintah Harus Tegas Basmi Kartel Pangan!

Pemerintah Harus Tegas Basmi Kartel Pangan!

Pemerintah Harus Tegas Basmi Kartel Pangan!

Harga daging, kedelai, dan beberapa komoditas pangan lain yang melambung tinggi tidak lepas dari adanya kartel pangan yang tetap eksis hingga sekarang.

Dan terungkapnya kasus korupsi impor daging, menjadi bukti kuat praktek ini. KPK pun mengakui menemukan banyak mafia impor pangan dalam bentuk kartel-kartel, yang diduga kuat mempunyai jaring ke pihak pengambil keputusan, atau dengan kata lain berkolusi dengan penguasa.

“Informasi KPK ini harusnya membuat pemerintah segera mengambil tindakan untuk mentertibkannya. Bukan justru meminta publik tak gegabah menyalahkan adanya kartel,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Jumat, 15/2).

Selama ini, kata Fadli, pemerintah terlalu percaya diri dengan sistem yang dibuatnya. Pemerintah yakin bahwa sistem akan menghindari terbentuknya kartel pangan sehingga tak aktif atau tak mau menyelidiki keberadaan kartel-kartel pangan ini.

“Menjamurnya kartel pangan juga refleksi dari lemahnya UU Antimonopoli kita. Benar, kita punya UU No.5/1999, tapi aturan tersebut dibuat dalam konteks memenuhi pesanan IMF terkait  dana bantuan yang dijanjikannya,” ungkap Fadli, yang juga Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).

Pada 2012, Fadli mencatat, total impor pangan Indonesia senilai Rp 81,5 triliun rupiah. Dan dipastikan kartel importir bahan pangan mengambil 30 persen keuntungan pertahun atau sekitar Rp 11,3 triliun.

Fadli pun mendorong pemerintah untuk tetap mempertahankan kebijakan yang menurunkan kuota impor. Dan kebijakan ini jangan sampai distir oleh kepentingan kartel pangan untuk menambah kuota impor demi menstabilkan harga.

“Impor bebas hanya akan menguntungkan kartel pangan dan merugikan petani serta konsumen,” tegas Fadli, sambil mengingatkan bahwa kartel pangan sering memanfaatkan kelemahan pemerintah, seperti lemahnya akurasi data pangan dalam sensus cadangan sapi nasional. Dan kesimpangsiuran data pangan inilah yang seringkali dimainkan kelompok kartel.

“Agar pangan nasional terjamin, pemerintah tak cukup melakukan pembatasan impor, namun juga harus bertindak tegas menghapuskan kartel-kartel pangan,” demikian Fadli.

RI Impor Pangan Rp 81,5 Triliun, Kartel Untung Rp 11,3 Triliun

RI Impor Pangan Rp 81,5 Triliun, Kartel Untung Rp 11,3 Triliun

RI Impor Pangan Rp 81,5 Triliun, Kartel Untung Rp 11,3 Triliun

 

Jakarta – Total pangan yang diimpor Indonesia di 2012 lalu nilainya mencapai Rp 81,5 triliun. Dari jumlah tersebut, para perusahaan kartel importir pangan mengambil 30% keuntungan per tahun atau sekitar Rp 11,3 triliun.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon dalam keterangannya yang dikutip, Jumat (15/2/2013).

“Selama ini pemerintah terlalu percaya diri dengan sistem yang dibuatnya. Pemerintah yakin bahwa sistem akan menghindari terbentuknya kartel pangan. Sehingga tak aktif atau tak mau menyelidiki keberadaan kartel-kartel pangan,” jelas Fadli.

Dia mengatakan, menjamurnya kartel pangan jadi refleksi lemahnya UU Antimonopoli di Indonesia. Benar, Indonesia punya UU No. 5 tahun 1999, tapi menurut Fadli aturan tersebut dibuat dalam konteks memenuhi pesanan IMF terkait dana bantuan yang dijanjikannya.

Tingginya harga daging, kedelai, dan beberapa komoditas pangan lain tak lepas dari adanya kartel pangan yang tetap eksis hingga sekarang. Terungkapnya kasus korupsi impor daging, menjadi bukti kuat praktik ini.

“KPK pun mengakui temukan banyak mafia impor pangan dalam bentuk kartel-kartel. Kartel pangan ini diduga kuat punya jaring ke pihak pengambil keputusan. Mereka berkolusi dengan penguasa. Informasi KPK ini harusnya membuat pemerintah segera mengambil tindakan untuk mentertibkannya. Bukan justru meminta publik tak gegabah menyalahkan adanya kartel,” tegas Fadli.

Tahun ini kuota impor mulai diturunkan, dan Fadli meminta pemerintah harus pertahankan kebijakan ini. Jangan sampai pemerintah disetir oleh kepentingan kartel pangan untuk menambah kuota impor demi menstabilkan harga. Impor bebas hanya akan menguntungkan kartel pangan dan merugikan petani serta konsumen.

Kartel pangan juga sering memanfaatkan kelemahan pemerintah. Seperti lemahnya akurasi data pangan, sebagaimana sering terjadi dalam sensus cadangan sapi nasional. Simpang siur data pangan seperti ini seringkali dimainkan kelompok kartel.

“Agar pangan nasional terjamin, pemerintah tak cukup melakukan pembatasan impor, namun juga harus bertindak tegas menghapuskan kartel-kartel pangan,” cetus Fadli.

Pemerintah Harus Segera Atasi Kartel Pangan

Pemerintah Harus Segera Atasi Kartel Pangan

Pemerintah Harus Segera Atasi Kartel Pangan

Jakarta – Terungkapnya kasus korupsi impor daging menjadi bukti kuat praktik kartel pangan yang menyebabkan tingginya harga daging, kedelai, dan beberapa komoditas pangan lain. Pemerintah diminta menyiapkan langkah-langkah struktural mengatasi dan memberantas kartel tersebut.

Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, KPK sendiri telah mengakui banyaknya mafia impor pangan dalam bentuk kartel-kartel. Kartel pangan ini diduga kuat punya jaring ke pihak pengambil keputusan.

“Mereka berkolusi dengan penguasa. Informasi KPK ini harusnya membuat pemerintah segera mengambil tindakan untuk mentertibkannya. Bukan justru meminta publik tak gegabah menyalahkan adanya kartel,” kata Fadli Zon di Jakarta, Jumat (15/4).

Pria yang juga duduk sebagai Sekjen DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) itu melanjutkan Pemerintah selama ini terlalu percaya diri dengan sistem yang dibuatnya. Pemerintah yakin bahwa sistem akan menghindari terbentuknya kartel pangan sehingga tak aktif atau tak mau menyelidiki keberadaan kartel-kartel pangan.

Beberapa hal harus dibenahi termasuk UU Antimonopoli yang lemah sehingga kartel pangan menjamur.

“Benar, kita punya UU No 5 tahun 1999, tapi aturan tersebut dibuat dalam konteks memenuhi pesanan IMF terkait berapa besaran kerugian negara akibat kartel pangan? Berdasarkan hitungan Fadli, pada 2012, total impor pangan senilai Rp81,5 triliun, dan kartel importir bahan pangan mengambil 30 persen keuntungan pertahun atau sekitar Rp11,3 triliun.

“Tahun ini kuota impor mulai diturunkan. Pemerintah harus pertahankan kebijakan ini. Jangan sampai disetir oleh kepentingan kartel pangan untuk menambah kuota impor demi menstabilkan harga. Impor bebas hanya akan menguntungkan kartel pangan dan merugikan petani serta konsumen,” tegas dia.

Kartel pangan juga sering memanfaatkan kelemahan pemerintah soal akurasi data pangan, sebagaimana sering terjadi dalam sensus cadangan sapi nasional. Simpang siur data pangan inilah yang seringkali dimainkan kelompok kartel.

“Agar pangan nasional terjamin, pemerintah tak cukup melakukan pembatasan impor, namun juga harus bertindak tegas menghapuskan kartel-kartel pangan,” tandas Fadli.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan akan segera menyerahkan sebagian data hasil auditnya terkait impor sapi ke DPR.

Pernyataan itu keluar tak lama setelah Ekonom Dradjad Wibowo mengeluarkan hasil penelusurannya bahwa ada sekitar Rp540 miliar lebih pertahun potensi penerimaan negara lewat PPN impor daging sapi dan jeroan sapi yang ‘disunat’ oleh mafia impor. Itu masih ditambah dengan puluhan miliar rupiah yang diembat mafia via mengakali bea masuk impor.

Dia menduga uang itulah yang digunakan oleh para mafia impor untuk menyuap politisi dan aparat negara terlibat dalam permainan itu.

KPK sendiri sudah menangkap mantan Presiden PKS Luthfie Hasan Ishaaq dalam kasus dugaan suap impor sapi. Dalam kasus itu, KPK menetapkan beberapa tersangka, yakni Luthfi dan orang dekatnya, Ahmad Fathanah, serta direktur PT Indoguna Utama, yakni Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi.

Luthfi bersama orang dekatnya, Ahmad Fathanah, diduga menerima hadiah Rp1 miliar dari Juard dan Arya. Pemberian uang itu diduga berkaitan dengan kepengurusan rekomendasi kuota impor daging sapi untuk PT Indoguna.

Penulis: Markus Junianto Sihaloho/AYI

Gerindra: Syarat Capres Tinggi, Cermin Oligarki Partai

Gerindra: Syarat Capres Tinggi, Cermin Oligarki Partai

Gerindra: Syarat Capres Tinggi, Cermin Oligarki Partai

Sikap mempertahankan presidential threshold atau ambang batas pengusungan calon Presiden dan Wakil Presiden di angka 20 persen dinilai cermin dari oligarki partai. Sikap tersebut dinilai bertentangan dengan demokrasi.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon di Jakarta, Rabu (13/2/2013), menyikapi revisi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres).

Fadli mengatakan, konstitusi tak mengamanatkan ambang batas pencalonan presiden. Angka PT 20 persen dalam UU Pilpres, kata dia, patut dipertanyakan lantaran dalam UUD 1945 Pasal 6 tak diamanatkan penetapan ambang batas.

“Penetapan PT jelas melanggar konstitusi dan mencederai prinsip civil rights dalam demokrasi. Ini hanyalah kepentingan subjektif jangka pendek partai tertentu. Itu bertentangan dengan hak setiap orang untuk memilih dan dipilih,” kata Fadli.

Fadli menambahkan, tingginya angka PT juga membatasi potensi munculnya capres terbaik di Pemilu 2014 maupun pemilu selanjutnya. Partai Gerindra tetap menginginkan angka PT sesuai dengan ambang batas parlemen, yakni 3,5 persen agar semakin banyak capres alternatif.

“Biarlah rakyat yang memilih. Jangan sampai capres hanya milik segelintir elit partai,” pungkas dia.

Seperti diberitakan, pembahasan revisi UU Pilpres di Badan Legislasi DPR masih buntu. Sikap fraksi masih terpecah mengenai perlu tidaknya UU Pilpres direvisi sehingga belum menyentuh substansi UU.

Sebagian besar fraksi mendorong dilakukan revisi. Mereka, diantaranya Partai Keadilan Sejahtera, PDI Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, Partai Kebangkitan Bangsa. Adapun yang menolak diantaranya Partai Golkar.

Presidential Threshold Cermin Oligarki Partai dan Anti Demokrasi!

Presidential Threshold Cermin Oligarki Partai dan Anti Demokrasi!

Presidential Threshold Cermin Oligarki Partai dan Anti Demokrasi!

Salah satu isu krusial yang masih menjadi perdebatan di DPR dalam RUU Pilpres adalah presidential threshold (PT). Beberapa partai bersikukuh mempertahankan PT 20 persen, sementara partai lainnya menghendaki agar angka PT sesuai parlimentary threshold saja yaitu 3,5 persen. Ada juga sementara kalangan yang menilai PT ini dihapuskan saja.

Partai Gerindra termasuk pihak yang mempertanyakan landasan hukum angka PT 20 persen ini. Sebab, dalam UUD 1945 pasal 6, tak diamanatkan penetapan ambang batas pengajuan calon presiden. Konstitusi hanya menyebutkan bahwa presiden dan wapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol.

“Sehingga, penetapan angka presidential treshold untuk pencalonan presiden, jelas melanggar konstitusi dan mencederai prinsip civil rights dalam sistem demokrasi. Ini anti demokrasi,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Rabu, 13/2).

Menurut Fadli, angka PT yang begitu tinggi merupakan cermin oligarki partai yang bertentangan dengan semangat demokrasi. Dan penetapan angka ini hanyalah kepentingan subyektif jangka pendek partai tertentu yang bertentangan dengan hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.

“Oligarki partai ini memangkas hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden, serta membatasi potensi munculnya capres-capres terbaik bagi bangsa untuk 2014 dan seterusnya,” ungkap Fadli, yang dikenal memiliki banyak koleksi dan puluhan ribu buku yang disimpannya di Library Fadli Zon.

Berdasarkan konstitusi, Fadli melanjutkan, memang partai politik yang dapat mencalonkan presiden dan wapres. Namun sekali lagi, konstitusi tak mengamanatkan parpol untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden. Sehingga, pencantuman angka PT  dalam UU dan RUU Pilpres yang sedang dibahas, jelas tak memiliki landasan konstitusi.

“Partai Gerindra menginginkan PT sesuai dengan parlimentary threshold sehingga semakin banyak alternatif capres. Biarlah rakyat yang memilih. Jangan sampai capres hanya milik segelintir elit partai,” demikian Fadli.

Gerindra Ingin ‘Presidential Threshold’ 3,5 Persen

Gerindra Ingin ‘Presidential Threshold’ 3,5 Persen

Gerindra Ingin 'Presidential Threshold' 3,5 Persen

Salah satu isu krusial dalam pembahasan RUU Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) adalah presidential threshold (PT). Partai Gerindra menginginkan PT sesuai dengan parliamentary threshold 3,5 persen sehingga semakin banyak alternatif capres.

“Biarlah rakyat yang memilih. Jangan sampai capres hanya milik segelintir elite partai,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam rilisnya, Rabu (13/2).

Beberapa partai saat ini ngotot mempertahankan PT 20 persen. Partai lainnya menginginkan angka  lebih rendah sesuai parliamentary threshold 3,5 persen atau bahkan dihapuskan saja.

Dalam Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan ‘Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden’.

“Angka PT 20 persen, patut dipertanyakan landasan hukumnya. Sebab, dalam UUD 1945 pasal 6, tak diamanatkan penetapan ambang batas. Konstitusi kita menyebutkan bahwa presiden dan wapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Sehingga, penetapan angka threshold untuk pencalonan presiden jelas melanggar konstitusi dan mencederai prinsip civil rights dalam sistem demokrasi. Ini anti demokrasi,” papar Fadli.

Fadli menambahkan, angka PT yang begitu tinggi merupakan cermin oligarki partai yang bertentangan dengan semangat demokrasi. Ini hanyalah kepentingan subyektif jangka pendek partai tertentu dan bertentangan dengan hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.

“Oligarki partai ini memangkas hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai Presiden. Serta membatasi potensi munculnya capres-capres terbaik bagi bangsa untuk 2014 dan seterusnya,” katanya.

Gerindra: Presidential Threshold Inkonstitusional

Gerindra: Presidential Threshold Inkonstitusional

Gerindra: Presidential Threshold Inkonstitusional

Partai Gerindra menilai, penerapan presidential threshold (ambang batas presiden/PT) melanggar konstitusi. Bahkan, dinilai menciderai prinsip hak rakyat dalam sistem demokrasi.

“Ini anti demokrasi,” kata Wakil Ketua Umum DPP parai

PT menjadi salah satu isu krusial yang masih menjadi perdebatan di DPR terkait RUU Pilpres. Ada beberapa partai bersikukuh mempertahankan PT 20 persen. Sementara partai lain menginginkan angka lebih rendah. Yaitu, sesuai parlimentary threshold (ambang batas parlemen) 3,5 persen atau malah dihapuskan.

Menurutnya, angka PT 20 persen patut dipertanyakan landasan hukumnya. Lantaran, dalam UUD 1945 pasal 6 tak diamanatkan penetapan ambang batas.

Konstitusi hanya menyebut, presiden dan wapres diajukan oleh partai atau gabungan partai. Sehingga, penetapan angka ambang batas untuk pencalonan presiden, jelas melanggar konstitusi.

Fadli menganggap, angka PT yang tinggi sebagai cermin oligarki partai. Sehingga bertentangan dengan semangat demokrasi. “Ini hanyalah kepentingan subyektif jangka pendek partai tertentu,” papar dia.

Hal itu, lanjutnya, juga bertentangan dengan hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Oligarki partai ini pun memangkas hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Termasuk membatasi potensi munculnya capres-capres terbaik bagi bangsa untuk 2014 dan seterusnya.

“Gerindra menginginkan PT sesuai dengan parlimentary threshold. Sehingga semakin banyak alternatif capres. Biar rakyat yang memilih. Jangan sampai capres hanya milik segelintir elite partai,” papar dia.