Umat Islam selalu menjadi korban utama atas konflik yang terjadi di dunia. Tercatat lebih dari 60 persen konflik bersenjata dan 70 persen serangan teroris terjadi di negara berpenduduk mayoritas muslim.
Begitu terang Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam sidang Uni Parlemen negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI), atau PUIC, di Rabat, Maroko, Rabu (13/3) lalu.
“Akibatnya, saat ini jutaan umat Islam di dunia masih menderita setiap harinya akibat konflik, perang, dan terorisme. Tak heran jika lebih dari 65 persen pengungsi dunia, berasal dari negara-negara Islam,” kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Jumat (15/3).
Atas alasan itu, Fadli mengajak parlemen negara Islam yang tergabung dalam PUIC untuk bersikap tegas terhadap setiap marginalisasi dan diskriminasi yang dihadapi oleh sejumlah masyarakat muslim di dunia.
“Setiap negara anggota PUIC, wajib mendorong tumbuhnya solidaritas muslim dunia. Terutama terhadap umat Islam yang menjadi minoritas di negara non-OIC members, yang masih mengalami marginalisasi, diskriminasi, dan pelanggaran HAM,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, Fadli juga mendesak agar isu pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur, dimasukan ke dalam pembahasan. Untuk kemudian dijadikan salah satu point resolusi akhir dalam sidang General Committees PUIC.
“Delegasi parlemen Indonesia sangat paham, bahwa negara anggota OKI memiliki hubungan ekonomi yang harus dijaga dengan China. Namun, hal tersebut jangan sampai menutup mata dan hati kita sebagai umat muslim untuk menunjukkan solidaritas terhadap pelanggaran HAM yang dialami muslim Uighur di Xinjiang. Itu adalah hak muslim Uighur yang harus PUIC bela,” pungkasnya.
Waketum Gerindra Fadli Zonkembali menemui imam besar FPI Habib Rizieq Syihabdi Mekah. Di sana mereka kompak berpose 2 jari.
Momen silaturahmi itu terlihat lewat foto yang diunggah Fadli, Senin (11/3/2019). Fadli dan Habib Rizieq berdiri berdua di sebuah ruangan.
“Semalam silaturahim dg Imam Besar Habib Rizieq Syihab di Mekkah,” tulis Fadli Zon.
Keduanya tersenyum lebar pada foto tersebut. Fadli dan Habib Rizieq mengacungkan jari jempol dan telunjuk membentuk pose 2 jari, yang identik dengan pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.
Sebelumnya, Habib Rizieq bertemu dengan Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Jenderal (Purn) Djoko Santoso di Mekah. Pertemuan itu berlangsung pada Kamis (7/3) saat Djoko Santoso beribadah umrah.
“Intinya adalah merapatkan barisan pendukung Prabowo-Sandi,” kata jubir FPI Munarman menjawab soal inti pertemuan tersebut saat dihubungi detikcomlewat telepon, Sabtu (9/3/2019).
Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon, mempertanyakan masuknya 103 warga negara asing dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilu 2019.
“Ini menurut saya skandal besar, enggak boleh ada WNA masuk DPT dan ini lebih dari 100. Ini Membahayakan. Ini menyebabkan orang tidak percaya,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menilai wajar jika hal ini dipermasalahkan dan sejumlah pihak mempertanyakan kinerja Komisi Pemilihan Umum.
Ia meminta kritik terhadap KPU tak lantas disebut sebagai upaya mendelegitimasi lembaga pemilu.
“Saran dari kami, data DPT yang bermasalah itu dihapus. Dicek kembali, masih ada waktu. Jangan enggan mengecek masukan-masukan yang baik,” ujar Fadli.
“Ya ini tidak sepenuhnya salah KPU. Data KPU kan dari Kemendagri, itu dari dukcapil, itu datanya banyak sampahnya juga saya kira,” tambah Wakil Ketua DPR ini.
Sebanyak 103 dari 1.680 warga negara asing ( WNA) yang punya e-KTPtercatat masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019.
Hal ini diungkapkan oleh Dirjen Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakhrulloh.
“Kami sudah serahkan data-data itu ke KPU dan Bawaslu. Iya, diserahkan 103 data,” kata Zudan saat dihubungi, Senin (4/3/2019).
Menurut Zudan, data tersebut diperoleh dari pengecekan tim teknis Dukcapil. Berdasarkan hasil analisis, ditemukan bahwa 103 nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) e-KTP WNA masuk dalam DPT.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional pasangan (BPN) Fadli Zon menilai, tertangkapnya Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief tak akan memengaruhi elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Menurut Fadli, kasus tersebut tidak akan berpengaruh terhadap Demokrat sebagai salah satu partai koalisi pengusung pasangan Prabowo-Sandiaga. “Saya kira enggak ada dampaknya, enggak ada sedikit pun, setitik pun berdampak,” ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/3/2019). Fadli mengatakan, kasus yang menimpa Andi Arief harus dilihat secara personal dan tidak bisa dikaitkan dengan politik.
Di sisi lain, masalah narkoba dapat menjerat siapa saja, termasuk para elite partai politik lain. “Masyarakat bisa melihat dengan jelas bahwa kasus-kasus sepeti ini bisa melanda siapa saja dan saya kira harus dipisahkan dari partai, dari politik, termasuk dari agama dari suku dan sebagainya,” kata Fadli. “Ini persoalan kita bersama. Persoalan narkoba ini harus kita berantas bersama,” ujar politisi Partai Gerindra itu. Sebelumnya, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin, Abdul Kadir Karding, menyebut perkara narkoba yang menjerat Andi Arief merupakan pukulan bagi Partai Demokrat.
Menurut dia, kasus itu juga menjadi pukulan bagi pasangan capres-cawapres yang didukung oleh Andi dan Partai Demokrat, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno. Kasus yang menjerat Andi, kata Karding, juga sedikit banyak mampu memberikan pengaruh negatif bagi elektabilitas Partai Demokrat dan Prabowo-Sandiaga menjelang pemilihan presiden pada April 2019. Andi Arief selama ini dikenal sebagai sosok penjaring opini, baik oleh partai tempat ia bernaung maupun koalisi partai politiknya yang konsisten terus mengkritik pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. “Saya paham ditangkapnya Andi Arief dalam kasus narkoba menjadi pukulan serius bagi Partai Demokrat maupun kubu Prabowo-Sandiaga,” ujar Karding dalam siaran pers pada Senin (4/3/2019).
Andi Arief ditangkap tim Direktorat Tindak Pidana Narkotika Bareskrim setelah kepolisian menerima informasi dari masyarakat. Ia ditangkap tim dari Polri di salah satu kamar di Hotel Peninsula, Slipi, Jakarta, Minggu (3/3/2019) malam.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan harus dikaji.
Menurutnya interpretasi dari undang-undang tersebut membuat warga negara asing bisa mendapatkan KTP
“Ya makanya kita lihat aturannya UU apakah memang di interpretasi kan seperti itu. Kalau nanti ada orang datang ke sini berjuta juta orang apa kita kasih e ktp juga,” ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, (4/3/2019).
Apabila seperti itu menurut Fadli maka kepemilikan KTP oleh warga negara asing bisa disalahgunakan.
Pasalnya tidak ada negara di manapun yang memberikan KTP kepada warga negara yang tidak tinggal permanen, kecuali memang mengenal sistem dwi kenegaraan.
“Jadi e-KTP kan namanya kartu tanda penduduk jadi saya kira jelas filisofinya dan untuk penduduk indonesia yang permanen. Kita juga tidak mengenal double kewarganegaraan,” katanya.
Fadli mengatakan bila memang salah diinterpretasikan, maka sebaiknya UU tentang kewarganegaraan tersebut pantas untuk direvisi.
“Kalau undang-undang salah diinterprestasikan, ya kalau perlu revisi undang undang itu. Jadi harusnya E KTP, ya harus untuk warga negara indonesia, bahaya. Dan saya kira ke depan yang paling penting karena ini juga terkait dengan pemilu dan juga yang lain lain ini harus dibersihkan dulu lah kita berharap data DPT yang invalid data ganda ini harus dibersihkan,” pungkasnya
Wakil Ketua DPR Fadli zon menjelaskan soal saran penghapusan LHKPN yang sempat dilontarkannya. Fadli menyebut penghapusan LHKPN itu diusulkan Ketua KPK Agus Rahardjo.
“Saya waktu itu berdiskusi dengan Pak Agus Rahardjo Ketua KPK. Pak Agus Rahardjo sendiri yang mengusulkan agar LHKPN ini tidak usah lagi, tapi digabungkan dengan data pajak di SPT karena semuanya sama. Jadi ada redundant antara pajak dengan LHKPN,” kata Fadli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (4/3/2019).
Fadli membantah penghapusan LHKPN bermaksud menutup-nutupi daftar harta kekayaan. Fadli menegaskan hal itu demi efisiensi.
Sebab, menurut Fadli, soal harta kekayaan sudah ada daftarnya dalam pajak. Politikus Gerindra itu kemudian kembali menyebut nama Agus Rahardjo.
“Ya, bisa nanti ada penandatanganan apa bisa dibuka itu tidak ada masalah saya kira. Tapi yang penting orang jangan disuruh kerja dua kali, ini mengerjakan ini, ini mengerjakan itu, padahal datanya sama, redundant,” ujar dia.
Kita harus lebih efisien di negara demokrasinya maju ya lebih kepada pajak. Dan ini usulan bukan dari saya, saya dengar langsung dari Ketua KPK, silakan tanya sama Ketua KPK. Dalam berbagai kesempatan dia yang menyampaikan ini,” tegas Fadli.
Soal saran penghapusan LHKPN dari Fadli itu sebelumnya telah ditanggapi KPK. KPK pun mengingatkan Fadli soal kewajiban menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Menurut KPK, LHKPN merupakan buah reformasi yang berisiko jika tak dimakan.
“LHKPN itu buah dari reformasi yang tidak punya risiko kalau dimakan, malah justru punya potensi risiko kalau tidak dimakan,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Saut pun menjelaskan dasar hukum pelaksanaan LHKPN. Saut mengatakan KPK melaksanakan perintah Undang-Undang 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dia juga menjelaskan kewajiban LHKPN disetor ke KPK setiap tahun diatur dalam Peraturan Komisi (Perkom) 7 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.
“KPK itu pelaksana UU, bukan pembuat (law maker) LHKPN, itu perintah UU LHKPN dasarnya UU 28/1999 lalu atas UU itu KPK membuat bentuk laporan tahunan dasarnya Perkom KPK. Kalau tidak setuju LHKPN itu soal lain, LHKPN itu moral obligation,” ujar Saut.
Banyak klaim keberhasilan pembangunan pemerintah tak sesuai kenyataan atau bertolak belakang dengan rencana awal yang dijanjikan. Semula, pemerintahan Presiden Joko Widodo berapi-api menggulirkan jargon “Revolusi Mental”, namun bahkan sebelum genap empat tahun jargon itu telah lenyap diganti klaim pembangunan infrastruktur fisik.
Masalahnya, klaim pembangunan infrastruktur juga sering kali mengambil hasil-hasil pembangunan dari pemerintahan terdahulu atau hasil pemerintah provinsi. Di Jawa Barat, misalnya, Pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka sebanarnya keberhasilan pemerintah Provinsi Jabar di bawah Gubernur Ahmad Heryawan, tapi kini diklaim seolah hasil pemerintah pusat.
Begitu juga dengan jargon pembangunan Poros Maritim, di mana pemerintah pernah berbusa-busa memperkenalkan konsep tol laut, tapi yang dibangun justru tol berbayar di darat. Itupun, banyak dibiayai oleh utang yang kini membebani keuangan BUMN.
Adanya kesenjangan antara konsep atau janji dgn realisasi menunjukkan bahwa sejak awal pemerintahan ini memang tak memiliki strategi pembangunan yang jelas. Ini membuat sebagian besar proyek pembangunan menjadi tak realistis, karena memang tak berangkat dari proyeksi kebutuhan dan perencanaan matang.
Pembangunan mestinya juga dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan, bukan untuk kepentingan etalase politik atau pencitraan semu. Sebabb, mahal sekali harga yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia nantinya. Dalam empat tahun terakhir, misalnya, anggaran publik dan juga utang sektor publik secara jor-joran digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dengan mengabaikan kebutuhan lainnya. Jika hasil pembangunan itu utilisasinya minim, bukankah itu merugikan dana publik yang telah dihabiskan?
Saya juga melihat klaim-klaim keberhasilan pembangunan ekonomi pemerintah cenderung membodohi publik. Contoh klaim pembangunan jalan tol, misalnya. Jalan tol itu sebagian infrastruktur swasta, bukan infrastruktur publik, bagaimana ceritanya pembangunan jalan tol diklaim sebagai prestasi pembangunan? Itu tak ada bedanya jika ada Bupati mengklaim pembangunan mal di kotanya sebagai prestasi pemerintah daerah. Klaim yang sangat menggelikan.
Infrastruktur publik itu adalah jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, dan sejenisnya, bukan jalan tol, karena masyarakat harus membayar jika ingin menggunakan jalan tol. Masalahnya, alih-alih memperbaiki jalan lintas Sumatera, misalnya, atau jalan-jalan arterinya yang rusak, Pemerintah malah berniat membangun jalan tol lintas Sumatera. Lalu di mana sifat ‘publik’-nya?
Klaim keberhasilan pembangunan jalan tol itu bukan hanya membodohi, namun juga tak mendidik masyarakat mengenai paradigma kebijakan transportasi yang benar. Jalan tol adalah obsesi pembangunan yang salah, karena jalan tol yang kini ada sebenarnya hanyalah infrastruktur bagi kendaraan pribadi, hanya memberikan insentif bagi pengguna kendaraan pribadi atau operator transportasi yang bersifat privat. Padahal yang mestinya dibangun pemerintah adalah sarana transportasi publik berbasis rel, bukannya jalan tol.
Lebih aneh lagi, yang semula dijanjikan pemerintah kan sebenarnya pembangunan tol laut, tapi kemudian yang dibangun tol darat. Kalau kita membuka Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ada beberapa rencana yang dituangkan dlm RPJMN tersebut. Pertama, mengembangkan dan membangun 24 pelabuhan hingga thn 2019. Targetnya, rata-rata per tahun harus dibangun sekitar 5 pelabuhan.
Kedua, mengembangkan 210 pelabuhan penyeberangan. Ketiga, pembangunan atau penyelesaian 48 pelabuhan baru yg harus selesai pd 2016 dan total 270 pelabuhan pada 2019. Tapi, bagaimana realisasinya?
Kalau dari sisi klaim pemerintah, hingga tahun ini mereka telah mengklaim membangun 27 pelabuhan baru. Saya masih cek detailnya. Tapi, yang harus kita perhatikan adalah utilisasi trayek tol laut. Menurut data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), pada 2017 realisasi muatan tol laut hanya mencapai 212.865 ton, atau baru 41,2 persen dari target 517.200 ton. Sementara itu, realisasi muatan baliknya jauh lebih kecil, krn baru mencapai 20.274 ton.
Rata-rata okupansi kapal di trayek tol laut juga masih kecil, baru sekitar 60 persen. Sementara untuk muatan balik okupansinya malah hanya berkisar di angka 6 persen saja. Jadi, masih sangat rendah sekali.
Klaim keberpihakan terhadap pembangunan maritim juga tak sejalan dengan perbaikan nasib para nelayan. Dalam empat tahun pemerintahan Presiden Jokowi, misalnya, sebagian nelayan dan usaha penangkapan ikan justru harus berhenti beroperasi, karena persoalan perizinan. Mestinya ada perlindungan terhadap para nelayan tradisional.
Secara keseluruhan, setahun terakhir pemerintahan memang banyak mengklaim keberhasilan, namun klaim-klaimnya sebenarnya banyak yang bermasalah. Misalnya saja klaim penurunan angka pengangguran yang kini diklaim sebagai terkecil sepanjang sejarah. Saya cek, dari sisi persentase memang jumlah persentasenya kecil, yaitu hanya 5,34 persen. Namun jika kita periksa datanya, klaim tadi cenderung membodohi kita.
Sebagai catatan, angka pengangguran bulan Agustus 2014, yaitu dua bulan sebelum Presiden Jokowi dilantik, angka pengangguran mencapai 7.244.905 orang, atau sebesar 5,94 persen. Pada Oktober 2018, jumlahnya turun menjadi 7 juta orang, atau persentasenya kini jdi 5,34 persen.
Artinya, selama 4 tahun pemerintahan Presiden Jokowi jumlah pengangguran kita hanya berkurang sebesar 240 ribuan orang saja. Ini sebenarnya adalah bentuk kinerja buruk, sebab laju penurunan angka pengangguran di era Jokowi sebenarnya justru melambat. Belum lagi kalau kita bicara ukuran pengangguran itu apa. Orang yang bekerja sejam dalam seminggu saja sudah dihitung bukan pengangguran. Itu kan kriteria aneh.
Saya melihat pemerintahan sekarang ini terlalu banyak klaim. Tapi klaim-klaim itu sebenarnya menyembunyikan banyak sekali persoalan. Sebenarnya pelaksanaan pembangunan adalah kewajiban pemerintah manapun, bukan prestasi.
*Fadli Zon,Wakil Ketua DPR RI Bidang Korpolkam dan Ketua Umum DPN HKTI.
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, mengkritisi cara pemerintah menanggapi bencana yang terjadi di Tanah Air. Menurutnya, pemerintahan Presiden Jokowi tidak profesional dalam menanggulangi potensi bencana.
“Soal bencana di era pemerintahan @ Jokowi ini saya lihat dari proses penanganan bencana sangat tidak profesional. Misalnya buruknya early warning system.
Kita lihat di beberapa kasus bencana tidak ada komitmen dari pemerintah dalam proses penanganan bencana,” kata Fadli lewat akun Twitter resminya @Fadlizon yang dikutip merdeka.com, Kamis (3/1).
Evaluasi pertama yang disoroti Fadli adalah masalah anggaran lembaga penanganan dan penanggulangan bencana seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Menurutnya anggaran kedua lembaga itu masih kurang dari kebutuhan aslinya.
Bahkan, lanjut Fadli, anggaran BNPB sejak tahun 2016 tidak pernah naik justru kian berkurang setiap tahunnya.
Terus merosotnya anggaran, katanya, semakin membuat pemerintah tidak siap dalam mengantisipasi bencana yang ada di Indonesia. Minimnya anggaran lembaga tersebut menandakan pemerintah gagal membaca zonasi Indonesia.
“Saya simpulkan, anggaran tersebut tidak merepresentasikan kesiapan Indonesia sebagai negara yang berada di ring of fire. Minimnya anggaran bencana menandakan pemerintah gagal membaca Indonesia,” ujarnya.
Evaluasi kedua dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini adalah perlunya pembenahan koordinasi antara BNPB dan BMKG. Dia menyarankan adanya kementerian khusus bencana.
“Membenahi BNPB & BMKG, bahkan Membentuk Kementerian Khusus Bencana. Di tengah situasi krisis, pemerintah harus mampu menempatkan diri sebagai pusat koordinasi,” ucapnya.
Fadli juga merasa heran selama ini pemerintah selalu membanggakan prestasi dalam bidang pembangunan infrastruktur. Terutama isu prestasi pembangunan jalan tol.
“Jalan tol itu sebagian infrastruktur swasta, bukan infrastruktur publik, bagaimana ceritanya pembangunan jalan tol diklaim sebagai prestasi pembangunan?” kritik Fadli Zon.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengkritik kinerja Presiden Jokowi dengan mengatakan pembangunan infrastruktur adalah kewajiban dari pemerintah sebagai pemimpin negara. Ia mengatakan hal itu bukan sebuah prestasi untuk dibanggakan.
Fadli mengatakan pemerintah tidak memiliki road map yang jelas, sehingga pembangunan infrastruktur menjadi etalase politik.
“Banyak klaim keberhasilan pembangunan pemerintah tak sesuai kenyataan atau bertolak belakang dengan rencana awal yang dijanjikan. Pemerintah tak punya road map yang jelas, karena orientasinya menjadikan pembangunan hanya etalase politik,” kata Fadli dalam keterangan tertulis, Rabu (02/01/2019).
adli mengatakan janji Presiden Jokowi yang awalnya memperjuangkan “Revolusi Mental”, malah berganti dan lebih fokus pada pembangunan infrastruktur. Ia mengatakan pemerintah pusat juga sering mengklaim kesuksesan pembangunan dari pemerintah daerah.
“Pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka sebenarnya keberhasilan pemerintah Provinsi Jawa Barat di bawah Gubernur Ahmad Heryawan, tapi kini diklaim seolah hasil pemerintah pusat sekarang,” ujarnya.
Fadli menilai pembangunan infrastruktur itu gagal mendorong pertumbuhan ekonomi yang dijanjikan 7 sampai 8 persen. Ia mengatakan pembangunan harus dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kemampuan, bukan berdasarkan etalase politik.
“Dalam empat tahun terakhir, misalnya, anggaran publik dan juga utang sektor publik secara jor-joran digunakan untuk pembangunan infrastruktur, dengan mengabaikan kebutuhan lainnya. Jika hasil pembangunan itu utilisasinya minim, bukankah itu merugikan dana publik yang telah dihabiskan?,” tuturnya.
Selain itu, Fadli menjelaskan keberhasilan pembangunan jalan tol Jokowi tidak mendidik masyarakat mengenai paradigma kebijakan transportasi. Ia menilai pembangunan jalan tol itu adalah obsesi pembangunan yang salah.
“Jalan tol adalah obsesi pembangunan yang salah, karena jalan tol yang kini ada sebenarnya hanyalah infrastruktur bagi kendaraan pribadi, hanya memberikan insentif bagi pengguna kendaraan pribadi atau operator transportasi yang bersifat privat. Padahal yang mestinya dibangun pemerintah adalah sarana transportasi publik berbasis rel, bukannya jalan tol,” jelasnya.
Selanjutnya, Fadli mengatakan janji pemerintah yang ingin membangun tol laut menjadi aneh. Sebab, menurutnya pemerintahan Jokowi malah fokus pada pembangunan jalan tol darat.
“Lebih aneh lagi, yang semula dijanjikan pemerintah kan sebenarnya adalah pembangunan tol laut, tapi kemudian yang dibangun tol darat,” pungkasnya.