Blog

Ancaman Disintegrasi

Integrasi dan disintegrasi selalu terjadi dalam sejarah. Di era globalisasi, fenomena disintegrasi lebih banyak contohnya. Uni Soviet menjadi lima belas negara bagian. Yugoslavia pecah tujuh negara. Sudan terbagi dua. Cekoslowakia terbelah Ceko dan Slowakia.

Disintegrasi jangan dianggap enteng. Tak hanya disintegrasi sosial, tapi juga teritorial. Di era awal reformasi, referendum 1999 telah memisahkan Timor Timur dari Indonesia. Provinsi itu merdeka menjelma Timor Leste.

Ancaman disintegrasi tetap nyata. Di ujung barat, ada Aceh dengan organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini telah terwakili dalam beberapa partai politik. Aspirasi kemerdekaan tetap hidup di sejumlah kelompok orang yang sewaktu-waktu dapat mencuat ke permukaan. Di ujung timur, ada Papua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah organisasi separatis yang semakin mendapat dukungan dari penduduk lokal dan masyarakat internasional.

Sampai kapan Indonesia bertahan? Inilah pertanyaan yang mungkin tak pernah terpikirkan. Kita sebagai anak bangsa tentu ingin terus melihat Indonesia dalam 100 tahun dan 1000 tahun ke depan, bahkan selama-lamanya. Betapa banyak pengorbanan para pahlawan untuk mendirikan Republik Indonesia.

Namun kita tak bisa lengah apalagi menafikan hadirnya semangat etnonasionalisme. Etnonasionalisme merupakan bentuk kelompok solidaritas atau rasa komunitas berdasarkan etnis, merujuk pada perasaan subyektif, memisahkan satu kelompok dari kelompok lain dalam sebuah komunitas. Ada persamaan nenek moyang, memori kolektif atau warisan budaya. Etnonasionalisme dapat berkembang menjadi gerakan politik, menuntut pemerintahan sendiri.

Secara geopolitik, kita menyadari ada kepentingan pihak-pihak tertentu yang menginginkan terjadinya disintegrasi di Indonesia. Indonesia negeri kaya, terdiri dari ribuan pulau dan memiliki sumber daya alam luar biasa. Papua, misalnya, mempunyai kekayaan tambang dan hutan berlimpah. Sebuah perusahaan seperti Freeport telah banyak mengeksploitasi emas, perak dan tembaga. Namun rakyat Papua tetap miskin saja.

Jika negara kita kuat dan mampu mengelola kekayaan alam itu, Indonesia akan makmur dan jaya. Tentu tak semua negara tetangga kita suka. Pada akhirnya, setiap negara lebih mementingkan kepentingan nasional masing-masing. Ini bukan soal suka atau benci, tapi persoalan survival, bertahan dalam badai globalisasi yang penuh persaingan.

Apa yang harus dilakukan? Winning hearts and minds, memenangkan hati dan pikiran saudara-saudara kita yang tak sejalan. Merangkul dan mengakomodasi kepentingan rakyat di tempat yang menjadi ancaman disintegrasi. Kita perlu mencari akar persoalan dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan dialog terbuka dan persuasif. Keadilan ekonomi dan keadilan sosial perlu diperhatikan. Untuk itu, negara harus hadir. Pemerintah dan elit bangsa harus serius mengurai benang kusut masalah Aceh dan Papua. Jangan anggap remeh ancaman disintegrasi. Fadli Zon

Politisi dan Negarawan

“A politician thinks of the next election. A statesman, of the next generation.” Politisi memikirkan pemilu mendatang, negarawan memikirkan generasi yang akan datang. Begitulah kutipan terkenal dari James Freeman Clarke.
Kini Indonesia dipenuhi politisi. Di era Orde Baru politik milik segelintir elit. Kebijakan massa mengambang (floating mass) menempatkan politik hanya sampai di tingkat kabupaten/kota. Di era reformasi, politik menjadi menu sehari-hari rakyat. Banyak orang berpolitik, ingin jadi politisi dan mendirikan partai politik. Politik adalah mata pencaharian baru, jalan pintas menuju kekuasaan dan kekayaan. Tak penting bagaimana caranya. Semua jalan digunakan untuk merebut jabatan dan kedudukan.
Demokrasi yang tak bertanggung jawab telah menyebabkan banyak politisi terlibat korupsi. Rakyat diabaikan bahkan dikhianati dengan berbagai kebijakan anti-rakyat. Rakyat makin jauh dari kesejahteraan. Kesenjangan yang kuat dan lemah semakin lebar. Kehidupan di desa dan di pelosok negeri semakin sulit. Petani, nelayan, buruh, pedagang kecil dan sebagian besar rakyat merasakan harga-harga yang terus membubung tinggi meninggalkan kemampuan mereka. Politisi asyik sendiri.
Di tengah situasi itu, praktik politik makin mahal. Politik membutuhkan biaya besar. Untuk menjadi bupati, gubernur atau presiden, seorang calon harus mengeluarkan dana yang fantastis angkanya. Tak ada lagi “gotong royong” iuran dalam politik seperti anggota Partai di tahun 1950-an. Ironisnya, justru di negara kapitalis seperti Amerika, mereka berhasil menggalang sumbangan dari para pendukung dengan transparan dan akuntabel. Rakyat kita merasa tak butuh partai politik, karena mereka tahu yang untung hanya para politisi. Setelah pemilu, rakyat dianggap sudah mati.
Citra politisi begitu buruk. Mengapa? Karena kekuasaan yang diraih, tak digunakan untuk kepentingan rakyat. Partai politik menyalahgunakan kekuasaan politik. Hasilnya adalah korupsi, perpecahan, demoralisasi dan sikap apatis. Tak ada lagi kepercayaan, tak ada lagi kewibawaan. Bahkan rakyat lelah terhadap demokrasi. Demokrasi menjadi anarki.
Partai politik seharusnya menjadi alat pendidik kesadaran rakyat. Partai politik adalah perkumpulan orang-orang yang mempunyai cita-cita sama, ingin merebut kekuasaan secara damai dan konstitusional melalui pemilihan umum untuk membangun masyarakat dan negara. Partai bukan sekadar kendaraan politik pilkada atau pilpres yang bisa disewakan atau dijualbelikan dengan transaksi cash and carry. Manifesto Partai menjadi ukuran nilai bagi praktik politik dan pengambilan keputusan. Ketika ideologi partai itu hilang, maka partai tak ada bedanya dengan perusahaan yang hanya mencari laba.
Kita memerlukan partai politik yang tak hanya melahirkan politisi. Kita semakin perlu banyak negarawan yang berpikir jauh ke depan, membangun sebuah proyek INDONESIA RAYA! (Fadli Zon)

Mafia Anggaran

Apakah politik itu kotor atau mulia? Itulah pertaruhan yang kini sedang terjadi dalam dunia politik Indonesia di era demokrasi bebas. Kasus mafia anggaran yang tengah disorot publik bisa jadi merupakan kasus korupsi terbesar melibatkan institusi-institusi hasil demokrasi.
Demokrasi memang tak menjamin pupusnya korupsi. Apalagi jika demokrasi itu hanya sekedar prosedur memilih atau dipilih. Rekrutmen politik tanpa komitmen kejujuran, keadilan dan tanggung jawab telah mengakibatkan demokrasi terperangkap oleh korupsi. Bahkan korupsi semakin merajalela di tengah demokrasi yang dikuasai kaum mafia.
Mafia berasal dari bahasa Italia merupakan sebutan untuk sindikat kejahatan yang terorganisir. Mafioso adalah anggota mafia. Biasanya mafia terikat oleh sistem kekeluargaan yang ketat. Julukan orang-orang yang beroperasi di sekitar pengerukan anggaran dinamai mafia anggaran. Persekongkolan jahat ini dilakukan oleh oknum-oknum di eksekutif dan legislatif lalu pengusaha dan calo. Mereka bersama-sama melakukan praktik mafia anggaran.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen penting untuk kesejahteraan rak¬yat. APBN adalah pilar utama penggerak kegiatan ekonomi Indonesia. Melalui APBN, ada penerimaan negara dan ada pembelanjaan. Belanja dapat dibagi dua yakni konsumsi atau investasi. Belanja konsumsi meliputi belanja pegawai dan belanja barang. Belanja bisa juga merupakan inves¬tasi ketika disalurkan untuk menambah alat-alat produksi seperti irigasi baru, pencetakan sawah baru, jalan-jalan baru, jembatan baru, pabrik-pabrik baru. Investasi artinya
me¬ngadakan perluasan terhadap produksi nasional. Sedangkan memperbaiki sarana yang sudah ada lebih merupakan pemeliharaan.
APBN menjadi sangat penting karena besarnya jumlah pendapatan dan belanja. Tahun 2011 mencapai Rp. 1300 triliun, sedangkan tahun 2012 dialokasikan Rp. 1400 tri¬l¬iun. Jumlah ini besar sekali jika digunakan secara efisien dan tepat sasaran. Namun, semakin besar APBN kita tak menjamin semakin sejahtera rakyat kita. APBN tak berbanding lurus dengan kemakmuran. Hal ini antara lain karena APBN telah menjadi sumber korupsi.
Korupsi APBN dimulai dari perencanaan hingga disetujuinya anggaran. Mafia anggaran bekerja melalui oknum di Badan Anggaran DPR, pejabat kementrian, dan pejabat di daerah. Karena itulah meskipun belanja banyak tak ada pengaruhnya bagi rakyat. Kebocoran terlalu tinggi. Ada jatah anggaran dibagi-bagi dengan alasan setoran untuk partai. Tak sepenuhnya benar. Kebanyakan sindikat ini bekerja memperkaya diri sendiri. Di sinilah politik menjadi kotor.
Sistem memberi ruang leluasa bagi praktik korupsi. Politik hanya menjadi mata pencaharian sejumlah petualang. Partai politik seringkali menjadi kendaraan omprengan untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi mengeruk dana rakyat. Kita tentu menolak mafia anggaran dan tak akan menjadi bagian dari pengkhianatan terhadap rakyat itu. Hanya satu kata bagi mafia anggaran: Basmi! FADLI ZON

APBN dan Negara Salah Urus

Belakangan ini rakyat disuguhkan drama kebobrokan praktik korupsi di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan memang cenderung korup dan itulah yang terjadi pada tiga pilar demokrasi kita. Demokrasi prosedural yang dipimpin oleh kerakusan penguasa dengan mengorbankan kepentingan rakyat merupakan fenomena mutakhir. Ironi ini semakin membenarkan bahwa demokrasi yang diterapkan di negara miskin cenderung melahirkan anarki.
Salah satu sumber korupsi adalah APBN. Postur APBN yang ada mudah memberi celah bagi perburuan rente dan membuat uang rakyat sebagai bancakan rame-rame.
APBN kita tidak pro rakyat dan tidak pro kesejahteraan. Kenapa? Karena meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat namun tak menyerap tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran. APBN juga tak mampu mengentaskan kemiskinan. Indikator-indikator ekonomi yang digunakan tak menyentuh soal pengangguran dan kemiskinan itu secara nyata. Yang terjadi adalah akrobat angka-angka. Dikatakan, angka kemiskinan menurun, garis kemiskinan dinaikkan, pengangguran berkurang. Kenyataan menunjukkan lain. Pertumbuhan yang diharapkan tak berkualitas, karena hanya terkonsentrasi di sektor yang tak diperdagangkan.
APBN kita juga belum maksimal dalam mengerahkan penerimaan. Tax ratio masih rendah dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand atau Filipina. Sementara dalam soal penyerapan anggaran, polanya menunjukkan kekacauan perencanaan. Realisasi belanja 2010 misalnya, merujuk data per November 2010 (sebulan sebelum tahun anggaran berakhir) penyerapan hanya 62%. Dari total rata-rata, hanya belanja pegawai saja yang realisasinya lebih dari 80%, selebihnya masih di bawah 75%. Bahkan untuk belanja modal hanya 46%. Ajaibnya, dalam satu bulan saja prosentase itu dapat disulap menjulang melalui ritual “menghabiskan anggaran” pada bulan Desember.
Selain tak efektif, ada beberapa pos anggaran yang boros. Lihat saja, anggaran untuk vakasi (pelesiran) yang mencapai Rp. 21 trilyun. Dana ini digunakan antara lain untuk studi banding, kunjungan ke luar negeri dan lain-lain. Studi banding tak lain hanyalah jalan-jalan ke luar negeri atas biaya negara. Bayangkan kalau dana ini dipakai untuk kegiatan ekonomi rakyat seperti koperasi, lembaga keuangan mikro atau pencetakan sawah baru. Banyak tenaga kerja terserap dan jumlah orang miskin akan berkurang.
Contoh lain adalah anggaran bantuan sosial sebesar Rp. 61 trilyun. Bagaimana pertanggungjawaban dana ini. Lalu anggaran bantuan sosial melalui kementrian dan lembaga sebesar Rp. 63 trilyun. Kita sama-sama tahu bahwa dari pos-pos anggaran seperti ini terbuka peluang korupsi dan kolusi. Sehingga banyak pejabat kita yang hari ini pejabat -besoknya jadi penjahat. Sungguh, pengkhianatan elit ini sudah keterlaluan. Kalau ini terjadi di Amerika Latin atau Timur Tengah, mungkin sudah pecah gerakan rakyat atau revolusi.
Postur APBN yang ada sekarang menunjukkan bahwa negara ini salah urus. Dari sejak perencanaan yang tak matang dan realisasi yang amburadul, APBN seperti ini tak akan mensejahterakan rakyat. APBN menjadi sumber dari segala sumber korupsi berjama’ah dan mesin pemiskinan rakyat. Fadli Zon

Partai Politik dan Korupsi

Partai politik merupakan himpunan orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama tentang perkembangan negara dan masyarakat. Tujuan partai politik adalah merebut kekuasaan secara damai dan konstitusional melalui pemilihan umum. Dengan kekuasaan eksekutif atau legilatif, maka harapan partai untuk merealisasikan ideologinya dapat relatif dengan mudah dilaksanakan. Sebagian besar cita-cita partai politik adalah memperbaiki keadaan rakyat.

Belakangan ini, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin pudar. Terlalu banyak kasus menerpa sejumlah partai khususnya kasus korupsi. Ada berita tentang calo anggaran yang merajalela di gedung DPR. Calo ini menawarkan jasa alokasi anggaran dan menjadi mediator antara DPR yang punya kuasa anggaran dengan kontraktor.  Ada sejumlah anggota DPR menjadi terdakwa kasus suap dari berbagai kasus. Belum lagi soal mark up dan seribu satu masalah kejahatan anggaran yang belum terbongkar. Wajah politik DPR menjadi babak belur di mata publik. Citra buruk ini semakin menambah kepercayaan masyarakat bahwa politik itu kotor dan diisi oleh orang-orang yang kotor.

Inilah konsekuensi demokrasi yang dipraktikkan di negara miskin. Politik menjadi mata pencaharian. Semua atas nama demokrasi, padahal  demokrasi bukan tujuan, tapi cara. Jalan demokrasi memang pilihan kita, namun demokrasi bisa melahirkan anarki ketika tak ada tanggung jawab. Lebih lagi ketika demokrasi telah disandera dan direduksi menjadi sekedar prosedur semata. Baru-baru ini survei World Justice Project 2011 merilis praktik korupsi di Indonesia yang sudah menyebar luas. Dari 65 negara, Indonesia berada di urutan ke-47.

Inilah yang diingatkan proklamator kita Bung Hatta tahun 1950-an. Ada tiga bahaya yang mengancam demokrasi yaitu korupsi, oligarki partai dan hilangnya rasa tanggung jawab. Peringatan Hatta itu tampaknya masih relevan hingga kini. Demokrasi kita sekarang terancam gagal. Bahkan ada yang menyebut demokrasi kriminal. Saya lebih suka menyebutnya black democracy. Korupsi menjadi way of life bukan saja fact of life. Partai-partai berkuasa tiada batas hingga melahirkan kesewenang-wenangan. Lalu para pemimpin partai sebagian besar hanya memikirkan diri sendiri, memperkaya diri dan haus kuasa.

Praktik korupsi partai politik bukan barang baru. Sejak awal kemerdekaan, kenyataan ini telah hadir. Partai mencari uang dengan memburu lisensi istimewa, mengalokasikan jatah anggaran, terlibat dalam politisasi birokrasi dan takut berada dalam oposisi.

Demokrasi liberal hari ini, akan membawa kita jauh dari kesejahteraan. Anarki sudah ada di tengah-tengah kita. Mengapa demokrasi macam ini akan gagal? Karena demokrasi liberal yang tak terkontrol bukanlah jati diri dari ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila. Demokrasi yang kita terapkan saat ini tak sejalan dengan semangat dan cita-cita konstitusi kita. Demokrasi hanya menjadi prosedur merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Suara rakyat dibeli, dimanipulasi, disulap dan dikhianati.

Partai Gerindra sebagai alat perjuangan ingin mengoreksi korupsi dan berbagai bentuk praktik kejahatan anggaran. Kita tak munafik, bahwa demokrasi memerlukan biaya besar. Namun kita menolak ikut-ikutan korupsi massal dipimpin para elit politik. Dari sinilah kita diuji oleh sejarah. (FADLI ZON)

 

 

 

 

 

Kebangkitan Nasional

Setiap 20 Mei kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional, sebuah hari pengingat sebuah zaman ketika tokoh-tokoh pergerakan nasional maju ke gelanggang sejarah dan menyampaikan sikap mereka yang tegas untuk kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Fajar kesadaran nasional itu ditandai berdirinya organisasi Budi Utomo tahun 1908. Meskipun masih bersifat lokal dan bahkan didominasi kumpulan priyayi, Budi Utomo telah membangunkan perlunya berorganisasi. Van Deventer menulis di majalah De Gids: “Het Wonder is geschied, Insulinde de schooner slaapter, is ontwaakt” (Sesuatu yang ajaib telah terjadi. Insulinde, putri cantik yang tertidur telah terbangun).

Sejak itu muncullah berbagai organisasi pergerakan dipelopori para mahasiswa dan intelektual yang tercerahkan. Budi Utomo memang hanya untuk orang Jawa, Madura dan Bali. Tujuan Budi Utomo adalah mencapai kemajuan tanah air dan bangsa yang harmonis di Jawa dan Madura, dengan sah dan membantu golongan lain yang tujuannya sama. Ia bukan organisasi politik, karena Belanda melarang.

Di samping Budi Utomo, ada organisasi yang lebih merakyat seperti Sarekat Islam, Sarekat Dagang Islam, Indische Partij dan lain-lain. Sarekat Islam (1911) bertujuan memajukan dagang; membantu orang yang kesulitan; memperbesar kemajuan pengetahuan dan kepentingan ekonomi rakyat; dan menjaga jangan ada pengertian salah tentang Islam. Sedangkan Indische Partij (1912) yang didirikan Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, bertujuan jelas dan tegas yaitu kemerdekaan Hindia (Indonesia), lepas dari Belanda. Kemerdekaan itu hendak dilakukan melalui jalan parlementer dengan semangat memberikan hak kepada rakyat untuk menentukan nasib sendiri. Dalam setiap akhir pidato, dr. Tjiptomangunkusumo selalu menyampaikan teriakan: “Indie los van Holland” (Hindia lepas dari Belanda).

Kini kita mengenang rintisan perjuangan mereka itu telah mengantarkan Indonesia pada persatuan nasional melewati Sumpah Pemuda 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kemerdekaan ditebus dengan darah dan air mata; harta dan nyawa. Perjuangan tanpa pamrih, tanpa pikir panjang, tanpa tawar-menawar telah menggariskan tinta emas keteladanan. Dokter Tjipto Mangunkusumo tak pernah kalah dan menyerah meskipun dibuang ke Belanda, Banda, Makasar sampai Sukabumi. Ia meninggal tahun 1943 dan tak pernah merasakan kemerdekaan.

Malu rasanya membaca kembali sejarah. Sikap dan karakter yang penuh kejuangan yang ditunjukkan para pendiri Republik hampir tak tersisa kepada kita. Kapan lagi kita mendapatkan para pemimpin seperti itu, pemimpin yang menyerahkan jiwa raga bagi rakyatnya. Apa yang hendak kita katakan pada Sutomo, Wahidin, Tjipto, Suwardi, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan ribuan pejuang yang telah mewariskan Indonesia kepada kita. Akankah kita ingat perjuangan dan cita-cita mereka? Akankah kita mampu mensejahterakan dan membahagiakan rakyat? Inilah sebuah renungan di tengah ingar-bingar ketakjelasan masa depan Indonesia di bawah kepemimpinan yang lemah. (Fadli Zon)

Tiga Tahun Gerindra

Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) baru tiga tahun berkiprah. Waktu yang masih muda bagi sebuah partai, perjuangan yang masih belia untuk bangsa. Sebagai alat perjuangan, Gerindra lahir dari semangat untuk memperbaiki keadaan. Keadaan apa? Kondisi yang paradoks antara Indonesia yang kaya dan rakyatnya yang miskin. Negeri yang berlimpah sumber daya alam, tapi rakyatnya masih jauh dari kemakmuran. Kenapa bisa terjadi?

Tak lain dan tak bukan karena dua faktor. Pertama, haluan kita masih tak jelas. Mau kemanakah kita berlayar? Akan dibawa kemana Indonesia? Kedua, masalah kepemimpinan, masalah elit bangsa yang tak berpihak lagi pada rakyat. Bahkan ada pengkhianatan elit terhadap rakyat.

Haluan menentukan tujuan. Apa cita-cita kita merdeka? Para pendiri bangsa dengan jelas menggariskan bahwa tujuan kita adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejah¬teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan dunia yang damai.

Melindungi segenap bangsa tentu bukan sekedar perlindungan fisik dari agresi militer atau penjajahan konvensional. Perlindungan yang lebih substansial adalah proteksi seutuhnya: bebas dari kemiskinan, kebodoh¬an dan ketidakpastian. Kita ingin rakyat cukup pangan, sandang dan papan. Kita ingin rakyat menjadi cerdas dan mampu bersaing dalam percaturan global. Kita ingin manusia Indonesia mencicipi kemakmuran yang diolah dari kekayaan alam, dari pertanian dan industri, serta dari inisiatif dan kreativitas.

Haluan liberal yang sedang kita jalani tak akan membawa kita pada tujuan kesejahteraan itu. Dalam sistem yang liberal, baik itu ekonomi atau politik, kekuatan ada pada individu. Siapa yang kuat dialah yang menang, dan yang lemah pasti kalah. Karenanya hasil-hasil pembangunan hanya dinikmati segelintir orang. Merekalah yang telah “merdeka” dari kemiskinan. Namun sebagian besar rakyat masih diselimuti ketidakberdayaan. Rakyat mengalami involusi kemiskinan. Ketika harga-harga membubung tinggi, rakyat yang tak berdaya semakin tersingkirkan.

Kita yakin, keadaan akan lebih baik kalau ekonomi kerakyatan menjadi pilihan. Sesuai konstitusi Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, negara bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial. Peran negara harus ada dalam ekonomi. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus menjadi alat bagi akselerasi kemakmuran rakyat, bukan akumulasi kekayaan pejabat. BUMN harus kuat dan bukan menjadi sapi perah atau jatah politik.

Kepemimpinan elit juga menentukan keberhasilan mencapai tujuan. Elit sekarang ini kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri dan tak peduli pada nasib rakyat. Rakyat tak dianggap lagi. Rakyat hanya hadir menjelang pemilu dan pilkada, sebagai obyek manipulasi. Begitu pemilu dan pilkada usai, rakyat pun mati. Itulah peng¬khianatan elit (the betrayal of the elite) baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Anggaran untuk rakyat tercecer di jalan. Petani, buruh, nelayan, guru, dan sebagian besar rakyat berjuang sendiri-sendiri untuk bertahan hidup, menyambung nafas yang makin terengah-engah.

Gerindra hadir ingin mengoreksi keadaan ini. Sebagai alat perjuangan, tentu saja masih banyak kelemahan dan kekurangan kita. Godaan demi godaan pasti selalu datang. Budaya politik yang korup mewabah di sekitar kita. Seperti virus yang merajalela, sewaktu-waktu ketika lengah, pasti melahap idealisme dan cita-cita. Mudah-mudahan kita bisa memupuk semangat juang dengan penuh kebanggaan. Mudah-mudahan Gerindra menjadi cahaya dalam kegelapan.

FADLI ZON

Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 20 februari 2007 sesi 1

Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 20 februari 2007 sesi 1

Fadli Zon - Soegeng Sarjadi Forum 20 februari 2007 sesi 1


Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 20 februari 2007 sesi 1 ===================================================== Fadli Zon Library Jalan Danau Limboto c2 96 Jakarta – Indonesia P. 021 573 4382 F. 021 570 36243 E. contact@fadlizon.com E. contact@fadlizonlibrary.com More About Fadli Zon fadlizon.com http fb.com fb.com twitter.com fadlizonlibrary.com http hkti.org http

Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 24 mei 2006 sesi 2

Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 24 mei 2006 sesi 2

Fadli Zon - Soegeng Sarjadi Forum 24 mei 2006 sesi 2


Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 24 mei 2006 sesi 2 ===================================================== Fadli Zon Library Jalan Danau Limboto c2 96 Jakarta – Indonesia P. 021 573 4382 F. 021 570 36243 E. contact@fadlizon.com E. contact@fadlizonlibrary.com More About Fadli Zon fadlizon.com http fb.com fb.com twitter.com fadlizonlibrary.com http hkti.org http

Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 14 november 2007 sesi 2

Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 14 november 2007 sesi 2

Fadli Zon - Soegeng Sarjadi Forum 14 november 2007 sesi 2


Fadli Zon – Soegeng Sarjadi Forum 14 november 2007 sesi 2 ===================================================== Fadli Zon Library Jalan Danau Limboto c2 96 Jakarta – Indonesia P. 021 573 4382 F. 021 570 36243 E. contact@fadlizon.com E. contact@fadlizonlibrary.com More About Fadli Zon fadlizon.com http fb.com fb.com twitter.com fadlizonlibrary.com http hkti.org http