Ancaman Disintegrasi

Integrasi dan disintegrasi selalu terjadi dalam sejarah. Di era globalisasi, fenomena disintegrasi lebih banyak contohnya. Uni Soviet menjadi lima belas negara bagian. Yugoslavia pecah tujuh negara. Sudan terbagi dua. Cekoslowakia terbelah Ceko dan Slowakia.

Disintegrasi jangan dianggap enteng. Tak hanya disintegrasi sosial, tapi juga teritorial. Di era awal reformasi, referendum 1999 telah memisahkan Timor Timur dari Indonesia. Provinsi itu merdeka menjelma Timor Leste.

Ancaman disintegrasi tetap nyata. Di ujung barat, ada Aceh dengan organisasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini telah terwakili dalam beberapa partai politik. Aspirasi kemerdekaan tetap hidup di sejumlah kelompok orang yang sewaktu-waktu dapat mencuat ke permukaan. Di ujung timur, ada Papua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah organisasi separatis yang semakin mendapat dukungan dari penduduk lokal dan masyarakat internasional.

Sampai kapan Indonesia bertahan? Inilah pertanyaan yang mungkin tak pernah terpikirkan. Kita sebagai anak bangsa tentu ingin terus melihat Indonesia dalam 100 tahun dan 1000 tahun ke depan, bahkan selama-lamanya. Betapa banyak pengorbanan para pahlawan untuk mendirikan Republik Indonesia.

Namun kita tak bisa lengah apalagi menafikan hadirnya semangat etnonasionalisme. Etnonasionalisme merupakan bentuk kelompok solidaritas atau rasa komunitas berdasarkan etnis, merujuk pada perasaan subyektif, memisahkan satu kelompok dari kelompok lain dalam sebuah komunitas. Ada persamaan nenek moyang, memori kolektif atau warisan budaya. Etnonasionalisme dapat berkembang menjadi gerakan politik, menuntut pemerintahan sendiri.

Secara geopolitik, kita menyadari ada kepentingan pihak-pihak tertentu yang menginginkan terjadinya disintegrasi di Indonesia. Indonesia negeri kaya, terdiri dari ribuan pulau dan memiliki sumber daya alam luar biasa. Papua, misalnya, mempunyai kekayaan tambang dan hutan berlimpah. Sebuah perusahaan seperti Freeport telah banyak mengeksploitasi emas, perak dan tembaga. Namun rakyat Papua tetap miskin saja.

Jika negara kita kuat dan mampu mengelola kekayaan alam itu, Indonesia akan makmur dan jaya. Tentu tak semua negara tetangga kita suka. Pada akhirnya, setiap negara lebih mementingkan kepentingan nasional masing-masing. Ini bukan soal suka atau benci, tapi persoalan survival, bertahan dalam badai globalisasi yang penuh persaingan.

Apa yang harus dilakukan? Winning hearts and minds, memenangkan hati dan pikiran saudara-saudara kita yang tak sejalan. Merangkul dan mengakomodasi kepentingan rakyat di tempat yang menjadi ancaman disintegrasi. Kita perlu mencari akar persoalan dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan dialog terbuka dan persuasif. Keadilan ekonomi dan keadilan sosial perlu diperhatikan. Untuk itu, negara harus hadir. Pemerintah dan elit bangsa harus serius mengurai benang kusut masalah Aceh dan Papua. Jangan anggap remeh ancaman disintegrasi. Fadli Zon