Partai Politik dan Korupsi

Partai politik merupakan himpunan orang-orang yang mempunyai pandangan yang sama tentang perkembangan negara dan masyarakat. Tujuan partai politik adalah merebut kekuasaan secara damai dan konstitusional melalui pemilihan umum. Dengan kekuasaan eksekutif atau legilatif, maka harapan partai untuk merealisasikan ideologinya dapat relatif dengan mudah dilaksanakan. Sebagian besar cita-cita partai politik adalah memperbaiki keadaan rakyat.

Belakangan ini, kepercayaan masyarakat terhadap partai politik semakin pudar. Terlalu banyak kasus menerpa sejumlah partai khususnya kasus korupsi. Ada berita tentang calo anggaran yang merajalela di gedung DPR. Calo ini menawarkan jasa alokasi anggaran dan menjadi mediator antara DPR yang punya kuasa anggaran dengan kontraktor.  Ada sejumlah anggota DPR menjadi terdakwa kasus suap dari berbagai kasus. Belum lagi soal mark up dan seribu satu masalah kejahatan anggaran yang belum terbongkar. Wajah politik DPR menjadi babak belur di mata publik. Citra buruk ini semakin menambah kepercayaan masyarakat bahwa politik itu kotor dan diisi oleh orang-orang yang kotor.

Inilah konsekuensi demokrasi yang dipraktikkan di negara miskin. Politik menjadi mata pencaharian. Semua atas nama demokrasi, padahal  demokrasi bukan tujuan, tapi cara. Jalan demokrasi memang pilihan kita, namun demokrasi bisa melahirkan anarki ketika tak ada tanggung jawab. Lebih lagi ketika demokrasi telah disandera dan direduksi menjadi sekedar prosedur semata. Baru-baru ini survei World Justice Project 2011 merilis praktik korupsi di Indonesia yang sudah menyebar luas. Dari 65 negara, Indonesia berada di urutan ke-47.

Inilah yang diingatkan proklamator kita Bung Hatta tahun 1950-an. Ada tiga bahaya yang mengancam demokrasi yaitu korupsi, oligarki partai dan hilangnya rasa tanggung jawab. Peringatan Hatta itu tampaknya masih relevan hingga kini. Demokrasi kita sekarang terancam gagal. Bahkan ada yang menyebut demokrasi kriminal. Saya lebih suka menyebutnya black democracy. Korupsi menjadi way of life bukan saja fact of life. Partai-partai berkuasa tiada batas hingga melahirkan kesewenang-wenangan. Lalu para pemimpin partai sebagian besar hanya memikirkan diri sendiri, memperkaya diri dan haus kuasa.

Praktik korupsi partai politik bukan barang baru. Sejak awal kemerdekaan, kenyataan ini telah hadir. Partai mencari uang dengan memburu lisensi istimewa, mengalokasikan jatah anggaran, terlibat dalam politisasi birokrasi dan takut berada dalam oposisi.

Demokrasi liberal hari ini, akan membawa kita jauh dari kesejahteraan. Anarki sudah ada di tengah-tengah kita. Mengapa demokrasi macam ini akan gagal? Karena demokrasi liberal yang tak terkontrol bukanlah jati diri dari ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila. Demokrasi yang kita terapkan saat ini tak sejalan dengan semangat dan cita-cita konstitusi kita. Demokrasi hanya menjadi prosedur merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Suara rakyat dibeli, dimanipulasi, disulap dan dikhianati.

Partai Gerindra sebagai alat perjuangan ingin mengoreksi korupsi dan berbagai bentuk praktik kejahatan anggaran. Kita tak munafik, bahwa demokrasi memerlukan biaya besar. Namun kita menolak ikut-ikutan korupsi massal dipimpin para elit politik. Dari sinilah kita diuji oleh sejarah. (FADLI ZON)