APBN dan Negara Salah Urus

Belakangan ini rakyat disuguhkan drama kebobrokan praktik korupsi di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan memang cenderung korup dan itulah yang terjadi pada tiga pilar demokrasi kita. Demokrasi prosedural yang dipimpin oleh kerakusan penguasa dengan mengorbankan kepentingan rakyat merupakan fenomena mutakhir. Ironi ini semakin membenarkan bahwa demokrasi yang diterapkan di negara miskin cenderung melahirkan anarki.
Salah satu sumber korupsi adalah APBN. Postur APBN yang ada mudah memberi celah bagi perburuan rente dan membuat uang rakyat sebagai bancakan rame-rame.
APBN kita tidak pro rakyat dan tidak pro kesejahteraan. Kenapa? Karena meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat namun tak menyerap tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran. APBN juga tak mampu mengentaskan kemiskinan. Indikator-indikator ekonomi yang digunakan tak menyentuh soal pengangguran dan kemiskinan itu secara nyata. Yang terjadi adalah akrobat angka-angka. Dikatakan, angka kemiskinan menurun, garis kemiskinan dinaikkan, pengangguran berkurang. Kenyataan menunjukkan lain. Pertumbuhan yang diharapkan tak berkualitas, karena hanya terkonsentrasi di sektor yang tak diperdagangkan.
APBN kita juga belum maksimal dalam mengerahkan penerimaan. Tax ratio masih rendah dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand atau Filipina. Sementara dalam soal penyerapan anggaran, polanya menunjukkan kekacauan perencanaan. Realisasi belanja 2010 misalnya, merujuk data per November 2010 (sebulan sebelum tahun anggaran berakhir) penyerapan hanya 62%. Dari total rata-rata, hanya belanja pegawai saja yang realisasinya lebih dari 80%, selebihnya masih di bawah 75%. Bahkan untuk belanja modal hanya 46%. Ajaibnya, dalam satu bulan saja prosentase itu dapat disulap menjulang melalui ritual “menghabiskan anggaran” pada bulan Desember.
Selain tak efektif, ada beberapa pos anggaran yang boros. Lihat saja, anggaran untuk vakasi (pelesiran) yang mencapai Rp. 21 trilyun. Dana ini digunakan antara lain untuk studi banding, kunjungan ke luar negeri dan lain-lain. Studi banding tak lain hanyalah jalan-jalan ke luar negeri atas biaya negara. Bayangkan kalau dana ini dipakai untuk kegiatan ekonomi rakyat seperti koperasi, lembaga keuangan mikro atau pencetakan sawah baru. Banyak tenaga kerja terserap dan jumlah orang miskin akan berkurang.
Contoh lain adalah anggaran bantuan sosial sebesar Rp. 61 trilyun. Bagaimana pertanggungjawaban dana ini. Lalu anggaran bantuan sosial melalui kementrian dan lembaga sebesar Rp. 63 trilyun. Kita sama-sama tahu bahwa dari pos-pos anggaran seperti ini terbuka peluang korupsi dan kolusi. Sehingga banyak pejabat kita yang hari ini pejabat -besoknya jadi penjahat. Sungguh, pengkhianatan elit ini sudah keterlaluan. Kalau ini terjadi di Amerika Latin atau Timur Tengah, mungkin sudah pecah gerakan rakyat atau revolusi.
Postur APBN yang ada sekarang menunjukkan bahwa negara ini salah urus. Dari sejak perencanaan yang tak matang dan realisasi yang amburadul, APBN seperti ini tak akan mensejahterakan rakyat. APBN menjadi sumber dari segala sumber korupsi berjama’ah dan mesin pemiskinan rakyat. Fadli Zon