Tiga Tahun Gerindra

Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) baru tiga tahun berkiprah. Waktu yang masih muda bagi sebuah partai, perjuangan yang masih belia untuk bangsa. Sebagai alat perjuangan, Gerindra lahir dari semangat untuk memperbaiki keadaan. Keadaan apa? Kondisi yang paradoks antara Indonesia yang kaya dan rakyatnya yang miskin. Negeri yang berlimpah sumber daya alam, tapi rakyatnya masih jauh dari kemakmuran. Kenapa bisa terjadi?

Tak lain dan tak bukan karena dua faktor. Pertama, haluan kita masih tak jelas. Mau kemanakah kita berlayar? Akan dibawa kemana Indonesia? Kedua, masalah kepemimpinan, masalah elit bangsa yang tak berpihak lagi pada rakyat. Bahkan ada pengkhianatan elit terhadap rakyat.

Haluan menentukan tujuan. Apa cita-cita kita merdeka? Para pendiri bangsa dengan jelas menggariskan bahwa tujuan kita adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejah¬teraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan menciptakan dunia yang damai.

Melindungi segenap bangsa tentu bukan sekedar perlindungan fisik dari agresi militer atau penjajahan konvensional. Perlindungan yang lebih substansial adalah proteksi seutuhnya: bebas dari kemiskinan, kebodoh¬an dan ketidakpastian. Kita ingin rakyat cukup pangan, sandang dan papan. Kita ingin rakyat menjadi cerdas dan mampu bersaing dalam percaturan global. Kita ingin manusia Indonesia mencicipi kemakmuran yang diolah dari kekayaan alam, dari pertanian dan industri, serta dari inisiatif dan kreativitas.

Haluan liberal yang sedang kita jalani tak akan membawa kita pada tujuan kesejahteraan itu. Dalam sistem yang liberal, baik itu ekonomi atau politik, kekuatan ada pada individu. Siapa yang kuat dialah yang menang, dan yang lemah pasti kalah. Karenanya hasil-hasil pembangunan hanya dinikmati segelintir orang. Merekalah yang telah “merdeka” dari kemiskinan. Namun sebagian besar rakyat masih diselimuti ketidakberdayaan. Rakyat mengalami involusi kemiskinan. Ketika harga-harga membubung tinggi, rakyat yang tak berdaya semakin tersingkirkan.

Kita yakin, keadaan akan lebih baik kalau ekonomi kerakyatan menjadi pilihan. Sesuai konstitusi Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945, negara bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial. Peran negara harus ada dalam ekonomi. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus menjadi alat bagi akselerasi kemakmuran rakyat, bukan akumulasi kekayaan pejabat. BUMN harus kuat dan bukan menjadi sapi perah atau jatah politik.

Kepemimpinan elit juga menentukan keberhasilan mencapai tujuan. Elit sekarang ini kebanyakan hanya memikirkan diri sendiri dan tak peduli pada nasib rakyat. Rakyat tak dianggap lagi. Rakyat hanya hadir menjelang pemilu dan pilkada, sebagai obyek manipulasi. Begitu pemilu dan pilkada usai, rakyat pun mati. Itulah peng¬khianatan elit (the betrayal of the elite) baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Anggaran untuk rakyat tercecer di jalan. Petani, buruh, nelayan, guru, dan sebagian besar rakyat berjuang sendiri-sendiri untuk bertahan hidup, menyambung nafas yang makin terengah-engah.

Gerindra hadir ingin mengoreksi keadaan ini. Sebagai alat perjuangan, tentu saja masih banyak kelemahan dan kekurangan kita. Godaan demi godaan pasti selalu datang. Budaya politik yang korup mewabah di sekitar kita. Seperti virus yang merajalela, sewaktu-waktu ketika lengah, pasti melahap idealisme dan cita-cita. Mudah-mudahan kita bisa memupuk semangat juang dengan penuh kebanggaan. Mudah-mudahan Gerindra menjadi cahaya dalam kegelapan.

FADLI ZON