Blog

Fadli Zon: Rakyat Harus Bayar Iuran Partai

Fadli Zon: Rakyat Harus Bayar Iuran Partai

Fadli Zon: Rakyat Harus Bayar Iuran PartaiPolitikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon mengatakan banyaknya partai politik (Parpol) yang terlibat masalah korupsi adalah karena Indonesia menganut sistem demokrasi liberal.

Sistem tersebut, kata Fadli, memberikan ruang parpol bisa melakukan tindakan-tindakan penyimpangan seperti praktik korupsi.

“Tidak ada atau hampir sedikit kontrol terhadap partai politik. Parpol sebagai institusi demokrasi seharusnya netral. Tetapi fungsi itu semakin tidak berjalan. Karena kecenderungannya parpol berjalan oligarki. Segala keputusan tidak lagi untuk rakyat, tapi untuk elite-elite parpol atau pemilik parpol,” ujar Fadli dalam diskusi seri empat pilar di Megawati Institute, Jakarta, Rabu (20/2/2013).

Untuk memperbaiki sistem ini, Fadli mengatakan parpol harus dikembalikan kepada rakyat. Rakyat harus memiliki ‘sense of belonging’ terhadap parpol.

“Ada sense of belonging dan itu ditunjukkan oleh iuran. Saat jaman dulu misalnya Partai Masyumi dan lainnya rakyat mau meyumbang. Karena mereka merasa yakin parpol bisa memperjuangkan kepentingannya,” ujar Fadli.

Dewasa ini, hampir tidak ada konstituen yang membayar iuran kepada partai politik. Bahkan, kata Fadli, malah ada pengusaha yang membiayai pencalegan kader partai politik.

“Parpol dijadikan alat kepentingan. Mungkin memang untuk memeperbaiki keadaan ada juga untuk merebut kekuasaan,” tukasnya.

Pemerintahan SBY Tak Serius Kembangkan Energi Terbarukan

Pemerintahan SBY Tak Serius Kembangkan Energi Terbarukan

Pemerintahan SBY Tak Serius Kembangkan Energi Terbarukan

 

Menurunnya produksi minyak Indonesia seharusnya bisa ditutupi dengan energi terbarukan. Namun sayangnya, pemerintahan SBY belum serius memproduksi energi alternatif ini padahal potensi energi terbarukan di Indonesia begitu besar.

Sejak tahun 2005, ketika saat harga minyak dunia melesat naik, Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon mencatat, Presiden SBY sangat gencar mendorong pengembangan bahan bakar nabati. Dibentuklah Timnas bahan bakar nabati, hingga lahir  blueprint pengelolaan energi melalui PP No.5/2006. Selain itu, ada juga wacana pengembangan energi dari tanaman jarak pagar yang juga tak kunjung hasil.

“Semua itu hingga saat ini tak jelas lagi kabarnya. Anggaran Rp 1 triliun untuk mengembangkan energi alternatif juga hanya dua persen saja yang terserap. Ini bukti ketakseriusan kinerja pemerintah di bidang energi,” kata Fadli kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Rabu, 20/2).

Saat ini, Fadli membandingkan, Brazil sudah memiliki sekitar 35 ribu SPBU etanol. Brazil merupakan satu negara yang sukses mengembangkan energi biofuel, dan dari biofuel ini Brazil mampu menghasilkan 16,3 miliar liter etanol atau setara dengan 33,3 persen total produksi etanol dunia.

“Brazil bisa karena mereka mengembangkannya dengan serius, dan kalau kita mau kita pasti juga bisa,” tegas Fadli.

Dengan kekayaan alam dan lahan yang dimiliki dan tersedia, masih kata Fadli, Indonesia juga bisa memproduksi energi terbarukan berbasis pertanian. Salah satunya dengan mengembangkan etanol dari Aren. Satu hektar aren bisa menghasilkan 20 ton etanol pertahun. Dengan 4 juta hektar pohon aren, maka Indonesia akan menghasilkan 480 juta barel bahan bakar per tahun.

“Pengembangan energi terbarukan oleh Pemerintah SBY masih sebatas retorika saja. Efeknya, kita masih terus impor BBM untuk menutupi defisit energi. Lambatnya pengembangan energi terbarukan juga membuat mafia kartel BBM semakin kokoh,” demikian Fadli.

Program Energi Terbarukan Pemerintah Tidak Jelas

Program Energi Terbarukan Pemerintah Tidak Jelas

Program Energi Terbarukan Pemerintah Tidak Jelas

Menurunnya produksi minyak Indonesia, seharusnya bisa ditutupi energi terbarukan. Namun sayangnya, pemerintahan SBY belum serius memproduksi energi alternatif ini. Padahal potensi energi terbarukan di Indonesia begitu besar.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra sekaligus Sekjen DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Fadli Zon dalam keterangan pers kepada LICOM, hari ini.

“Sejak tahun 2005, ketika saat harga minyak dunia melesat naik, Presiden SBY sangat gencar mendorong pengembangan bahan bakar nabati. Dibentuklah timnas bahan bakar nabati, hingga lahir blue print pengelolaan energi melalui PP No.5/2006. Sebelumnya juga, sempat adanya wacana pengembangan energi dari tanaman jarak pagar yang juga tak kunjung hasil. Semua itu hingga saat ini tak jelas lagi kabarnya?,” sambungnya.

Anggaran Rp 1 triliun untuk mengembangkan energi alternatif juga hanya 2 persen saja yang terserap. Ini bukti ketakseriusan kinerja pemerintah di bidang energi.

“Brazil saat ini memiliki sekitar 35 ribu SPBU etanol. Satu negara yang sukses mengembangkan energi biofuel. Dari biofuel ini Brazil mampu menghasilkan 16.3 miliar liter etanol atau setara dengan 33.3 persen total produksi etanol dunia. Brazil bisa karena mereka mengembangkannya dengan serius, dan kalau kita mau kita pasti juga bisa,” imbuhnya.

Dengan kekayaan alam dan lahan yang kita punya, kita juga bisa produksi energi terbarukan berbasis pertanian. Salah satunya dengan mengembangkan etanol dari Aren. Satu hektar aren bisa menghasilkan 20 ton etanol pertahun. Dengan 4 juta hektar pohon aren kita akan menghasilkan 480 juta barel bahan bakar pertahun.

“Pengembangan energi terbarukan oleh Pemerintah SBY masih sebatas retorika saja. Efeknya, kita masih terus impor BBM untuk menutupi defisit energi. Lambatnya pengembangan energi terbarukan juga membuat mafia kartel BBM semakin kokoh,” demikian Fadli. @ari

Menipis atau Eksploitasi

Menipis atau Eksploitasi

Energi TerbarukanPADA 2011, pemerintah merevisi target produksi minyak (lifting) dari semula ditargetkan 970 ribu barel per hari (bph) menjadi 945 ribu sampai 952 ribu bph.

Beberapa faktor penghambat produksi minyak tahun itu di antaranya penurunan produksi alamiah sekitar 12 persen per tahun, pemberlakuan asas sabotage pada kegiatan usaha hulu migas per 1 Januari 2011.

Kebijakan ini mengacu pada Inpres Nomor 5 tahun 2005 yang akan berdampak serius terhadap produksi minyak nasional. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kala itu, Darwin Zahedy Saleh menegaskan, sumur-sumur yang sudah tua di Indonesia juga memengaruhi pencapaian minyak di Indonesia.

Saat ini, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), pada 2013 menargetkan menekan penurunan produksi minyak sebesar 0,2 persen.

Penekanan laju penurunan ini dengan berbagai upaya, seperti pengeboran pengembangan, work over, well service dan optimasi fasilitas yang didukung perubahan struktur organisasi.

Tanpa melakukan kegiatan apapun, maka laju penurunan produksi minyak tahun ini diperkirakan mencapai 21 persen

“Tahun ini kami menargetkan laju penurunan produksi minyak menjadi hanya 0 persen, dan produksi gas dapat ditingkatkan hingga 4,2 persen,” ujar Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini yang dikutip tribunnews.com.

Fakta menyebutkan, tingkat produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan. Pada 2012 merosot ke angka 826.000 barel per hari. Sementara, pada 2013 hanya ditargetkan 830.000 barel perhari.

Menurut Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon, merosotnya produksi minyak terus terjadi di dua periode pemerintahan Presiden SBY.

Pada 2007, turun menjadi 964.000 barel dan di 2012 sebanyak 826.000 barel perhari. Bandingkan dengan 2001 yang mampu memproduksi 1.3 juta barel perhari.

Kebutuhan minyak per hari mencapai 1,3 juta barel. Sementara produksi hanya mampu 826.000 barel per hari. Sisanya, ditutup lewat impor dan biaya subsidi.

Padahal, pandangan orang awam bahwa sejak dulu Indonesia kaya akan sumber daya alam., termasuk minyak dan gas. Hampir di seluruh penjuru Tanah Air memiliki kekayaan akan minyak dan gas.  Hanya, sejak berpuluh-puluh tahun pula, kekayaan itu diekslpoitasi habis-habisan untuk kepentingan segelintir orang.

Bayangkan, jika eksploitasi itu sudah berlangsung puluhan tahun lalu. Jika per hari bisa menghasilkan 826.000 barel pada 2012, sudah berapa banyak energi minyak Indonesia ‘dijual’.

Kita bisa berkaca dari zaman Orde Baru yang mengeksploitasi hampir seluruh kekayaan alam Indonesia tanpa batas. Apalagi, dengan menggunakan atau kerjasama dengan pihak asing. Padahal, lebih dari 50 persen kepemilikannya sudah menjadi milik asing.

Hampir tak bisa dibayangkan bagaimana penderitaan kita saat ini, bahkan anak cucu kita jika produksi minyak terus menurun dari tahun ke tahun dengan dalih yang dibuat-buat.

Miris rasanya mendengar pernyatan Menteri ESDM Jero Wacik yang menyatakan, persediaan minyak bumi kita sudah menipis yang mengharuskan rakyat Indonesia berhemat.

Padahal, ada 52 sumur minyak milik Pertamina yang menganggur dan ada pula sumur minyak yang dihentikan kegiatan operasinya oleh Pertamina karena tak ada dana.

Sekarang, 90 persen eksplorasi minyak masih terpusat di kawasan barat. Padahal, potensi di kawasan timur sangat besar. Masih ada 100 blok di sana yang diprediksi memiliki cadangan minyak besar. Tapi tak dieksplorasi.

Jika memang menipis, kenapa tidak sejak dulu berpikir ketika kumandang menghentikan ekspoitasi kekayaan alam Indonesia oleh pihak asing disuarakan sejumlah aktivis lingkungan.

Kenyataannya eksploitasi yang tak terkendali membuat persediaan kekayaan alam Indonesia terutama minyak semakin menipis. Sudah saatnya kita perbaiki diri, jangan hanya mementingkan kebutuhan kantong pribadi dengan mengorbankan rakyat awam. Semoga Indonesia akan tetap kaya akan sumber daya alam. Persediaan yang menipis mudahan hanya perkiraan. (*)

Warning RS Hanya Buat yang Punya Uang

Warning RS Hanya Buat yang Punya Uang

RS Hanya Buat yang Punya Uang

Kasus kematian bayi malang berumur seminggu Dera Nur Anggraini, yang meninggal dunia setelah ditolak 10 rumah sakit, menjadi peringatan bahwa rumah sakit hanya untuk orang yang punya uang.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menegaskan penolakan oleh 10 rumah sakit untuk merawat bayi Dera menunjukkan adanya diskrimanasi terhadap rakyat yang miskin.

“Penolakan yang dilakukan oleh 10 RS itu merupakan warning bahwa RS hanya untuk orang yang punya uang,” tegas Fadli Zon kepada Tribunnews.com, Jakarta, Selasa (19/2/2013).

Fadli tegaskan, penolakan itu wujud rumah sakit sekarang ini sudah semata jadi industri untuk menghasilkan uang. Seharusnya rumah sakit menolong orang sakit, apalagi sudah ada jaminan.

Menurut Fadli, layanan kesehatan yang terjangkau adalah hak warga negara. Karenanya, tak boleh RS menolak pasien dengan alasan apapun. Kecuali memang RS tersebut tak mampu menangani.

“Tapi harus diterima, diperiksa, diagnosa baru diambil tindakan. Jika peralatan kurang bisa dirujuk ke tempat lain,” katanya.

Diberitakan sebelumnya, berdasarkan cerita ayah Dera, Elias Setionugroho (20), anaknya lahir pada Minggu (11/2/2013) malam, dengan cara operasi caesar di RS Zahirah, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Namun, anak kembarnya lahir tidak normal, dengan berat 1 kilogram, dan mengalami gangguan pernapasan. Karena tidak punya alat untuk merawat Dera, pihak rumah sakit menyarankan keluarga untuk mencari rujukan.

Awalnya, Elias bersama Herman, sang kakek, menuju RS Fatmawati. Sampai di sana, pihak rumah sakit menyatakan semua ruangan penuh. Tak patah arang, akhirnya Herman dan Elias menuju RSCM, untuk mencari ruang perawatan dan operasi. Lagi-lagi, setelah menunggu hingga pagi hari, rumah sakit menyatakan ruangan penuh.

“RS Fatmawati, katanya ruangan enggak ada. Di RSCM, menunggu dari jam 04.00 sampai 06.00 pagi, baru dapat masuk. Pagi kami tanya ke kasir, ke ICU, sampai kami kasih rujukan dari rumah sakit, 15 menit datang bilangnya penuh,” ungkap Elias saat ditemui di kediamannya, Jalan Jati Padang Baru RT 14/06, Pasar Minggu, Senin.

Herman dan Elias kemudian pergi menuju RS Harapan Kita. Keduanya lantas memberikan surat keterangan tidak mampu kepada pihak rumah sakit. Setelah menunggu, pihak RS Harapan Kita juga mengatakan kamar penuh. Usaha terus dilakukan, hingga pada Selasa, sang kakek menuju RS Pasar Rebo. Lagi-lagi, pihak RS Pasar Rebo menolak, karena kamar rawat tidak tersedia.

Esoknya, sang kakek mencoba RS Harapan Bunda Pasar Rebo. Di sana, Herman sempat dimintai uang muka sebesar Rp 10 juta sebagai biaya perawatan, dan belum termasuk operasi. Usai dari Pasar Rebo, Herman dan Elias ke RS Asri, RS Tria Dipa, RS Budi Asih, RS JMC, dan terakhir ke RS Pusat Pertamina.

Semua rumah sakit tersebut juga menolak. Di RS Pertamina, sang kakek langsung ditawari petugas soal pembayaran, mau uang muka atau langsung tunai.

Agar cucunya bisa dirawat, Herman mengatakan pembayaran akan dilakukan tunai, namun justru pihak rumah sakit beralasan kamar rawat penuh. Karena tidak kunjung mendapatkan rumah sakit, Dera pada Sabtu lalu akhirnya meninggal dunia. Sedangkan saudara kembarnya, Dara, saat ini masih menjalani perawatan di RS Tarakan.

Pemerintah Lambat Kembangkan Energi Terbarukan

Pemerintah Lambat Kembangkan Energi Terbarukan

Pemerintah Lambat Kembangkan Energi TerbarukanMenurunnya produksi minyak Indonesia, seharusnya bisa ditutupi energi terbarukan. Namun sayangnya, pemerintahan SBY belum serius memproduksi energi alternatif ini. Padahal potensi energi terbarukan di Indonesia begitu besar.

“Sejak tahun 2005, ketika saat harga minyak dunia melesat naik, Presiden SBY sangat gencar mendorong pengembangan bahan bakar nabati. Dibentuklah timnas bahan bakar nabati, hingga lahir blue print pengelolaan energi melalui PP No.5/2006. Belum lagi sempat adanya wacana pengembangan energi dari tanaman jarak pagar yang juga tak kunjung hasil. Semua itu hingga saat ini tak jelas lagi kabarnya?” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, Selasa (19/2/2013).

Anggaran Rp. 1 triliun untuk mengembangkan energi alternatif, lanutnya,  juga hanya 2 persen saja yang terserap. Ini bukti ketakseriusan kinerja pemerintah di bidang energi.

Dijelaska, Brazil saat ini memiliki sekitar 35 ribu SPBU etanol. Satu negara yang sukses mengembangkan energi biofuel. Dari biofuel ini Brazil mampu menghasilkan 16.3 miliar liter etanol atau setara dengan 33.3 persen total produksi etanol dunia. Brazil bisa karena mereka mengembangkannya dengan serius, dan kalau kita mau kita pasti juga bisa.

“Dengan kekayaan alam dan lahan yang kita punya, kita juga bisa produksi energi terbarukan berbasis pertanian. Salah satunya dengan mengembangkan etanol dari Aren. Satu hektar aren bisa menghasilkan 20 ton etanol pertahun. Dengan 4 juta hektar pohon aren kita akan menghasilkan 480 juta barel bahan bakar pertahun,” tuturnya.

Pengembangan energi terbarukan oleh Pemerintah SBY, tegasnya, masih sebatas retorika saja. “Efeknya, kita masih terus impor BBM untuk menutupi defisit energi. Lambatnya pengembangan energi terbarukan juga membuat mafia kartel BBM semakin kokoh,” pungkas Fadli Zon.

Elektabilitas Prabowo Kalah Telak dari Jokowi, Ini Kata Gerindra

Elektabilitas Prabowo Kalah Telak dari Jokowi, Ini Kata Gerindra

Elektabilitas Prabowo Kalah Telak dari Jokowi, Ini Kata GerindraSurvei politik terakhir menempatkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres paling potensial mengalahkan capres Gerindra Prabowo Subianto. Gerindra menganggapnya wajar, karena Jokowi sangat populer saat ini.

“Sangat wajar Jokowi sangat populer karena memang setiap hari kerja keras memperbaiki Jakarta. Selain blusukan, Jokowi juga selalu hadir dalam berbagai kejadian sehari-hari di Jakarta,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, kepada detikcom, Selasa (19/2/2013).

Apalagi, lanjut Fadli, sebagai gubernur DKI, Jokowi juga bekerja keras melayani masyarakat Jakarta. Ekspose media terhadap kegiatan Jokowi juga luar biasa gencar.

“Momentum Pemilukada DKI mendapat sorotan media yang luar biasa secara nasional juga faktor Prabowo dan Megawati yang mendukung Jokowi,” katanya.

Namun demikian, lanjut Fadli, sangat wajar di survei politik elektabilitas Prabowo naik-turun. Gerindra yakin Prabowo akan terpilih di Pilpres 2014 mendatang.

“Survei itu adalah snapshot, suatu keadaan sekilas pada waktu tertentu. Yang menentukan adalah Pilpres pada akhirnya,” tandasnya.

Lembaga Survei Jakarta (LSJ) merilis hasil survei mereka beberapa saat lalu. Dalam survei tersebut Joko Widodo memuncaki capres paling potensial dengan dukungan 18,1 persen suara responden. Prabowo Subianto tertinggal telak dengan 10,9 persen responden.

Survei dilakukan tanggal 9-15 Februari 2013 di 33 provinsi dengan 1.225 sampel, margin error 2,8 persen dan level of confidence 95 persen. Populasi dari survei adalah penduduk Indonesia yang memiliki hak pilih, pengumpulan dengan teknik wawancara kuisioner.

Berikut capres paling potensial versi survei LSJ jika Pilpres digelar hari ini:

1. Joko Widodo: 18,1 persen
2. Prabowo Subianto: 10,9 persen
3. Wiranto: 9,8 persen
4. Jusuf Kalla: 8,9 persen
5. Aburizal Bakrie: 8,7 persen
6. Megawati Soekarnoputri: 7,2 persen
7. Mahfud MD: 5,4 persen
8. Dahlan Iskan: 3,6 persen
9. Hatta Rajasa 2,9 persen
10. Surya Paloh 2,5 persen
11. Rhoma Irama 1,7 persen
12. Muhaimin Iskandar 1,1 persen
13. Anas Urbaningrum 0,5 persen
Nama lain: 0,8 persen
Undecide voters: 17,9 persen

Gerindra : Soal Energi Alternatif, Pemerintah Hanya Beretorika !

Gerindra : Soal Energi Alternatif, Pemerintah Hanya Beretorika !

Gerindra Soal Energi Alternatif, Pemerintah Hanya Beretorika !Bukti bahwa Indonesia masih terus mengimpor BBM untuk menutupi defisit energi, semakin menegaskan bahwa pengembangan energi terbarukan yang diusung pemerintah masih sebatas retorika. Demikian penilaian yang disampaikan Partai Gerindra.

“Lambatnya pengembangan energi terbarukan juga membuat  mafia kartel BBM semakin kokoh,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, Selasa (19/2).

Ia menjelaskan, menurunnya produksi minyak Indonesia bisa ditutupi  dengan energi terbarukan. Sayangnya, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum serius memproduksi energi alternatif itu. Padahal potensi energi terbarukan di Indonesia begitu besar.

Selama ini, lanjutnya, pemerintah hanya berwacana untuk membuat energi alternatif. Sejak 2005, ketika saat harga minyak dunia melesat naik, Presiden SBY bahkan gencar mendorong pengembangan bahan bakar nabati. Ini yang kemudian mendorong dibentuknya timnas bahan bakar nabati. Hingga kemudian melahirkan cetak biru (blue print) pengelolaan energi melalui PP Nomor 5/2006.

“Belum lagi sempat adanya wacana pengembangan energi dari tanaman jarak pagar yang juga tak kunjung hasil. Semua itu hingga saat ini tak jelas lagi kabarnya,” papar dia.

Menurutnya, anggaran satu triliun rupiah yang dialokasikan untuk mengembangkan energi alternatif pun tidak berjalan baik. Dari jumlah itu, hanya dua persen saja yang terserap. Ini menambah bukti ketakseriusan kinerja pemerintah di bidang energi.

Fadli membandingkan dengan Brasil sebagai negara yang sukses mengembangkan energi biofuel. Brasil saat ini memiliki sekitar 35 ribu SPBU etanol.

Dari biofuel, Brazil mampu menghasilkan 16,3 miliar liter etanol. Atau setara dengan 33.3 persen total produksi etanol dunia. “Brasil bisa karena mereka mengembangkannya dengan serius, dan kalau kita mau kita pasti juga bisa.”

Apalagi, dengan kekayaan alam dan lahan yang ada, pasti bisa memproduksi energi terbarukan berbasis pertanian. Misalnya dengan mengembangkan etanol dari Aren.

Satu hektare aren bisa menghasilkan sekitar 20 ton etanol per tahun. “Dengan empat juta hektare pohon aren kita akan menghasilkan 480 juta barel bahan bakar per tahun,” tutur dia.

Utang Capai Rp 1.979 Triliun, Pemerintah Mudah Disetir Asing

Utang Capai Rp 1.979 Triliun, Pemerintah Mudah Disetir Asing

UtangTotal utang pemerintah Indonesia saat ini meningkat menjadi Rp 1.979,75 triliun. Hal ini tentu membuat rakyat Indonesia semakin terbebani, dan pemerintah mudah disetir.

“Utang luar negeri pasti membebani rakyat,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon kepada detikFinance, Selasa (19/2/2013).

Menurut Fadli, kenaikan utang ini disebabkan oleh meningkatnya pinjaman luar negeri. Padahal, kenaikan utang kepada lembaga asing dan negara luar sangat riskan.

“Pemerintah akan mudah disetir oleh asing,” terangnya.

Seperti diketahui, dalam bulan pertama di 2013 atau di Januari, utang pemerintah Indonesia bertambah Rp 4,33 triliun. Secara rasio terhadap PDB total di 2012, utang pemerintah Indonesia berada di level 24% hingga Januari 2013.

Jika dihitung dengan denominasi dolar AS, jumlah utang pemerintah hingga Januari 2013 mencapai US$ 204,14 miliar, turun tipis dari posisi di akhir 2012 yang mencapai US$ 204,28 miliar.

Pemerintahan SBY Malas Berpikir dan Bekerja!

Pemerintahan SBY Malas Berpikir dan Bekerja!

Pemerintahan SBY Malas Berpikir dan Bekerja

 

Tingkat produksi minyak Indonesia terus menurun. Pada tahun 2012, produksi minyak sudah merosot ke angka 826.000 barel per hari. Sementara tahun ini, produksi minyak hanya ditargetkan 830.000 barel per hari.

Merosotnya produksi minyak terus terjadi di dua periode pemerintahan Presiden SBY. Tahun 2007, turun menjadi 964.000 barel, dan di 2012 826.000 barel perhari.

“Bandingkan dengan tahun 2001 yang mampu memproduksi 1,3 juta barel perhari. Kebutuhan minyak kita perhari mencapai 1.3 juta barel, sementara produksi hanya mampu 826.000 barel per hari. Sisanya, kita tutup lewat impor dan biaya subsidi,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, beberapa saat lalu (Senin, 18/2)

Selama ini, ungkap Fadli, pemerintah selalu berdalih bahwa penyebab penurunan produksi karena berkurangnya cadangan minyak lantaran usia sumur yang sudah tua. Dalih pemerintah ini layak diragukan sebab di awal periode kedua SBY, ada 52 sumur minyak milik Pertamina yang menganggur. Selain itu, ada juga sumur minyak yang dihentikan kegiatan operasinya oleh Pertamina karena tak ada dana.

Saat ini, Fadli melanjutkan, sekitar 90 persen eksplorasi minyak masih terpusat di kawasan barat. Padahal potensi minyak di kawasan timur juga sangat besar, dan masih ada 100 blok di kawasan timur yang diprediksi memiliki cadangan minyak besar.

“Tapi tak dieksplorasi. Ini semua menunjukkan malasnya pemerintah kita berpikir dan bekerja,” sesal Fadli, sambil mengatakan bahwa minimnya produksi minyak ini selalu diikuti oleh impor yang rawan perburuan rente. Padahal, turunnya produksi minyak Indonesia lebih karena pemerintah yang malas mencari cara dan lamban bergerak memberdayakan potensi minyak yang ada, termasuk produksi energi alternatif terbarukan seperti biodiesel dan bioetanol.

“Jika pemerintah mau bekerja keras maka produksi minyak pun akan meningkat, akhirnya kita tak perlu impor lagi dan harga BBM semakin terjangkau,” demikian Fadli.