Blog

Fadli Zon khawatir Koopssusgab TNI bermasalah jika tak ada UU

Fadli Zon khawatir Koopssusgab TNI bermasalah jika tak ada UU

Fadli Zon khawatir Koopssusgab TNI bermasalah jika tak ada UU

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku khawatir apabila pelibatan TNI dalam Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) untuk penanganan kasus terorisme akan bermasalah apabila tidak diatur dalam aturan hukum yang berlaku.

Dia berpendapat, TNI memiliki tugas pokok dan fungsi yang berbeda dari kepolisian terutama dalam hal penanganan kasus terorisme.

“Akan bermasalah di dalam prakteknya di lapangan. Dan itu menurut saya malah merugikan di dalam penanganan terorisme,” kata Fadli di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (18/5/2018).

Oleh sebab itu, dia meminta kepada pemerintah untuk tidak terburu-buru melibatkan TNI dalam penanganan kasus terorisme. Apalagi jika payung hukum untuk mengatur pelibatan TNI itu belum disahkan.

“Payung hukumnya ya harusnya Undang-undang. Jadi saya kira tunggu Undang-undang saja jadi dulu,” ucap Fadli.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengaktifkan Koopssusgab TNI untuk memberantas teroris di segala penjuru Indonesia.

“Sudah direstui oleh Presiden, dan diresmikan kembali oleh Panglima TNI,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko di komplek Istana Negara.

Menurut Moeldoko, Koopssusgab saat ini sudah berjalan dan di dalamnya memiliki pasukan khusus terbaik dari prajurit TNI Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut.

“Mereka setiap saat bisa digerakkan ke penjuru, kemanapun dalam tempo yang secapat-cepatnya, tugasnya seperti apa, akan dikomunikasikan antara Kapolri dan Panglima TNI,” ujar Moeldoko.

 

Sumber

 

Fadli Zon Minta Pembentukan Koopsusgab TNI Tunggu Revisi UU Antiterorisme

Fadli Zon Minta Pembentukan Koopsusgab TNI Tunggu Revisi UU Antiterorisme

Fadli Zon Minta Pembentukan Koopsusgab TNI Tunggu Revisi UU Antiterorisme
Wakil Ketua DPR Fadli Zon tak mempermasalahkan rencana pemerintah untuk membentuk Komando Operasi Khusus Gabungan ( Koopsusgab) TNI untuk ikut membantu polri memberantas terorisme.
Namun, Fadli meminta pembentukan Koopsusgab tersebut baru dilakukan setelah revisi Undang-undang Antiterorisme selesai dilakukan. Dengan begitu, pembentukan Koopsusgab mempunyai dasar hukum yang jelas. “Menurut saya tunggu revisi selesai,” kata Fadli Zon di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (18/5/2018).

Fadli mengatakan, dalam draf revisi UU Antiterorisme saat ini sudah diatur mengenai pelibatan TNI, yakni di pasal 43. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa teknis pelibatan TNI dalam memberantas terorisme akan diatur lebih jauh melalui peraturan presiden.

“Kalau perpresnya nanti langsung melibatkan (Koopsusgab TNI) ya tidak ada masalah. Tapi kita belum tau bentuk perpresnya seperti apa,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini. Fadli pun tak sepakat dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menyebut bahwa pembentukan Koopsusgab tak perlu payung hukum. Menurut dia, hal tersebut akan menjadi masalah.

Oleh karena itu, Fadli meminta pemerintah untuk bersabar.

Ia menargetkan dalam dua minggu kedepan revisi UU Antiterorisme bisa segera selesai. Sebab, hanya satu pasal saja yang saat ini belum rampung, yakni pasal mengeni definisi terorisme.
Presiden Joko Widodo membenarkan bahwa saat ini pemerintah dalam proses mengaktifkan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI.
Hal itu diungkapkan dalam pidatonya di acara buka puasa bersama para menteri Kabinet Kerja dan pimpinan lembaga negara di Istana Negara, Jakarta, Jumat (17/5/2018). “Pemerintah saat ini di dalam proses membentuk Koopsusgab TNI yang berasal dari Kopassus, Marinir, dan Paskhas,” ujar Jokowi.

Presiden menegaskan bahwa pengaktifan kembali Koopsusgab TNI itu demi memberikan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia dari para pelaku teror. Meski demikian,
Jokowi menegaskan Koopsusgab TNI itu nantinya baru turun tangan dalam situasi kegentingan tertentu.
“Ini dengan catatan, itu dilakukan (Koopsusgab TNI diturunkan) apabila situasi sudah di luar kapasitas Polri. Artinya preventif jauh lebih penting dari represif,” ujar Jokowi.

Di Istana, Fadli Zon Minta Jokowi Tak Buru-buru Libatkan TNI

Di Istana, Fadli Zon Minta Jokowi Tak Buru-buru Libatkan TNI

Fadli Zon Minta Jokowi Tak Buru-buru Libatkan TNI

Wakil Ketua DPR Fadli Zon tetap meminta Presiden Joko Widodo tidak buru-buru melibatkan menerjunkan pasukan elite TNI untuk menumpas terorisme. Dia meminta Kepala Negara menunggu selesainya revisi UU Antiterorisme

Penegasan ini disampaikan Fadli saat dimintai tanggapan atas pernyataan presiden soal keputusan pemerintah mengaktifkan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) TNI, untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat dari ancaman terorisme.

Mantan gubernur DKI itu juga menegaskan bahwa Koopssusgab TNI yang terdiri dari Kopassus dari TNI AD, Detasemen Jalamangkara (Denjaka), dan Detasemen Bravo 90 dari TNI AU, hanya akan diturunkan untuk situasi ancaman di luar kapasitas Polri.

Fadli menyebutkan yang terpenting adalah koordinasi yang ada di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kemudian pelibatan TNI termasuk pasukan khususnya diatur di revisi UU Anti-terorisme, teknisnya lewat Peraturan Presiden (Perpres).

“Kalau Perpresnya nanti langsung melibatkan TNI ya tidak ada masalah. Tapi kita belum tahu bentuk Perpresnya seperti apa. Jadi ketimbang membuat satu organisasi atau institusi baru, lebih bagus memberdayakan dan meningkatkan kinerja yanng ada,” ucap Fadli.

Itu disampaikannya usai acara buka bersama presiden dengan pimpinan lembaga tinggi negara, menteri kabinet, tokoh agama dan sejumlah pengusaha, di Istana Negara, Jakarta, Jumat (18/5).

Bila presiden tetap kukuh ingin memlibatkan TNI dalam operasi pemberantasan terorisme, maka dia mengingatkan harus ada payung hukumnya, yakni UU dan aturan turunannya.

“Menurut saya tunggu revisi selesai. Mungkin dua minggu ini bisa diselesaikan, kalau presiden memerlukan ini dalam Perpres melibatkan TNI di sana. Itu kan operasi militer di luar perang,” jelas dia.

Dia menambahkan, jangan sampai Koopssusgab diturunkan tanpa ada payung hukumnya. Sebab, hal itu akan bermasalah dalam praktiknya di lapangan. Bisa terjadi tumpang tindih kewenangan sehingga merugikan dalam penanganan terorisme.

 

Sumber

Hari Buku Nasional, Fadli Zon Ingin Pajak Buku Dipangkas

Hari Buku Nasional, Fadli Zon Ingin Pajak Buku Dipangkas

Hari Buku Nasional, Fadli Zon Ingin Pajak Buku Dipangkas

Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon ingin pajak buku di Indonesia dipangkas. Itu dilakukan karena harga buku yang masih dirasakan mahal dan insentif penulis yang rendah. Dengan semakin terjangkaunya harga buku, dia mengatakan, itu akan menumbuhkan minat baca masyarakat.

“Tahun lalu kita membaca ada seorang penulis best seller yang terpaksa menghentikan peredaran bukunya karena menilai pajak yang harus dibayarkannya sebagai penulis sangat mahal. Ia melakukan aksi itu sebagai bentuk protes. Untuk menggairahkan industri perbukuan, kita perlu meninjau kembali aturan perpajakan,” kata Fadli dalam keterangan tertulis, Kamis (17/5/2018).

Hal itu disampaikan Fadli Zon sebagai catatan atas peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh setiap tanggal 17 Mei.

Dia menambahkan salah satu kendala dalam menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia adalah rendahnya daya beli buku. Ketimbang negara India, kata Fadli, harga buku di Indonesia masih relatif mahal.

“Di India, harga buku sangat terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Dengan uang kurang dari Rp 50 ribu, pelajar di India sudah bisa membeli dua eksemplar buku pelajaran. Sementara di Indonesia, buku-buku pelajaran sekolah menengah saja lebih dari Rp 50 ribu, bahkan bisa ratusan ribu rupiah,” jelasnya.

Dia melanjutkan sekitar 65% pasar buku di Indonesia didominasi buku pelajaran, dengan pangsa pasar mencapai 61 juta eksemplar per tahun. Itu terdiri dari 31 juta eksemplar buku SD, 15 juta buku SMP, 9 juta buku SMA, dan 5 juta buku perguruan tinggi. Oleh karena itu ia menilai persoalan harga buku tak boleh dilewatkan.

Dia juga menyayangkan soal hitung-hitungan insentif penulis yang dirasakan masih cukup rendah. Itu karena penulis dibebani PPh royalti 15%, selain juga dikenai PPN sebesar 10%. Penulis biasanya paling besar mendapatkan 10% dari harga buku. Untuk itu dia ingin adanya peninjauan ulang pajak yang selama ini membebani industri buku, termasuk memutus mata rantai monopoli impor kertas.

Fadli juga menyayangkan adanya kebijakan yang dianggapnya kurang tepat seperti memberikan insentif kepada industri hiburan dan barang-barang mewah ketimbang buku.

“Alih-alih memberi insentif bagi dunia perbukuan, pemerintah malah lebih memilih memberikan insentif bagi industri hiburan dan barang-barang mewah, seperti dulu diwakili oleh Peraturan Menteri Keuangan No 158/2015. Pemerintah lebih rela menghapus pajak hiburan, dengan potential loss pajak sekitar Rp 900 miliar, daripada mengurangi pajak buku yang punya multiflier effect strategis,” paparnya.

Padahal menurut Fadli, buku adalah pilar peradaban. Oleh karena itu dia ingin agar kebijakan publik harus mendorong perkembangan buku dan memberikan perlindungan kepada penulis.

“Pemerintah perlu menyadari bahwa buku adalah pilar peradaban. Tak ada peradaban besar yang tidak ditopang oleh buku. Itu sebabnya kebijakan publik kita harus mendukung berkembangnya industri perbukuan dan memberikan perlindungan terhadap para penulis,” pungkasnya.

 

Sumber

Rendahnya Minat Baca, Fadli Zon Minta Pajak Buku Dipangkas!

Rendahnya Minat Baca, Fadli Zon Minta Pajak Buku Dipangkas!

Rendahnya Minat Baca, Fadli Zon Minta Pajak Buku Dipangkas!

Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengatakan, bahwa Salah satu masalah dalam dunia perbukuan di Indonesia adalah rendahnya minat baca. Sayangnya, soal minat baca ini selama ini didudukkan semata sebagai soal hobi yang sifatnya personal belaka, sehingga kita jadi miskin rekayasa yang sifatnya kolektif atau struktural untuk mempengaruhi hal tersebut. Hal itu disampaikan sebagai catatan atas peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh tiap tanggal 17 Mei.

“Hambatan struktural terbesar bagi usaha untuk menumbuhkan minat baca di Indonesia adalah rendahnya daya beli masyarakat. Dibanding negara-negara berkembang lain, misalnya India, harga buku di Indonesia relatif mahal. Di India, harga buku sangat terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.

Bayangkan, dengan uang kurang dari Rp. 50 ribu, para pelajar di India sudah bisa membeli dua eksemplar buku pelajaran. Sementara di kita, buku-buku pelajaran sekolah menengah saja harganya sudah lebih dari Rp. 50 ribu, bahkan bisa ratusan ribu rupiah, ujarnya dalam keterangan kepada Garudayaksa.comPendiri Fadli Zon Library ini menegaskan bahwa “Soal harga buku pelajaran ini memang tak bisa dilewatkan begitu saja.

Apalagi, sekitar 65 persen pasar buku di Indonesia memang didominasi buku pelajaran, dengan pangsa pasar mencapai 61 juta eksemplar per tahun, yang terdiri dari 31 juta eksemplar buku SD, 15 juta eksemplar buku SMP, 9 juta eksemplar buku SMA, dan 5 juta eksemplar buku perguruan tinggi. Jadi, kita punya pasar yang cukup besar.”

“Sayangnya, alih-alih memberi insentif bagi dunia perbukuan, pemerintah malah lebih memilih memberikan insentif bagi industri hiburan dan barang-barang mewah, seperti dulu diwakili oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 158/2015. Pemerintah lebih rela menghapus pajak hiburan, dengan potential loss pajak sekitar Rp900 miliar, daripada mengurangi pajak buku yang punya multiflier effect strategis.

”“Mahalnya harga buku, dan masih dianggapnya buku sebagai barang mewah di negeri kita salah satunya adalah karena kebijakan-kebijakan yang tidak tepat tadi.”“Buku, misalnya, masih dikenai PPN 10 persen, dan penulis dibebani PPh royalti sebesar 15 persen. Pajak-pajak itu telah menyebabkan insentif kepada para penulis jadi sangat kecil.Sebab, royalti kepada penulis di Indonesia paling besar biasanya hanya 10 persen dari harga buku.

Pemerintah mestinya meninjau kembali pajak-pajak yang selama ini telah membebani industri perbukuan, termasuk memutus rantai monopoli impor kertas.

”“Tahun lalu kita membaca ada seorang penulis best seller yang terpaksa menghentikan peredaran bukunya karena menilai pajak yang harus dibayarkannya sebagai penulis sangat mahal. Ia melakukan aksi itu sebagai bentuk protes. Untuk menggairahkan industri perbukuan, kita perlu meninjau kembali aturan perpajakan.”

“Pemerintah perlu menyadari bahwa buku adalah pilar peradaban. Tak ada peradaban besar yang tidak ditopang oleh buku. Itu sebabnya kebijakan publik kita harus mendukung berkembangnya industri perbukuan dan memberikan perlindungan terhadap para penulis, tutup Waketum DPP Gerindra ini.

 

Sumber

Pemerintah Diminta Berpihak pada Industri Perbukuan

Pemerintah Diminta Berpihak pada Industri Perbukuan

Pemerintah Diminta Berpihak pada Industri Perbukuan

Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai, salah satu masalah dalam dunia perbukuan di Indonesia adalah rendahnya minat baca. Saat ini, minat baca didudukkan semata sebagai soal hobi yang sifatnya personal belaka.

“Sehingga kita jadi miskin rekayasa yang sifatnya kolektif atau struktural untuk mempengaruhi hal tersebut,” ujarnya menanggapi Hari Buku Nasional yang jatuh tiap tanggal 17 Mei.

Menurut Fadli, hambatan struktural terbesar bagi usaha untuk menumbuhkan minat baca di Indonesia adalah rendahnya daya beli masyarakat.

Lebih jauh,  pendiri Fadli Zon Library menuturkan, dibanding negara-negara berkembang lain, misalnya India, harga buku di Indonesia relatif mahal. Di India, harga buku sangat terjangkau oleh masyarakat kebanyakan.

“Bayangkan, dengan uang kurang dari Rp50 ribu, para pelajar di India sudah bisa membeli dua eksemplar buku pelajaran. Sementara di kita, buku-buku pelajaran sekolah menengah saja harganya sudah lebih dari Rp50 ribu, bahkan bisa ratusan ribu rupiah,” tambahnya.

Memang, kata Fadli, terkait buku pelajaran ini, tak bisa dilewatkan begitu saja. Apalagi, sekitar 65 persen pasar buku di Indonesia memang didominasi buku pelajaran, dengan pangsa pasar mencapai 61 juta eksemplar per tahun, yang terdiri dari 31 juta eksemplar buku SD, 15 juta eksemplar buku SMP, 9 juta eksemplar buku SMA, dan 5 juta eksemplar buku perguruan tinggi.

Dengan demikian, Indonesia memiliki  pasar yang cukup besar.

“Sayangnya, alih-alih memberi insentif bagi dunia perbukuan, pemerintah malah lebih memilih memberikan insentif bagi industri hiburan dan barang-barang mewah, seperti dulu diwakili oleh Peraturan Menteri Keuangan No. 158/2015. Pemerintah lebih rela menghapus pajak hiburan, dengan potential loss pajak sekitar Rp900 miliar, daripada mengurangi pajak buku yang punya multiflier effect strategis,” tegasnya.

Fadli berharap pemerintah menyadari bahwa buku adalah pilar peradaban. Tak ada peradaban besar yang tidak ditopang oleh buku.

“Itu sebabnya kebijakan publik kita harus mendukung berkembangnya industri perbukuan dan memberikan perlindungan terhadap para penulis,” pungkasnya.

 

Sumber

UU Terorisme Jangan Dijadikan Alat Pelanggaran HAM

UU Terorisme Jangan Dijadikan Alat Pelanggaran HAM

UU Terorisme Jangan Dijadikan Alat Pelanggaran HAM

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan revisi terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jangan sampai isinya dijadikan alat pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Untuk itu, pemerintah harus memberikan penjelasan yang lugas mengenai definisi terorisme.

“Definisi terorisme ini agar orang tidak gampang dituduh teroris dan jangan UU ini dijadikan semacam alat untuk melanggar HAM pada masa yang akan datang,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (15/6).

Ia menegaskan bahwa dirinya setuju bahwa terorisme merupakan kejahatan luar biasa sehingga perlu upaya ekstra untuk memberantasnya. Namun, Fadli tidak menginginkan aturannya dalam bentuk UU Antiterorisme hasil revisi dijadikan alat kepentingan politik di luar upaya pemberantasan teroris.

“Ketika orang disebut penjahat, harus ada definisinya. Apakah penjahat itu melanggar UU dan sebagainya. Termasuk teroris perlu didefinisikan agar ruang lingkupnya jelas, jangan sampai meluas ataupun mengecil,” ujarnya.

Politikus Partai Gerindra itu meningatkan jangan menyalahkan kejadian aksi teror yang dilakukan para teroris karena belum selesainya pembahasan revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurutnya, saat ini UU Antiterorisme masih berlaku sehingga masih menjadi payung hukum untuk pemberantasan terorisme. Hal itu harus dijalankan aparat keamanan.

“Sudah ada UU No. 15/2003 dan saat ini hanya revisi, yaitu pemerintah ingin menambah kekuatan. Aksi teror terjadi bukan karena revisi UU belum selesai, melainkan kegagalan aparat menanggulanginya,” katanya.

Fadli menjelaskan bahwa revisi UU Antiterorisme saat ini sedang berjalan dan dibahas di Panitia Khusus yang dilakukan DPR dan pemerintah sehingga prosesnya atas dasar kerja kedua belah pihak, bukan hanya ditentukan oleh DPR.

Ia mengatakan bahwa dirinya sudah berbicara dengan pimpinan Panitia Khusus revisi UU Antiterorisme, hasilnya hanya tinggal satu poin pembahasan yang akan diselesaikan, yaitu terkait dengan definisi terorisme.

“Jadi, seharusnya pada masa sidang kemarin sudah bisa disahkan. Namun, dari pemerintah yang meminta 1 bulan menunda, terutama terkait dengan definisi apa itu terorisme. Jadi, supaya jelas, tidak benar bahwa di DPR ini ada penundaan dan sebagainya,” ujarnya.

 

Sumber

RUU Terorisme Lambat Gara-Gara Pemerintah Minta Ditunda

RUU Terorisme Lambat Gara-Gara Pemerintah Minta Ditunda

RUU Terorisme Lambat Gara-Gara Pemerintah Minta Ditunda

Keterlambatan Revisi UU (RUU) 15/2003 tentang Tindak Pidana Terorisme bukan salah dari DPR, tapi salah dari pemerintah. Sebab, pemerintah selalu meminta pembahasan itu ditunda.

Begitu kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon menanggapi polemik keterlambatan pengesahan RUU Terorisme yang dialamatkan ke DPR.

“Pihak pemerintah (minta RUU ditunda), bukan dari DPR,” tegas Fadli di Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/4).

Seharusnya, kata Fadli, RUU Terorisme itu dapat disahkan menjadi UU dalam masa sidang lalu. Hanya saja, pemerintah menyampaikan permintaan untuk ditunda.

“Beberapa kali pemerintah melakukan penundaan, dan terakhir pada waktu masa sidang yang lalu juga melakukan penundaan lagi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Fadli meminta semua pihak untuk berhati-hati dalam berpendapat. Apalagi, menyebut DPR sebagai biang keladi dari mandegnya pembahasan RUU Terorisme.

“Sekali lagi saya kira supaya jangan menyebarkan hoax. Termasuk, presiden jangan menyebarkan hoax, kan penundaan bukan dari DPR,” tukasnya

 

Sumber

Terorisme Bukan karena RUU Tapi Kegagalan Pemerintah

Terorisme Bukan karena RUU Tapi Kegagalan Pemerintah

Terorisme Bukan karena RUU Tapi Kegagalan Pemerintah

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menyatakan serangkaian aksi teror yang terjadi belakangan bukan disebabkan molornya pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Terorisme, tapi kegagalan pemerintah menanggulangi terorisme.

“Jadi kalau yang sekarang ini terjadi adalah kegagalan pemerintah di dalam melindungi warganya. Itu yang jelas,” kata Fadli, di Kompleks DPR, Selasa (15/5/2018).

Karena, menurut Fadli, UU Terorisme sudah ada sejak tahun 2003 dan telah memberikan kewenangan kepada kepolisian dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) untuk memberantas terorisme. Termasuk kewenangan untuk melakukan operasi intelijen yang menurutnya belum sepenuhnya dimaksimalkan BIN dan kepolisian.

“Di dalam Polri kan ada intelijen. Ada biaya juga di dalam pemeliharaan keamanan, ketertiban dan sebagainya ada biaya,” kata Fadli.

Seharusnya, kata Fadli, kepolisian memanfaatkan biaya yang menurutnya berjumlah triliunan rupiah tersebut untuk memaksimalkan kerja-kerja intelijen dalam melakukan pencegahan tindak pidana terorisme.

“Dan mereka juga tahu jaringannya ada di mana. Kalau misalkan diketahui kan bisa dilakukan preemptive action kalau ada bukti yang kuat. Kalau misalnya sudah diketahui,” kata Fadli.

Hal yang sama juga disampaikan Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafii. Menurutnya, serangkaian teror yang terjadi tidak bisa sepenuhnya disalahkan kepada lambatnya pembahasan RUU Terorisme, melainkan juga karena kelalaian kepolisian.

Syafii memberi contoh kericuhan di Mako Brimob. Menurutnya, kejadian itu menunjukkan bila polisi belum maksimal dalam membuat sistem keamanan di penjara yang menampung pelaku teror.

“Seharusnya kalau mereka tidak lalai, mereka bisa menguasai keadaan. Karena itu di markas mereka,” kata Syafii saat dihubungi, Selasa (15/5/2018).

Politikus Gerindra ini pun menganggap sikap Kapolri Tito Karnavian yang mendesak Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu ngawur. Sebab, kata dia, sebagai pimpinan kepolisian seharusnya yang bersangkutan tidak memberi masukan yang bisa mengakibatkan saling lempar stigma antara pemerintah dan DPR.

 

Sumber

Fadli Zon Tak Sepakat Terkait WNI, Suriah, dan Teroris

Fadli Zon Tak Sepakat Terkait WNI, Suriah, dan Teroris

Fadli Zon Tak Sepakat Terkait WNI, Suriah, dan Teroris

Wakil Ketua DPR Fadli Zon tidak sepakat jika setiap warga negara Indonesia (WNI) yang pulang dari Suriah langsung dicap sebagai teroris. Sebab kata dia, ada WNI yang pergi ke Suriah untuk menyalurkan bantuan.

“Memangnya orang yang pulang dari Suriah itu langsung jadi teroris? Saya kira enggak bisa kita perlakukan orang secara general,” ujar Fadli Zon di Gedung DPR Senayan Jakarta Selasa (15/5/2018).

Namun dia meminta agar setiap WNI yang pulang ke tanah air dari Suriah diperiksa atau ditanyakan kepentingannya di kawasan Timur Tengah itu. “Harus kasus per kasus, oleh karena itu ada yang namanya intelijen,” ucap politikus partai Gerindra ini.

Kemudian kata dia, ada berbagai macam prosedur untuk menangani persoalan tersebut. “Saya kira enggak bisa serampangan dalam melakukan tindakan itu. Kita juga punya perangkat hukum yang menyangkut masalah HAM,” kata Legislator asal Bogor Jawa Barat ini.

Sehingga kata dia, hak asasi manusia (HAM) harus dikedepankan dalam menangani persoalan ini. “Intel harus jalan juga dong, kalau enggak ngapain kerjanya intel. Misalnya ada laporan sedang merakit bom atau membeli jumlah besar di apotek dan sebagainya, diselidiki diam-diam, itulah tugasnya intelijen,” pungkasnya.

 

Sumber