Hari Buku Nasional, Fadli Zon Ingin Pajak Buku Dipangkas

Hari Buku Nasional, Fadli Zon Ingin Pajak Buku Dipangkas

Hari Buku Nasional, Fadli Zon Ingin Pajak Buku Dipangkas

Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon ingin pajak buku di Indonesia dipangkas. Itu dilakukan karena harga buku yang masih dirasakan mahal dan insentif penulis yang rendah. Dengan semakin terjangkaunya harga buku, dia mengatakan, itu akan menumbuhkan minat baca masyarakat.

“Tahun lalu kita membaca ada seorang penulis best seller yang terpaksa menghentikan peredaran bukunya karena menilai pajak yang harus dibayarkannya sebagai penulis sangat mahal. Ia melakukan aksi itu sebagai bentuk protes. Untuk menggairahkan industri perbukuan, kita perlu meninjau kembali aturan perpajakan,” kata Fadli dalam keterangan tertulis, Kamis (17/5/2018).

Hal itu disampaikan Fadli Zon sebagai catatan atas peringatan Hari Buku Nasional yang jatuh setiap tanggal 17 Mei.

Dia menambahkan salah satu kendala dalam menumbuhkan minat baca masyarakat Indonesia adalah rendahnya daya beli buku. Ketimbang negara India, kata Fadli, harga buku di Indonesia masih relatif mahal.

“Di India, harga buku sangat terjangkau oleh masyarakat kebanyakan. Dengan uang kurang dari Rp 50 ribu, pelajar di India sudah bisa membeli dua eksemplar buku pelajaran. Sementara di Indonesia, buku-buku pelajaran sekolah menengah saja lebih dari Rp 50 ribu, bahkan bisa ratusan ribu rupiah,” jelasnya.

Dia melanjutkan sekitar 65% pasar buku di Indonesia didominasi buku pelajaran, dengan pangsa pasar mencapai 61 juta eksemplar per tahun. Itu terdiri dari 31 juta eksemplar buku SD, 15 juta buku SMP, 9 juta buku SMA, dan 5 juta buku perguruan tinggi. Oleh karena itu ia menilai persoalan harga buku tak boleh dilewatkan.

Dia juga menyayangkan soal hitung-hitungan insentif penulis yang dirasakan masih cukup rendah. Itu karena penulis dibebani PPh royalti 15%, selain juga dikenai PPN sebesar 10%. Penulis biasanya paling besar mendapatkan 10% dari harga buku. Untuk itu dia ingin adanya peninjauan ulang pajak yang selama ini membebani industri buku, termasuk memutus mata rantai monopoli impor kertas.

Fadli juga menyayangkan adanya kebijakan yang dianggapnya kurang tepat seperti memberikan insentif kepada industri hiburan dan barang-barang mewah ketimbang buku.

“Alih-alih memberi insentif bagi dunia perbukuan, pemerintah malah lebih memilih memberikan insentif bagi industri hiburan dan barang-barang mewah, seperti dulu diwakili oleh Peraturan Menteri Keuangan No 158/2015. Pemerintah lebih rela menghapus pajak hiburan, dengan potential loss pajak sekitar Rp 900 miliar, daripada mengurangi pajak buku yang punya multiflier effect strategis,” paparnya.

Padahal menurut Fadli, buku adalah pilar peradaban. Oleh karena itu dia ingin agar kebijakan publik harus mendorong perkembangan buku dan memberikan perlindungan kepada penulis.

“Pemerintah perlu menyadari bahwa buku adalah pilar peradaban. Tak ada peradaban besar yang tidak ditopang oleh buku. Itu sebabnya kebijakan publik kita harus mendukung berkembangnya industri perbukuan dan memberikan perlindungan terhadap para penulis,” pungkasnya.

 

Sumber