Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengatakan, soal utang Cina memang tak bisa dianggap kecil.
Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Cina adalah sebesar US$17,7 miliar, atau setara Rp248,4 triliun dengan kurs Rp14.000.
Dari jumlah tersebut, yang dikelola Pemerintah sebesar Rp 22,8 triliun, sementara sisanya, sebesar Rp 225,6 triliun, dikelola oleh swasta.
Perlu diketahui, dalam pencatatan data utang, utang BUMN kita dicatatkan sebagai utang swasta.
Sekali lagi, kita harus berhati-hati dalam bersinggungan dengan proyek OBOR atau BRI yang digagas RRC.
“Jangan sampai kepentingan nasional kita tergadaikan karena diplomasi dagang dan pertahanan kita didikte oleh kepentingan sejumlah elite,” katanya.
Hal itu disampaikan Fadli Zon saat mengomentari penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) terkait proyek OBOR (One Belt One Road), atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI).
Dirinya mengajak untuk sama-sama menyoroti penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) tersebut.
Penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) itu dilakukan antara sejumlah pebisnis Indonesia dan Cina dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing pada 27 April 2019 silam.
Menurut Fadli, penandatanganan kerjasama yang disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik RI.
“Setidaknya ada tiga alasan kenapa perjanjian-perjanjian itu tak pantas dilakukan dan perlu ditinjau ulang,” tulis Fadli Zon di akun Twitternya.
Pertama, hampir semua yang disebut sektor swasta di Cina pasti berafiliasi dengan BUMN ataupun pemerintah RRC.
“Sehingga, dalih perjanjian yang diteken skemanya “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), dengan sendirinya jadi mentah,” tulis politisi Partai Gerindra ini.
Kedua, proyek itu terkait dengan soal geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi.
Perjanjian semacam itu mestinya mendapatkan supervisi dari Pemerintah dan dikonsultasikan pada DPR, karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya.
Fadli melanjutkan, sesuai Pasal 10 UU No. 24/2000, setiap perjanjian internasional yang menyangkut enam bidang, yaitu (a) politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru, serta (f) pinjaman dan atau hibah luar negeri, semuanya wajib mendapatkan persetujuan parlemen.
Apalagi sesudah ada Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018, seluruh perjanjian internasional harus diinvetarisasi terlebih dulu oleh Pemerintah bersama dengan parlemen untuk kemudian didapatkan kesepakatan bidang mana yang mesti disahkan melalui UU atau Perpres.
Jadi, perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta.
Sebab, ada isu geopolitik, geostrategi dan isu pertahanan keamanan di dalamnya.
Ketiga, saat ini kita sedang berada pada periode transisi kekuasaan dalam siklus lima tahunan.
“Sangat tak pantas hal-hal terkait isu strategis seperti OBOR atau BRI diputuskan di masa akhir kekuasaan semacam ini,” tegasnya.
Keputusan-keputusan itu, selain potensial ceroboh, menurutnya, juga rawan sekali ditunggangi oleh kepentingan pribadi segelintir elite.
“Kita perlu ingat, dunia saat ini sedang berada di tengah ketegangan baru, baik akibat konflik bersenjata antar-negara seperti terjadi di Suriah, Lebanon, Yaman, atau konflik yang bersifat laten sebagaimana masih menghantui Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan, juga akibat konflik ekonomi yang telah melahirkan perang dagang (trade war) serta gelombang baru proteksionisme,” paparnya.
Jika pada masa Perang Dingin konfliknya bersifat bipolar, maka hari ini konfliknya bersifat plural dan multipolar.
Di tengah situasi tersebut, kita butuh strategi diplomasi yang cerdik, bukan diplomasi asal-asalan, apalagi disetir oleh kepentingan segelintir elite.
“Itu sebabnya, meskipun Wakil Presiden dan Menko Kemaritiman berdalih perjanjian-perjanjian itu dilakukan oleh swasta, menurut saya kesepakatan-kesepakatan itu harus ditinjau kembali oleh Pemerintah,” jelasnya.
Diplomasi kita, menurut Fadli Zon, baik diplomasi politik maupun dagang, seharusnya diarahkan untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional, bukan untuk menempatkan negara kita sebagai subordinat dari blok-blok dominan yang sedang bertarung dan berebut pengaruh di tingkat global.
“Mestinya kita memperkuat kerjasama dengan negara-negara Selatan, mendorong terbentuknya blok dagang baru yang berkomitmen terhadap perdamaian, untuk menciptakan politik perimbangan,” tulisnya.
“Kita tentu harus menghormati RRC yang kini telah menjadi negara adidaya baru,” lanjutnya.
Namun, di sisi lain, kita juga harus mewaspadai segala politik ekspansionis yang merugikan kepentingan nasional.
Bagaimanapun, proyek OBOR pertama-tama mewakili kepentingan Cina yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim.
Meskipun kemudian istilah OBOR telah diperhalus menjadi BRI, karena telah memancing reaksi serius di negara-negara Barat, namun tetap saja inisiatif BRI masih dilihat oleh para pengamat Barat sebagai Kuda Troya untuk mengukuhkan dominasi Cina dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka.
“Kita perlu mempertimbangkan semua perspektif mengenai hal ini,” tulisnya.
Apalagi, kita punya pengalaman tak menyenangkan dengan model kerjasama Turnkey Project yang memberi karpet merah bagi pekerja kasar Cina masuk ke Indonesia.
“Menurut saya, ada beberapa alasan kenapa nota-nota kesepahaman itu perlu ditinjau kembali dan diberi supervisi oleh Pemerintah,” ungkap Fadli Zon.
Pertama, meski disebut kerjasama “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), namun kerjasama ini tidaklah gratis.
Proyek-proyek tersebut mensyaratkan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan Cina, juga menggunakan alat-alat, barang-barang serta tenaga kerja dari Cina.
Nilai tambah kerjasama ini hanya menguntungkan Cina.
Kedua, adanya potensi jebakan utang yang kemudian terkonversi jadi penguasaan sumber daya.
Bercermin dari pengalaman Srilanka, atau Djibouti di Afrika Timur, proyek-proyek infrastruktur yang gagal bayar pada akhirnya jatuh ke penguasaan Cina.
“Kita tentu tak ingin kawasan-kawasan strategis atau infrastruktur-infrastruktur strategis yang sedang kita bangun nantinya dikuasai asing,” tegasnya.
Sebagai catatan, selain Srilanka dan Djibouti, saat ini ada delapan negara yang telah terlilit jebakan utang Cina, yaitu Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Kyrgyzstan dan Tajikistan.
Sejauh ini Pakistan adalah korban jebakan utang yang paling parah.
Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai US$62 miliar, atau sekitar Rp900 triliun.
Pemerintah Cina mengambil 80 persen dari seluruh proyek yang sebagian besar berupa proyek pembangkit listrik tersebut.
Penolakan dan koreksi perjanjian dagang dengan Cina juga telah dilakukan pemerintah Malaysia di bawah Mahathir Mohammad.
Mereka berhasil merevisi perjanjian terkait proyek pembangunan jaringan kereta api pantai timur (ECRL) yang dianggap merugikan kepentingan nasional Malaysia yang sebelumnya telah diteken oleh pemerintahan Najib Razak yang korup dan penuh skandal itu.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, proyek kereta api tersebut diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp225 triliun.
Sesudah diancam akan dibatalkan oleh Mahathir, nilai investasi proyek itu bisa dipangkas tinggal Rp151 triliun saja.
Kita berharap Pemerintah juga berani memberikan tekanan serupa kepada Cina, bukannya membiarkan kepentingan kita yang ditekan oleh Cina.
Kita ingat, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya, awalnya kan mereka yang komitmen akan membangun dalam skema B to B.
Belakangan, sesudah proyek tersebut diberikan pada mereka, mereka menuntut pemerintah Indonesia memberikan jaminan keuangan.
“Ini kan tak benar. Jangan sampai hal-hal semacam itu terulang lagi pada kasus dan proyek yang lain,” urainya.
Soal utang Cina memang tak bisa dianggap kecil.
Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Cina adalah sebesar US$17,7 miliar, atau setara Rp248,4 triliun dengan kurs Rp14.000.
Dari jumlah tersebut, yang dikelola Pemerintah sebesar Rp 22,8 triliun, sementara sisanya, sebesar Rp 225,6 triliun, dikelola oleh swasta.
Perlu diketahui, dalam pencatatan data utang, utang BUMN kita dicatatkan sebagai utang swasta.
“Sekali lagi, kita harus berhati-hati dalam bersinggungan dengan proyek OBOR atau BRI yang digagas RRC,” katanya.
“Jangan sampai kepentingan nasional kita tergadaikan karena diplomasi dagang dan pertahanan kita didikte oleh kepentingan sejumlah elite,” pungkasnya.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon keberatan dengan penandatanganan sebanyak 23 Memorandum of Understanding (MoU) terkait proyek OBOR (One Belt One Road), atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI), antara pebisnis Indonesia dengan China pada 27 April 2019 lalu.
Fadli menilai, upaya penandatanganan kerjasama yang disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik RI.
Setidaknya, ada tiga alasan kuat Fadli Zon menolak kontrak perjanjian OBOR dengan RRC. Pertama, ia menilai hampir semua yang disebut sektor swasta di Cina pasti berafiliasi dengan BUMN ataupun pemerintah RRC.
“Sehingga, dalih perjanjian yang diteken skemanya “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), dengan sendirinya jadi mentah,” ujar politikus Gerindra ini, Senin (13/5).
Kedua, proyek itu terkait dengan soal geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi.
Fadli menilai, perjanjian semacam itu mestinya mendapatkan supervisi dari Pemerintah dan dikonsultasikan pada DPR, karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya.
“Ketiga, saat ini kita sedang berada pada periode transisi kekuasaan dalam siklus lima tahunan. Sangat tak pantas hal-hal terkait isu strategis seperti OBOR atau BRI diputuskan di masa akhir kekuasaan semacam ini,” tegasnya.
Lebih tegas, ia mengatakan bahwa keputusan-keputusan itu, selain potensial ceroboh, juga rawan sekali ditunggangi oleh kepentingan pribadi segelintir elite.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon memberikan contoh Pakistan, sebagai negara yang jadi korban jebakan utang China paling parah.
Menurut Fadli Zon, negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai US$62 miliar, atau sekitar Rp900 triliun.
“Pemerintah Cina mengambil 80 persen dari seluruh proyek yang sebagian besar berupa proyek pembangkit listrik tersebut,” tulis Fadli Zon di akun Twitternya.
Hal itu disampaikan Fadli Zon saat mengomentari penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) terkait proyek OBOR (One Belt One Road), atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI).
Dirinya mengajak untuk sama-sama menyoroti penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) tersebut.
Penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) itu dilakukan antara sejumlah pebisnis Indonesia dan Cina dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing pada 27 April 2019 silam.
Menurut Fadli, penandatanganan kerjasama yang disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik RI.
“Setidaknya ada tiga alasan kenapa perjanjian-perjanjian itu tak pantas dilakukan dan perlu ditinjau ulang,” tulis Fadli Zon di akun Twitternya.
Pertama, hampir semua yang disebut sektor swasta di Cina pasti berafiliasi dengan BUMN ataupun pemerintah RRC.
“Sehingga, dalih perjanjian yang diteken skemanya “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), dengan sendirinya jadi mentah,” tulis politisi Partai Gerindra ini.
Kedua, proyek itu terkait dengan soal geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi.
Perjanjian semacam itu mestinya mendapatkan supervisi dari Pemerintah dan dikonsultasikan pada DPR, karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya.
Fadli melanjutkan, sesuai Pasal 10 UU No. 24/2000, setiap perjanjian internasional yang menyangkut enam bidang, yaitu (a) politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru, serta (f) pinjaman dan atau hibah luar negeri, semuanya wajib mendapatkan persetujuan parlemen.
Apalagi sesudah ada Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018, seluruh perjanjian internasional harus diinvetarisasi terlebih dulu oleh Pemerintah bersama dengan parlemen untuk kemudian didapatkan kesepakatan bidang mana yang mesti disahkan melalui UU atau Perpres.
Jadi, perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta.
Sebab, ada isu geopolitik, geostrategi dan isu pertahanan keamanan di dalamnya.
Ketiga, saat ini kita sedang berada pada periode transisi kekuasaan dalam siklus lima tahunan.
“Sangat tak pantas hal-hal terkait isu strategis seperti OBOR atau BRI diputuskan di masa akhir kekuasaan semacam ini,” tegasnya.
Keputusan-keputusan itu, selain potensial ceroboh, menurutnya, juga rawan sekali ditunggangi oleh kepentingan pribadi segelintir elite.
“Kita perlu ingat, dunia saat ini sedang berada di tengah ketegangan baru, baik akibat konflik bersenjata antar-negara seperti terjadi di Suriah, Lebanon, Yaman, atau konflik yang bersifat laten sebagaimana masih menghantui Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan, juga akibat konflik ekonomi yang telah melahirkan perang dagang (trade war) serta gelombang baru proteksionisme,” paparnya.
Jika pada masa Perang Dingin konfliknya bersifat bipolar, maka hari ini konfliknya bersifat plural dan multipolar.
Di tengah situasi tersebut, kita butuh strategi diplomasi yang cerdik, bukan diplomasi asal-asalan, apalagi disetir oleh kepentingan segelintir elite.
“Itu sebabnya, meskipun Wakil Presiden dan Menko Kemaritiman berdalih perjanjian-perjanjian itu dilakukan oleh swasta, menurut saya kesepakatan-kesepakatan itu harus ditinjau kembali oleh Pemerintah,” jelasnya.
Diplomasi kita, menurut Fadli Zon, baik diplomasi politik maupun dagang, seharusnya diarahkan untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional, bukan untuk menempatkan negara kita sebagai subordinat dari blok-blok dominan yang sedang bertarung dan berebut pengaruh di tingkat global.
“Mestinya kita memperkuat kerjasama dengan negara-negara Selatan, mendorong terbentuknya blok dagang baru yang berkomitmen terhadap perdamaian, untuk menciptakan politik perimbangan,” tulisnya.
“Kita tentu harus menghormati RRC yang kini telah menjadi negara adidaya baru,” lanjutnya.
Namun, di sisi lain, kita juga harus mewaspadai segala politik ekspansionis yang merugikan kepentingan nasional.
Bagaimanapun, proyek OBOR pertama-tama mewakili kepentingan Cina yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim.
Meskipun kemudian istilah OBOR telah diperhalus menjadi BRI, karena telah memancing reaksi serius di negara-negara Barat, namun tetap saja inisiatif BRI masih dilihat oleh para pengamat Barat sebagai Kuda Troya untuk mengukuhkan dominasi Cina dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka.
“Kita perlu mempertimbangkan semua perspektif mengenai hal ini,” tulisnya.
Apalagi, kita punya pengalaman tak menyenangkan dengan model kerjasama Turnkey Project yang memberi karpet merah bagi pekerja kasar Cina masuk ke Indonesia.
“Menurut saya, ada beberapa alasan kenapa nota-nota kesepahaman itu perlu ditinjau kembali dan diberi supervisi oleh Pemerintah,” ungkap Fadli Zon.
Pertama, meski disebut kerjasama “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), namun kerjasama ini tidaklah gratis.
Proyek-proyek tersebut mensyaratkan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan Cina, juga menggunakan alat-alat, barang-barang serta tenaga kerja dari Cina.
Nilai tambah kerjasama ini hanya menguntungkan Cina.
Kedua, adanya potensi jebakan utang yang kemudian terkonversi jadi penguasaan sumber daya.
Bercermin dari pengalaman Srilanka, atau Djibouti di Afrika Timur, proyek-proyek infrastruktur yang gagal bayar pada akhirnya jatuh ke penguasaan Cina.
“Kita tentu tak ingin kawasan-kawasan strategis atau infrastruktur-infrastruktur strategis yang sedang kita bangun nantinya dikuasai asing,” tegasnya.
Sebagai catatan, selain Srilanka dan Djibouti, saat ini ada delapan negara yang telah terlilit jebakan utang Cina, yaitu Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Kyrgyzstan dan Tajikistan.
Sejauh ini Pakistan adalah korban jebakan utang yang paling parah.
Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai US$62 miliar, atau sekitar Rp900 triliun.
Pemerintah Cina mengambil 80 persen dari seluruh proyek yang sebagian besar berupa proyek pembangkit listrik tersebut.
Penolakan dan koreksi perjanjian dagang dengan Cina juga telah dilakukan pemerintah Malaysia di bawah Mahathir Mohammad.
Mereka berhasil merevisi perjanjian terkait proyek pembangunan jaringan kereta api pantai timur (ECRL) yang dianggap merugikan kepentingan nasional Malaysia yang sebelumnya telah diteken oleh pemerintahan Najib Razak yang korup dan penuh skandal itu.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, proyek kereta api tersebut diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp225 triliun.
Sesudah diancam akan dibatalkan oleh Mahathir, nilai investasi proyek itu bisa dipangkas tinggal Rp151 triliun saja.
Kita berharap Pemerintah juga berani memberikan tekanan serupa kepada Cina, bukannya membiarkan kepentingan kita yang ditekan oleh Cina.
Kita ingat, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya, awalnya kan mereka yang komitmen akan membangun dalam skema B to B.
Belakangan, sesudah proyek tersebut diberikan pada mereka, mereka menuntut pemerintah Indonesia memberikan jaminan keuangan.
“Ini kan tak benar. Jangan sampai hal-hal semacam itu terulang lagi pada kasus dan proyek yang lain,” urainya.
Soal utang Cina memang tak bisa dianggap kecil.
Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Cina adalah sebesar US$17,7 miliar, atau setara Rp248,4 triliun dengan kurs Rp14.000.
Dari jumlah tersebut, yang dikelola Pemerintah sebesar Rp22,8 triliun, sementara sisanya, sebesar Rp225,6 triliun, dikelola oleh swasta.
Perlu diketahui, dalam pencatatan data utang, utang BUMN kita dicatatkan sebagai utang swasta.
Sekali lagi, kita harus berhati-hati dalam bersinggungan dengan proyek OBOR atau BRI yang digagas RRC.
“Jangan sampai kepentingan nasional kita tergadaikan karena diplomasi dagang dan pertahanan kita didikte oleh kepentingan sejumlah elite,” pungkasnya.
Penandatanganan kerjasama yang disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik RI.
Setidaknya ada tiga alasan kenapa perjanjian-perjanjian itu tak pantas dilakukan dan perlu ditinjau ulang.
Pertama, hampir semua yang disebut sektor swasta di Cina pasti berafiliasi dengan BUMN ataupun pemerintah RRC.
Sehingga, dalih perjanjian yang diteken skemanya “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), dengan sendirinya jadi mentah.
Kedua, proyek itu terkait dengan soal geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi. Perjanjian semacam itu mestinya mendapatkan supervisi dari Pemerintah dan dikonsultasikan pada DPR, karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya.
Sesuai Pasal 10 UU No. 24/2000, setiap perjanjian internasional yang menyangkut enam bidang, yaitu (a) politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru, serta (f) pinjaman dan atau hibah luar negeri, semuanya wajib mendapatkan persetujuan parlemen.
Apalagi sesudah ada Putusan MK No. 13/PUU-XVI/2018, seluruh perjanjian internasional harus diinvetarisasi terlebih dulu oleh Pemerintah bersama dengan parlemen untuk kemudian didapatkan kesepakatan bidang mana yang mesti disahkan melalui UU atau Perpres.
Jadi, perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta.
Sebab, ada isu geopolitik, geostrategi dan isu pertahanan keamanan di dalamnya.
Ketiga, saat ini, kita sedang berada pada periode transisi kekuasaan dalam siklus lima tahunan.
Sangat tak pantas hal-hal terkait isu strategis seperti OBOR atau BRI diputuskan di masa akhir kekuasaan semacam ini.
Keputusan-keputusan itu, selain potensial ceroboh, juga rawan sekali ditunggangi oleh kepentingan pribadi segelintir elite.
Kita perlu ingat, dunia saat ini sedang berada di tengah ketegangan baru, baik akibat konflik bersenjata antar-negara seperti terjadi di Suriah, Lebanon, Yaman, atau konflik yang bersifat laten sebagaimana masih menghantui Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan, juga akibat konflik ekonomi yang telah melahirkan perang dagang (trade war) serta gelombang baru proteksionisme.
Jika pada masa Perang Dingin konfliknya bersifat bipolar, maka hari ini konfliknya bersifat plural dan multipolar.
Di tengah situasi tersebut, kita butuh strategi diplomasi yang cerdik, bukan diplomasi asal-asalan, apalagi disetir oleh kepentingan segelintir elite.
Itu sebabnya, meskipun Wakil Presiden dan Menko Kemaritiman berdalih perjanjian-perjanjian itu dilakukan oleh swasta, menurut saya, kesepakatan-kesepakatan itu harus ditinjau kembali oleh Pemerintah.
Diplomasi kita, baik diplomasi politik maupun dagang, seharusnya diarahkan untuk memerkuat posisi Indonesia di panggung internasional, bukan untuk menempatkan negara kita sebagai subordinat dari blok-blok dominan yang sedang bertarung dan berebut pengaruh di tingkat global.
Apalagi, kita negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, yang potensial menjadi arena konflik yang rumit.
Diplomasi dagang kita mestinya mempertimbangkan soal pertahanan dan keamanan.
Mestinya kita memperkuat kerjasama dengan negara-negara Selatan, mendorong terbentuknya blok dagang baru yang berkomitmen terhadap perdamaian, untuk menciptakan politik perimbangan.
Kita tentu harus menghormati RRC yang kini telah menjadi negara adidaya baru. Namun, di sisi lain, kita juga harus mewaspadai segala politik ekspansionis yang merugikan kepentingan nasional.
Bagaimanapun, proyek OBOR pertama-tama mewakili kepentingan Cina yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim.
Meskipun kemudian, istilah OBOR telah diperhalus menjadi BRI, karena telah memancing reaksi serius di negara-negara Barat, namun tetap saja inisiatif BRI masih dilihat oleh para pengamat Barat sebagai Kuda Troya untuk mengukuhkan dominasi Cina dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka.
Kita perlu mempertimbangkan semua perspektif mengenai hal ini.
Apalagi, kita punya pengalaman tak menyenangkan dengan model kerjasama Turnkey Project yang memberi karpet merah bagi pekerja kasar Cina masuk ke Indonesia.
Menurut saya, ada beberapa alasan kenapa nota-nota kesepahaman itu perlu ditinjau kembali dan diberi supervisi oleh Pemerintah.
Pertama, meski disebut kerja sama “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), namun kerjasama ini tidaklah gratis.
Proyek-proyek tersebut mensyaratkan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan Cina, juga menggunakan alat-alat, barang-barang serta tenaga kerja dari Cina.
Nilai tambah kerjasama ini hanya menguntungkan Cina.
Kedua, adanya potensi jebakan utang yang kemudian terkonversi jadi penguasaan sumber daya.
Bercermin dari pengalaman Srilanka, atau Djibouti di Afrika Timur, proyek-proyek infrastruktur yang gagal bayar pada akhirnya jatuh ke penguasaan Cina.
Kita tentu tak ingin kawasan-kawasan strategis atau infrastruktur-infrastruktur strategis yang sedang kita bangun nantinya dikuasai asing.
Sebagai catatan, selain Srilanka dan Djibouti, saat ini ada delapan negara yang telah terlilit jebakan utang Cina, yaitu Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Kyrgyzstan dan Tajikistan.
Sejauh ini, Pakistan adalah korban jebakan utang yang paling parah.
Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai US$ 62 miliar, atau sekitar Rp 900 triliun.
Pemerintah Cina mengambil 80 persen dari seluruh proyek yang sebagian besar berupa proyek pembangkit listrik tersebut.
Penolakan dan koreksi perjanjian dagang dengan Cina juga telah dilakukan pemerintah Malaysia di bawah Mahathir Mohammad.
Mereka berhasil merevisi perjanjian terkait proyek pembangunan jaringan kereta api pantai timur (ECRL) yang dianggap merugikan kepentingan nasional Malaysia yang sebelumnya telah diteken oleh pemerintahan Najib Razak yang korup dan penuh skandal itu.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, proyek kereta api tersebut diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp225 triliun.
Sesudah diancam akan dibatalkan oleh Mahathir, nilai investasi proyek itu bisa dipangkas tinggal Rp151 triliun saja.
Kita berharap Pemerintah juga berani memberikan tekanan serupa kepada Cina, bukannya membiarkan kepentingan kita yang ditekan oleh Cina.
Kita ingat, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya, awalnya kan mereka yang komitmen akan membangun dalam skema B to B.
Belakangan, sesudah proyek tersebut diberikan pada mereka, mereka menuntut pemerintah Indonesia memberikan jaminan keuangan. Ini kan tak benar.
Jangan sampai hal-hal semacam itu terulang lagi pada kasus dan proyek yang lain.
Soal utang Cina memang tak bisa dianggap kecil. Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Cina adalah sebesar US$ 17,7 miliar, atau setara Rp 248,4 triliun dengan kurs Rp14.000.
Dari jumlah tersebut, yang dikelola Pemerintah sebesar Rp 22,8 triliun, sementara sisanya, sebesar Rp 225,6 triliun, dikelola oleh swasta.
Perlu diketahui, dalam pencatatan data utang, utang BUMN kita dicatatkan sebagai utang swasta.
Sekali lagi, kita harus berhati-hati dalam bersinggungan dengan proyek OBOR atau BRI yang digagas RRC.
Jangan sampai kepentingan nasional kita tergadaikan karena diplomasi dagang dan pertahanan kita didikte oleh kepentingan sejumlah elite.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon baru saja mengunjungi staffnya, Nisa Rengganis, yang mengalami kecelakaan pada Minggu 28 April 2019 lalu. Saat ini Nisa kondisi membaik dan tinggal perawatan.
Kepada pojokjabar.com, Fadli Zon mengaku dirinya kaget dan mendapat kabar tersebut dari pesan WhatsApp bahwa staffnya alami kecelakaan. Kecelakaan tersebut di Jalan Jendral Sudirman, Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon.
“Saya membaca ketika kecelakaan itu pada hari H lihat mobil dan sebagainya itu rusak. Alhamdulillah yang paling penting kan selamat. Meskipun ada patah-patah akhirnya bisa pulih dan bisa sembuh total. Saya tentu ikut mendoakan sejak dua minggu yang lalu,” kata Fadli, saat ditemui di kediaman Nisa di Perum Waterland, Penggung, Kota Cirebon, Selasa (13/5/2019).
Anggota Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandi tersebut menjelaskan, musibah merupakan ujian bagi setiap orang. Karena itu musibah terdapat hikmah dan perlu diambil menjadi pelajaran.
“Jadi mudah-mudahan bisa sembuh. Bisa beraktivitas lagi. Bagaimanapun di balik musibah itu pasti ada hikmah yang besar, dan saya yakin baik Nisa maupun suaminya bisa pulih kembali,” pungkas Waketum Partai Gerindra ini.
Sebelumnya, Nisa Rengganis pada Minggu 28/4/2019 mengalami kecelakaan di Jalan Jendral Sudirman, Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, sekitar pukul 14.00 WIB. Mobil dinaikinya dengan nopol E 1174 CI bagian depan ringsek karena beradu dengan mobil truk nopol E 9215 HD.
Penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman terkait proyek One Belt One Road (OBOR) atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI), antara sejumlah pebisnis Indonesia dan China dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing pada 27 April 2019 silam dinilai harus soroti bersama.
Penandatanganan kerja sama yang disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.
“Setidaknya ada tiga alasan kenapa perjanjian-perjanjian itu tak pantas dilakukan dan perlu ditinjau ulang. Pertama, hampir semua yang disebut sektor swasta di China pasti berafiliasi dengan BUMN ataupun Pemerintah RRC. Sehingga, dalih perjanjian yang diteken skemanya “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), dengan sendirinya jadi mentah,” kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/5/2019).
Kedua, proyek itu terkait dengan geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi. Perjanjian semacam itu, kata Fadli, mestinya mendapatkan supervisi dari pemerintah dan dikonsultasikan kepada DPR karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menjelaskan, sesuai Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000, setiap perjanjian internasional yang menyangkut enam bidang, yaitu politik, (a) perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru, serta (f) pinjaman dan atau hibah luar negeri, semuanya wajib mendapatkan persetujuan parlemen.
Apalagi sesudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13/PUU-XVI/2018, seluruh perjanjian internasional harus diinvetarisasi terlebih dulu oleh Pemerintah bersama dengan parlemen untuk kemudian didapatkan kesepakatan bidang mana yang mesti disahkan melalui UU atau Perpres.
“Jadi perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta. Sebab, ada isu geopolitik, geostrategi dan isu pertahanan keamanan di dalamnya,” tandas Fadli.
Ketiga, saat ini Indonesia sedang berada pada periode transisi kekuasaan dalam siklus lima tahunan. Menurut Fadi, Sangat tidak pantas hal-hal terkait isu strategis seperti OBOR atau BRI diputuskan di masa akhir kekuasaan semacam ini. Keputusan-keputusan itu selain potensial ceroboh dinilainya juga rawan sekali ditunggangi oleh kepentingan pribadi segelintir elite.
“Kita perlu ingat, dunia saat ini sedang berada di tengah ketegangan baru, baik akibat konflik bersenjata antar-negara seperti terjadi di Suriah, Lebanon, Yaman, atau konflik yang bersifat laten sebagaimana masih menghantui Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan, juga akibat konflik ekonomi yang telah melahirkan perang dagang (trade war) serta gelombang baru proteksionisme. Jika pada masa Perang Dingin konfliknya bersifat bipolar, maka hari ini konfliknya bersifat plural dan multipolar,” tutur Fadli.
Menurut dia, di tengah situasi tersebut, Indonesia butuh strategi diplomasi yang cerdik, bukan diplomasi asal-asalan, apalagi disetir oleh kepentingan segelintir elite. “Itu sebabnya meskipun Wakil Presiden dan Menko Kemaritiman berdalih perjanjian-perjanjian itu dilakukan oleh swasta, menurut saya kesepakatan-kesepakatan itu harus ditinjau kembali oleh pemerintah,” tandasnya.
Dia mengatakan, diplomasi Indonesia, baik diplomasi politik maupun dagang seharusnya diarahkan untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional, bukan untuk menempatkan negara kita sebagai subordinat dari blok-blok dominan yang sedang bertarung dan berebut pengaruh di tingkat global.
Apalagi, kata dia, Indonesia negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan yang potensial menjadi arena konflik yang rumit. Diplomasi dagang Indonesia mestinya mempertimbangkan soal pertahanan dan keamanan.
“Mestinya kita memperkuat kerjasama dengan negara-negara Selatan, mendorong terbentuknya blok dagang baru yang berkomitmen terhadap perdamaian, untuk menciptakan politik perimbangan. Kita tentu harus menghormati RRC yang kini telah menjadi negara adidaya baru. Namun, di sisi lain, kita juga harus mewaspadai segala politik ekspansionis yang merugikan kepentingan nasional,” tuturnya.
Bagaimanapun, kata dia, proyek OBOR pertama-tama mewakili kepentingan China yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim. Meskipun kemudian istilah OBOR telah diperhalus menjadi BRI, karena telah memancing reaksi serius di negara-negara Barat, namun tetap saja inisiatif BRI masih dilihat oleh para pengamat Barat sebagai kuda troya untuk mengukuhkan dominasi China dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka.
Menurut Fadli, Indonesia perlu mempertimbangkan semua perspektif mengenai hal ini. Apalagi, Indonesia memiliki pengalaman tak menyenangkan dengan model kerjasama Turnkey Project yang memberi karpet merah bagi pekerja kasar China masuk ke Indonesia.
Dia menegaskan ada beberapa alasan kenapa nota-nota kesepahaman itu perlu ditinjau kembali dan diberi supervisi oleh Pemerintah. Pertama, meski disebut kerja sama “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), namun kerja sama ini tidaklah gratis.
Proyek-proyek tersebut, kata dia, mensyaratkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan Cina, juga menggunakan alat-alat, barang-barang serta tenaga kerja dari China. “Nilai tambah kerja sama ini hanya menguntungkan China,” ujarnya.
Kedua, kata dia, adanya potensi jebakan utang yang kemudian terkonversi jadi penguasaan sumber daya. Bercermin dari pengalaman Srilanka, atau Djibouti di Afrika Timur, proyek-proyek infrastruktur yang gagal bayar pada akhirnya jatuh ke penguasaan China.
“Kita tentu tak ingin kawasan-kawasan strategis atau infrastruktur-infrastruktur strategis yang sedang kita bangun nantinya dikuasai asing,” katanya.
Sebagai catatan, kata Fadli, selain Srilanka dan Djibouti, saat ini ada delapan negara yang telah terlilit jebakan utang China, yaitu Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Kyrgyzstan dan Tajikistan. Sejauh ini Pakistan adalah korban jebakan utang yang paling parah. Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai USD62 miliar, atau sekitar Rp900 triliun. Pemerintah Cina mengambil 80% dari seluruh proyek yang sebagian besar berupa proyek pembangkit listrik tersebut.
Fadli memaparkan, penolakan dan koreksi perjanjian dagang dengan China juga telah dilakukan pemerintah Malaysia di bawah Mahathir Mohammad. Mereka berhasil merevisi perjanjian terkait proyek pembangunan jaringan kereta api pantai timur (ECRL) yang dianggap merugikan kepentingan nasional Malaysia yang sebelumnya telah diteken oleh pemerintahan Najib Razak yang korup dan penuh skandal itu.
Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, proyek kereta api tersebut diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp225 triliun. Sesudah diancam akan dibatalkan oleh Mahathir, nilai investasi proyek itu bisa dipangkas tinggal Rp151 triliun saja. Kita berharap Pemerintah juga berani memberikan tekanan serupa kepada Cina, bukannya membiarkan kepentingan kita yang ditekan oleh Cina.
“Kita ingat, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya, awalnya mereka yang komitmen akan membangun dalam skema B to B. Belakangan, sesudah proyek tersebut diberikan pada mereka, mereka menuntut pemerintah Indonesia memberikan jaminan keuangan. Ini kan tak benar. Jangan sampai hal-hal semacam itu terulang lagi pada kasus dan proyek yang lain,” tuturnya.
Menurut Fadli, soal utang China tak bisa dianggap kecil. Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Cina adalah sebesar US$17,7 miliar, atau setara Rp248,4 triliun dengan kurs Rp14.000.
Dari jumlah tersebut, yang dikelola pemerintah sebesar Rp22,8 triliun, sementara sisanya sebesar Rp225,6 triliun dikelola oleh swasta. Perlu diketahui dalam pencatatan data utang, utang BUMN dicatatkan sebagai utang swasta.
“Kita harus berhati-hati dalam bersinggungan dengan proyek OBOR atau BRI yang digagas RRC. Jangan sampai kepentingan nasional kita tergadaikan karena diplomasi dagang dan pertahanan kita didikte oleh kepentingan sejumlah elite,” katanya.
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menyoroti 23 penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MOU) antara pengusaha Indonesia dan China. Kesepakatan yang terjadi saat acara One Belt One Road (OBOR) atau belakangan dikenal Belt Road Initiative (BRI), dinilai berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik negara.
Ia memaparkan, kerja sama yang melibatkan swasta atau BUMN dari Negara Tirai Bambu itu berdalih menggunakan skema business to business.
“Kedua, proyek itu terkait dengan soal geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi. Perjanjian semacam itu mestinya mendapatkan supervisi dari pemerintah, dan dikonsultasikan pada DPR, karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya,” kata Fadli dalam pesan tertulisnya, Senin 13 Mei 2019.
Fahri yang juga politikus Partai Gerindra, merujuk pada Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Di mana, pada Pasal 10 secara khusus mengamanatkan, pengesahan perjanjian internasional terkait masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara termasuk pinjaman, serta hibah luar negeri perlu dikonsultasikan ke parlemen.
“Jadi, perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta. Sebab, ada isu geopolitik, geostrategis, dan isu pertahanan keamanan di dalamnya,” tuturnya.
Fadli memahami, saat ini Republik Rakyat Tiongkok kini menjadi negara adidaya baru. Namun, di sisi lain, ia juga mewanti-wanti, proyek tersebut dapat mewakili China yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim.
“Inisiatif BRI (OBOR) masih dilihat oleh para pengamat Barat sebagai Kuda Troya untuk mengukuhkan dominasi China dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka. Kita perlu mempertimbangkan semua perspektif mengenai hal ini,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menghadiri acara buka puasa bersama Dewan Pengurus Pusat Ikatan Keluarga Minang (IKM). Acara buka bersama tersebut dilangsungkan di Mall City Plaza Jatinegara, Jakarta Timur.
Fadli Zon yang juga merupakan Ketua Umum DPP IKM sudah tiba dilokasi sejak pukul 17.00 WIB. Dalam kesempatan tersebut Fadli Zon turut memeriahkan acara buka bersama dengan menyumbang satu buah lagu Minang berjudul Pulanglah Uda.
Aksi Fadli Zon tersebut menarik perhatian peserta dan pengunjung yang hadir. Mereka seakan-akan tak ingin menyia-nyiakan moment tersebut segera mengabadikannya melalui ponsel genggam.
Boy salah satu panitia acara mengatakan acara buka bersama itu sendiri sudah digelar IKM sejak Jumat (10/5) lalu. Adapun hari ini menurutnya merupakan hari terkahir.
Dari pantauan Suara.com di lokasi berjajar tenda-tenda yang menjajakan sejumlah makanan khas tanah Minang. Mulai dari soto Padang, sate Padang, hingga nasi goreng rendang.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Fadli Zon menyoroti soal dicabutnya surat pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen.
Padahal sebelumnya, dari Ditjen Imigrasi memberikan surat pencegahan serupa kepada Kivlan.
Fadli Zon menyebut apa yang menimpa Kivlan Zen bukti bahwa rezim bertindak sewenang-wenang kepada para tokoh negara.
Apalagi tak hanya Kivlan Zen, sejumlah tokoh seperti Eggi Sudjana dan Ustaz Bachtiar Nasir.
“Jelas ini menunjukkan bahwa ada kepanikan dan itu makin terlihat bahwa hukum ini berpihak pada kekuasaan, seolah-olah hukum itu hanya milik mereka yang dekat dengan kekuasaan atau milik penguasa. Itu artinya ada ketidakadilan dan ketidakadilan harus dilawan,” ujarnya di RS Pelni, Jakarta Barat, Sabtu (11/5/2019).
Fadli Zon meminta kepada siapa pun untuk tidak mengkriminalisasi tokoh-tokoh yang berorasi soal kecurangan Pemilu, apalagi dengan tudingan merencanakan makar.
“Jelas ini bukan makar. Orang mau melakukan protes kok atas kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam proses pemilu itu wajar-wajar saja, tak ada yg inkonstitusional di situ,” kata Fadli Zon.
Dia juga menegaskan kepada aparat untuk tidak merespons secara berlebihan kepada para tokoh yang mengemukakan kecurangan dalam Pemilu.
“Itu bakal menimbulkan antipati dari masyarakat sendiri dan masyarakat tidak takut untuk diperlakukan begitu,” tutur Fadli Zon.
Kivlan Zen yang tersangkut kasus dugaan makar dipastikan dicegah ke luar negeri.
Surat permohonan cegah yang dilayangkan Mabes Polri telah dikabulkan oleh Ditjen Imigrasi. Dengan dikabulkannya surat tersebut, Kivlan tidak bisa ke luar negeri.
“Kami sudah kirimkan surat cekal itu ke Imigrasi. Agar yang bersangkutan dicegah untuk bepergian ke luar negeri. Dan permohonan cekal itu sudah dilakukan Imigrasi,” ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Asep Adi Saputra, saat dikonfirmasi, Jumat (10/5/2019).
Surat tersebut dilayangkan oleh penyidik Bareskrim Polri sesaat sebelum Kivlan hendak pergi ke Brunei Darussalam.
Pemberian surat dilakukan di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.
“Dicegah keluar negeri. Beliau mau ke Brunei lewat Batam, sudah melalui imigrasi, sudah disampaikan ya,” ungkap Asep.
Seperti diketahui, laporan atas Kivlan terdaftar dengan nomor LP/B/0442/V/2019/Bareskrim.
Perkara yang dilaporkan adalah tindak pidana penyebaran berita bohong (hoax) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 14 dan/atau Pasal 15 terhadap keamanan negara/makar UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 107 juncto Pasal 87 dan/atau Pasal 163 bis juncto Pasal 107.
Ketika dikonfirmasi, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Asep Adi Saputra membantah kabar penangkapan tersebut.
Asep mengatakan pihaknya hanya memberi surat panggilan kepada Kivlan Zein melalui penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri.
Ia menjelaskan surat itu diberikan kepada Kivlan Zein di Bandara Soekarno Hatta saat yang bersangkutan hendak menuju ke Batam.
“Kivlan Zein diberikan surat panggilan oleh Penyidik Ditipidum Bareskrim Mabes Polri di Bandara Soetta ketika hendak ke Batam,” ujar Asep, ketika dikonfirmasi, Jumat (10/5/2019).
Mantan Kapolres Bekasi Kabupaten itu mengatakan posisi Kivlan kini telah berada di Batam.
“Kivlan Zein sudah berada di Batam,” imbuhnya.
Pencegahan terhadap Kivlan Zen agar untuk berpergian keluar negeri telah dicabut oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM atas permintaan pihak kepolisian.
Kasubag Humas Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Sam Fernando mengatakan surat permohonan pencabutan telah dilayangkan ke pihaknya sejak pukul 03:00 WIB dini hari tadi.
“Tadi pagi jam 3 pagi dikeluarin surat cekalnya dicabut. Sudah diterima oleh imigrasi dan dicabut imigrasi,” ungkap Sam saat dikonfirmasi, Sabtu (11/5/2019).
Dicabutnya pencegahan tersebut, membuat Kivlan dapat bepergian ke luar negeri. Saat ini Kivlan sedang berada di Batam, Kepulauan Riau.
“Boleh, sudah boleh ke luar negeri,” tutur Sam.
Pengacara Kivlan Zen Salahkan Ditjen Imigrasi
Kuasa Hukum Kivlan Zen, Pitra Romadoni menanggapi pencabutan status cegah ke luar negeri oleh Direktorat Jenderal Imingrasi Kementeriam Hukum dan HAM terhadap kliennya.
Pitra berbalik menyalahkan Ditjen Imigrasi yang dinilainya mengambil langkah terburu-buru dengan mengeluarkan pencegahan untuk Kivlan. Dirinya menilai pencegahan tersebut merugikan kliennya.
“Makanya saya bilang pada Ditjen Imigrasi, saudaraku sahabat-sahabat ku tanpa mengurangi rasa hormat, jangan terburu-buru mengambil keputusan. Soalnya tindakan yang saudara lakukan tersebut menyebabkan kerugian bagi saudara Mayjen Kivlan Zen,” ujar Pitra di Bareskrim Polri, Jln Trunojoyo, Jakarta, Sabtu (11/5/2019).
Menurutnya, pencegahan tersebut baru bisa diberikan jika kliennya sudah dinyatakan sebagai tersangka.
Dirinya meminta Ditjen Imigrasi untuk tidak berlaku semena-mena terhadap pihak yang tidak berkuasa.
“Ditjen Imigrasi agar berhati-hati lah. Jangan semena-mena terhadap orang yang tidak berkuasa karena kekuasaan itu hanya sementara,” tutur Pitra.
Selain itu, Pitra Romadoni mengatakan kliennya merasa kecewa atas sikap polisi terhadapnya di Bandara Soekarno-Hatta pada Jumat, (10/5/2019) malam.
Dirinya meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mendengar keluhan dari kliennya.
“Klien saya mengeluh dan keberatan. Ini harus saya sampaikan walaupun ini pahit didengar Pak Kapolri dan kepolisian, bahwasanya Kivlan Zen merasa keberatan dan kecewa akibat oknum kepolisian yang datang menjumpai beliau, bahkan Kivlan menyatakan dikejar-dikejar layaknya seorang penjahat,” ujar Pitra di Bareskrim Polri, Jln Trunojoyo, Jakarta Selatan, Sabtu (11/5/2019).
Menurut Pitra, tindakan yang dilakukan oleh oknum kepolisian tidak mencerminkan profesionalitas dari anggota Polri.
Lebih jauh, Pitra mengungkapkan bahwa kliennya merasa tertekan karena dibuntuti oleh pihak kepolisian.
“Yang jelas dia merasa saat ini tidak aman. Ataupun dia merasa tertekan tidak nyaman dengan tindakan itu,” pungkas Pitra.
Kivlan Zen bakal memenuhi panggilan pemeriksaan Bareskrim Polri terkait kasus dugaan makar pada Senin, (13/5/2019).
Kuasa hukum Kivlan, Pitra Romadoni, mengatakan kliennya akan mengklarifikasi tuduhan makar yang ditujukan terhadap dirinya.
“Insyaallah, beliau akan klarifikasi terkait tuduhan makar yang ditujukan kepadanya pada Senin, 13 Mei 2019 di Mabes Polri pukul 10.00 WIB,” ujar Pitra saat dikonfirmasi, Sabtu (11/5/2019).
Pitra mengatakan pihaknya bakal membawa sejumlah bukti untuk menyangkal tuduhan makar terhadap Kivlan. Pemeriksaan bakal dilakukan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri itu.
“Nanti kita bawa bukti video dan surat-surat,” ujar Pitra.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mendampingi salah satu keluarga dari seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Rumah Sakit Pelni, Palmerah, Jakarta Barat.
Pantauan Liputan6.com, Fadli bersama keluarga almarhun Umar Madi, yakni istri dan putrinya tiba di RS Pelni pukul 14.25 WIB. Rombongan langsung dipertemukan dengan salah satu petinggi rumah sakit.
Pertemuan dan diskusi antara kedua belah pihak berlangsung kurang lebih 2 jam. Sebab, perwakilan keluarga meminta penjelasan kronologi kejadian kematian Umar.
“Saya mendapatkan pengaduan dari ibu Evi dan keluarga atas kematian bapak Umar Madi yang kebetulan juga wakil KPPS dari TPS 68 Sukabumi Selatan, Kebon Jeruk,” kata Fadli di RS Pelni, Sabtu (11/5/2019).
Fadli menjelaskan, dari cerita Ketua KPPS TPS 68, persiapan sebelum pelaksanaan Pemilu sangat melelahkan. Bahkan beberapa hari sebelum dan sesudahnya, petugas KPPS tidak tidur.
Dia menyebut, Umar mulai masuk rumah sakit pada 24 April 2019. Dan keluarga merasa tidak mendapatkan pelayanan yang cepat.
“Waktu itu dianggap oleh Ibu Evi pelayanannya cukup lambat dalam respons ketika ayahanda kritis. Dan tadi dijelaskkan oleh kepala rumah sakit dan direktur RS Pelni tentang kronologi peristiwa,” ucapnya.
Meskipun belum mendapatkan penjelasan resmi, Fadli menyebut dalam pertemuan selanjutnya akan dijelaskan secara terperinci.
“Ini termasuk bagian dari evaluasi rumah sakit bagaimana ada karyawan pegawai atau respons rumah sakit yang cukup lambat dalam menanggulangi hal-hal yang kritis,” jelasnya.
Hingga 4 Mei 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu mencatat, jumlah petugas KPPS yang meninggal sebanyak 440 orang.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyoroti soal banyaknya korban jiwa pada Pemilu Serentak 2019.
Korban jiwa yang dimaksud Titi adalah para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
“Jadi memang tahun ini, kalau saya bandingkan dengan 2004, 2009, dan 2014, 2019 adalah peristiwa di mana korban jiwa itu paling banyak,” ungkap Titi di kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Minggu, 21 April 2019.
Titi meminta pemerintah segera mengevaluasi Pemilu 2019. Menurut dia, kasus meninggalnya petugas KPPS karena kelelahan saat proses penghitungan suara tidak boleh kembali terulang.
Titi pun menyayangkan tidak adanya asuransi yang diberikan untuk para petugas KPPS. Sebab, ia menganggap, beban kerja petugas KPPS pada Pemilu Serentak 2019 lebih banyak.
“Menurut saya kepada para petugas yang mengalami, menjadi korban jiwa dan yang sakit atau pun luka karena kecelakaan kerja, harusnya negara memberi kompensasi yang sepadan. Saat ini mereka tidak mendapatkan asuransi kesehatan, kematian, atau pun ketenagakerjaan,” tukas Titi.