Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengkritik langkah Polri yang menarik kembali surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, yang dituduh melakukan perbuatan makar.
Dia juga menegaskan bahwa Prabowo tidak melakukan makar. Fadli menganggap tuduhan makar yang dialamatkan kepada Prabowo omong kosong.
“Saya kira itu omong kosonglah ya. Jadi, apa yang dikatakan Pak Prabowo selama ini konstitusional. Jangan mengada-ada, apalagi kalau ada orang laporan langsung dipanggil,” kata Fadli di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/5).
Wakil ketua umum Partai Gerindra itu heran, Polri cepat menindaklanjuti laporan terkait Prabowo Subianto.
Padahal, lanjut Fadli, laporan lain, seperti yang pernah dilaporkannya terkait suatu kasus tidak ada progress-nya.
“Saya melaporkan banyak orang dari dua tahun lalu, tidak ada yang dipanggil orang itu. Jadi kami melihat hukum ini harus adil lah ya karena ketidakadilan hukum akan merusak persatuan bangsa ini,” ujar Fadli.
Lebih jauh Fadli mengatakan, langkah Polri yang mengeluarkan SPDP terhadap Prabowo kemudian menarik lagi menandakan ketidakprofesionalan.
Ini kan menunjukkan ketidakprofesionalan. Sangat jelas apa namanya kalau tidak profesional. Kelihatan sekali menjadi alat kekuasaan, alat politik. Saya kira kita harus gunakan hukum karena hukum ini milik bersama,” katanya.
Seperti diketahui, Polda Metro Jaya sempat mengeluarkan SPDP kasus dugaan makar yang menempatkan Prabowo sebagai terlapor.
Penyidik kemudian menarik SPDP bertanggal 17 Mei yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta itu. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, penyidik telah melakulan analisis terhadap perkembangan kasus tersebut.
Berdasar analisis polisi, nama Prabowo hanya disebut oleh tersangka kasus makar.
“Pak Prabowo adalah tokoh bangsa yang harus dihormati. Dari hasil analisis penyidik bahwa belum waktunya diterbitkan SPDP karena Pak Prabowo hanya disebut namanya,” kata Argo, Selasa (21/7).
Istri dan anak tersangka kasus makar, Eggi Sudjana, datang ke Gedung DPR untuk mengadukan kasus yang menimpa Eggi kepada Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Istri Eggi Sudjana, Asmini Budiani menceritakan kepada Fadli soal perbedaan perlakuan pada Eggi, misalnya terkait aturan besuk tahanan.
“Saya enggak tahu apakah untuk kasus-kasus sejenis seperti itu. Kalau tahanan lain, besuk ya besuk. Tapi kalau kami memang harus izin dari penyidik dan itu biasa memerlukan waktu yang cukup lama ya,” ujar Asmini di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Kemudian jika diizinkan masuk, kata Asmini, biasanya sesi besuk didampingi oleh penyidik. Selain itu, durasi besuk sempat dibatasi pada awal penahanan.
Asmini juga menceritakan kondisi kesehatan Eggi kepada Fadli. Eggi disebut menderita penyakit diabetes yang cukup serius. Eggi tidak boleh terlambat meminum obat diabetesnya.
“Jadi yang kami khawatirkan gulanya karena kalau di dalam sel kemudian drop dan enggak ada orang yang tahu, naudzubillah min zalik,” kata Asmini.
Dia berharap polisi bisa membebaskan Eggi secepatnya. Apalagi, menurut dia kasus yang menimpa suaminya penuh dengan kejanggalan. Dia berharap Eggi bisa berkumpul bersama keluarga kembali pada Hari Raya nanti.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan tuduhan makar terhadap Eggi Sudjana adalah hal yang tidak masuk akal. Pernyataan-pernyataan Eggi soal people power tidak bisa dikategorikan perbuatan makar karena hanya berupa ucapan saja.
“Jelas sekali apa yang terjadi pada Eggi Sudjana ini adalah kriminalisasi. Kriminalisasi sudah mencederai demokrasi kita, sudah bungkam suara-suara kritis yang dijamin konstitusi kita,” kata Fadli.
Adapun, Eggi Sudjana ditahan oleh penyidik Polda Metro Jaya pada Selasa (14/5/2019) setelah diperiksa selama 13 jam sejak Senin (13/5/2019) pukul 16.30 WIB. Hal ini berdasarkan surat penangkapan dengan nomor register B/7608/V/RES.1.24/2019/Ditreskrimum.
Eggi ditetapkan sebagai tersangka dugaan makar terkait seruan people power.
Keluarga Eggi Sudjana hari ini melakukan audiensi dengan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Istri Eggi, Asmini Budiani, mengungkapkan ada perlakuan berbeda saat keluarga akan menjenguk Eggi.
“Saya nggak tahu apakah untuk kasus-kasus sejenis seperti itu. Kalau tahanan lain besuk ya besuk. Kami memang harus izin dari penyidik dan itu biasa memerlukan waktu yang cukup lama ya,” ujar Asmini seusai audiensi di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
“Karena pasti yang ada di situ telepon dulu ke atas, kemudian baru kami bisa masuk didampingi anggota staf dari penyidik. Kalau durasi memang di awal-awal kita sangat dibatasi, cuma sekarang sekarang lebih longgar,” imbuhnya
Asmini mengkhawatirkan kondisi kesehatan Eggi karena suaminya itu menderita diabetes. Menurut Asmini, pihaknya juga sudah berkomunikasi dengan Dokkes Polda Metro Jaya terkait kondisi kesehatan Eggi.
“Kemarin puasa mungkin dia bukanya nggak sesuai, drop. Begitu drop, untung kita beli kirim teh manis, jadi begitu drop minumlah teh manis, jadi agak kuat. Jadi yang kami khawatirkan gulanya. Karena kalau di dalam sel kemudian drop dan nggak ada orang yang tahu, nauzubilahi minzalik. Yang kami khawatirkan memang drop. Kalau tinggi biasanya dia bisa minum (obat) langsung di tempat,” ungkapnya.
Menurut Asmini, ada banyak kejanggalan dalam kasus yang menjerat suaminya. Ia berharap Eggi dibebaskan agar bisa berkumpul bersama keluarga di bulan Ramadhan.
“Jadi kami berharap, kami mohon dengan sangat kebijakan dari kepolisian, penyidik, untuk membebaskan dari tahanan, mengeluarkan dari tahanan, atau paling tidak kita juga sudah mengajukan penangguhan penahanan. Jadi bisa berkumpul lah kita dengan keluarga di bulan Ramadhan ini,” ucap Asmini.
Asmini, yang didampingi kedua anaknya, juga mengucapkan terima kasih kepada Prabowo Subianto yang telah menjenguk Eggi malam kemarin. Namun ia menyesalkan karena Prabowo tidak diperbolehkan bertemu dengan Eggi.
“Dalam kesempatan ini juga perlu saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pak Prabowo beserta rombongan yang semalam hadir. Memang kami kecewa juga ya nggak bisa bertemu. Pasti kalau ketemu itu kan pasti komunikasi, semangat juga kan buat suami saya. Tapi kami menghormatilah keputusan dari penyidik bahwa itu memang aturan,” katanya.
Dalam audiensi dengan Fadli Zon, Asmini didampingi kedua putranya, Muhammad Alfath Tauhidillah dan Hizbullah Assidiqi. Pengacara Eggi, Abdullah Alkatiri, juga turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Fadli Zon menilai pencabutan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terkait kasus dugaan makar Eggi Sudjana dengan terlapor Prabowo Subianto oleh Polda Metro Jaya sebagai tindakan yang tidak menunjukkan profesionalitas.
“Itu selalu begitu. Pak Kivlan Zein mau keluar lalu dicabut lagi, istrinya pak Agus Sutomo sudah dipanggil tapi ditarik lagi. Ini menunjukkan ketidakprofesionalan,” ujarnya di kompleks DPR RI, Jakarta Pusat, Selasa (21/5/2019).
Politikus Partai Gerindra tersebut juga mengatakan pencabutan tersebut mengindikasikan hukum sebagai alat kekuasaan dan politik.
“Begitu ada aksi reaksi lantas berubah,” ujarnya. SPDP itu terdaftar dengan Nomor: B/9150/V/RES.1.24/2019/Datro kepada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta bertanggal 17 Mei 2019. DR Suriyanto, SH., MH., M.KN sebagai pelapor yang mengadukan Eggi Sudjana berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP/B/0391/IV/2019/Bareskrim tertanggal 19 April 2019 terkait dugaan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara atau makar.
SPDP itu ditandatangani oleh Wakil Direktur Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary Syam Indradi. Surat itu ditujukan untuk Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Penarikan tersebut menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono dikarenakan perlu melakukan langkah penyelidikan terlebih dahulu dan belum perlu dilakukan penyidikan serta perlu dilakukan kroscek dengan alat bukti lain.
“Maka belum perlu penyidikan, maka SPDP ditarik,” ujar Argo.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan, Kepolisian RI tidak profesional dalam menangani sebuah kasus.Hal itu dikatakan Fadli terkait penarikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap nama calon presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto yang dilaporkan karena dugaan perbuatan makar.
Ketidakprofesionalan Polri, tambah Wakil Ketua DPR RI, juga terjadi dengan penarikan SPDP terhadap mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal (Purnawirawan) Kivlan Zen dan istri eks Danjen Kopassus Agus Sutomo, Minurlin.
“Kemarin Kivlan Zein mau dicegah keluar negeri terus dicabut, istri Agus Sutomo sudah dipanggil ditarik lagi. Ini menunjukkan ketidakprofesionalan, apalagi namanya kalau tidak profesional,” kata Fadli di Gedung DPR RI, Jakarta (21/5/2019).
Dia pun mengungkapkan keheranannya dengan sikap polisi yang berubah setelah muncul reaksi di tengah masyarakat.
“Ini menunjukan kalau ada aksi reaksi maka akan berubah,” kata Fadli.
Lebih jauh, Fadli mempertanyakan sikap polisi yang tidak pernah memproses laporan-laporan yang pernah dilayangkannya dalam dua tahun terakhir.
“Ini membuktikan bahwa Polri hanya jadi alat kekuasaan politik saja,” sebutnya.
Oleh karena itu, ia meminta Polri untuk memegang teguh amanat konstitusi yang menegaskan bahwa semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Menurutnya, hukum akan menjadi sesuatu yang berbahaya bila hanya menjadi milik penguasa.
“Hukum milik kita bersama dan negara ini ada karena ada hukum, itu kesepakatan kita. Berbagai agama, suku, dan ras dalam konstitusi kita bersama kedudukannya dalam hukum dan pemerinthaan tanpa ada kecualinya,” katanya.
Polda Metro Jaya menarik SPDP yang mencantumkan nama Prabowo terkait kasus dugaan makar.
“Dari hasil analisis penyidik bahwa belum waktunya diterbitkan SPDP karena nama pak Prabowo hanya disebut namanya oleh tersangka Eggi Sudjana dan Lieus,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menerbitkan buku yang berjudul ‘Strengthtening The Indonesian Parliamentary Diplomacy’ hari ini, Senin (20/5/2019). Buku tersebut berisi kumpulan pidato Fadli saat agenda diplomasi di luar negeri.
Fadli mengatakan, melalui buku tersebut ingin memperkuat diplomasi parlemen di Indonesia. Dalam diskusi di acara peluncuran buku itu, Fadli menyebut Indonesia konsisten saat melakukan diplomasi.
“Terus terang saja saya kira kita mengalami fluktuasi dalam diplomasi. Ada kalanya kita sangat high profile, ada kalanya low profile, ada kalanya flat, biasa-biasa saja dalam diplomasi,” ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (20/5/2019).
Menurutnya sikap Indonesia tersebut membuat Indonesia tidak mendapat tempat di negara lain. Padahal, Indonesia disebut Fadli memiliki kekuatan sebagai negara penduduk terbanyak keempat, penduduk islam terbanyak, dan demokrasi terbesar ketiga di dunia.
“Ini saya kira membuat jika di kancah internasional kurang mendapatkan proporsi. Menurut saya sebagaimana sebuah negara seperti Indonesia pengaruhnya tidak sebanding,” jelas Fadli.
Fadli menyebut salah satu kebijakan pemerintah yang membebaskan visa di sejumlah negara di ASEAN. Menurutnya dampak kebijakan tersebut pada pengaruh Indonesia dalam berdiplomasi tidak terasa. Negara lain yang dibebaskan visanya tidak memberikan timbal balik bagi Indonesia.
Pemerintah juga disebut Fadli tidak memiliki pengaruh saat membantu menyelesaikan konflik di Rohingya, Myanmar. Menurutnya itu terjadi karena Indonesia tidak memiliki kekuatan saat berdiplomasi dengan negara ASEAN.
“Marwah kita sebagai negara terdemokrasi, berpenduduk muslim terbesar, tapi kita kurang menyentuh persoalan yang terjadi seperti Rohingya, kita tidak berkutik di ASEAN. Pemerintah mungkin agak kaku dan kikuk saat berhadapan dengan pemerintah Myanmar,” pungkas Fadli.
Peluncuran buku itu juga dihadiri oleh Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, Menteri Luar Negeri Periode 2001-2009, Hassan Wirajuda, dan Kepala Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Diskusi tersebut dimoderatori oleh Tarli Nugroho.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengungkapkan keprihatinannya disaat memperingati Hari Kebangkitan Bangsa yang jatuh pada tanggal 22 Mei ini. Fadli mengatakan, bangsa Indonesia banyak menelan kekecewaan yang sangat mendalam.
“Hari ini, 20 Mei 2019, kita kembali memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Sayangnya, hari yang mestinya kita peringati dengan perasaan heroik persatuan, tahun ini lebih pantas kita peringati dengan keprihatinan mendalam,” kata Fadli dalam laman Twitternya, Senin (20/5).
Pertama, dia menemukan kecurangan masif terjadi pada Pemilu 2019. Ditambah, kata dia, tak ada respon memadai dari penyelenggara Pemilu dan otoritas negara atas kegelisahan masyarakat yang menuntut kejujuran dan keadilan.
Kedua, politikus Gerindra ini menyoroti adanya pelarangan, teror serta intimidasi terhadap rakyat yang hendak menggunakan hak menyatakan pendapat dan berekspresi di muka umum.
Tak hanya itu, ia juga kecewa lantaran muncul kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh yang berbeda pandangan dengan Pemerintah dengan tuduhan makar.
“Ini telah membuat masyarakat kita kian terbelah. Pemerintah gagal menciptakan kepercayaan terhadap sistem pemilu,” terangnya.
Padahal setiap warga negara, dikatakan Fadli, seharusnya sama-sama berkepentingan mengawal proses demokrasi ini agar berjalan jujur, adil dan akuntabel.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon meluncurkan buku Strengthening The Indonesian Parliamentary Diplomacy. Buku itu berisikan tentang perjalanan diplomasi DPR di tingkat dunia.
Peluncuran buku yang juga disertai diskusi Perkuatan Diplomasi Parlemen itu dihadiri Din Syamsuddin, mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda, sejumlah perwakilan negara sahabat, dan tamu undangan.
Fadli Zon menjelaskan buku itu menjadi bukti fungsi baru DPR, yaitu diplomasi. Tugas tersebut tercantum dalam Undang-undang (UU) MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3) selain pengawasan, pembahasan UU, dan pembahasan anggaran.
“Sehingga Diplomasi ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah dan Kementerian Luar Negeri. Tapi juga tugas seluruh masyarakat Indonedia,” kata Fadli Zon, ditemui di ruang Abdul Muis, Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Senin, 20 Mei 2019.
Politikus Gerindra itu berharap, diplomasi parlemen mampu membantu mewujudkan hakikat politik luar negeri Indonesia, yaitu memberikan keuntungan bagi bangsa dan negara.
Buku Strengthening The Indonesian Parliamentary Diplomacy berisi koleksi makalah dan pidato Fadli Zon di berbagai forum internasional sejak 2014. Diplomasi merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi yang diemban Fadli Zon selaku koordinator politik, hukum, dan keamanan.
“Di bawah saya ada BKSAP (Badan Kerja Sama Antar Parlemen) yang memang merupakan badan khusus dalam rangka mempekuat parlemen Indonesia,” tuturnya.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon mengatakan, lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi.
Hal itu disampaikan Fadli Zon di akun Twitter miliknya saat membahas soal Demonstrasi dan People Power.
Fadli Zon menuliskan, bulan Mei punya arti istimewa bagi bangsa Indonesia.
“Pada bulan ini, dua puluh satu tahun lalu, kita memasuki babak baru kehidupan demokrasi, era reformasi yang ditandai keterbukaan dan kebebasan,” tulisnya.
Satu per satu fondasi demokrasi kita perbaiki, mulai dari membuka kebebasan pers, membuka keran kebebasan berpendapat, membuka pintu hadirnya partai politik baru, menerapkan kebijakan otonomi daerah, mengoreksi dwifungsi ABRI, melakukan reformasi berbagai lembaga kenegaraan, hingga memperbaiki sistem Pemilu.
Sayangnya, sesudah lebih dari dua dekade, perjalanan kita berdemokrasi sepertinya justru malah mengalami kemunduran.
“Selama 5 tahun berada di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, saya mencatat ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan sipil, justru kian meningkat,” tulisnya.
Ini tentu saja bukan penilaian personal.
“Kita bisa mengacu data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia memang terus mengalami kemunduran,” jelasnya.
Di antara berbagai indikator, terancamnya kebebasan sipil merupakan salah satu faktor paling menentukan kemerosotan HAM dan tingkat demokrasi Indonesia.
Menurut Freedom House, kembali munculnya ancaman kebebasan sipil di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara ‘bebas’ (free) menjadi negara ‘bebas sebagian’ (partly free).
“Ini sebenarnya sebuah bentuk kemunduran yang memalukan,” tegasnya.
Fadli Zon melanjutkan, peringkat demokrasi Indonesia terjun bebas 20 peringkat dari sebelumnya di posisi 48 (2016) menjadi 68 (2018).
“Peringkat demokrasi kita saat ini bahkan lebih jelek dari Timor Leste (eks Timor Timur) yang berhasil naik peringkat dari ‘partly free’ menjadi ‘free’,” paparnya.
Penilaian lembaga-lembaga internasional tadi sejalan dengan Indeks Demokrasi Indonesia yang disusun BPS (Badan Pusat Statistik).
Menurut data BPS akhir tahun lalu, variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia memang turun.
“Kalau kita periksa, variabel yang mengalami penurunan tersebut adalah kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, serta peran peradilan yang independen,” tulisnya.
Kita sama-sama bisa melihat, selama lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi terhadap aktivis dan ulama yang kritis terhadap Pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar.
Jadi, sesudah dua puluh tahun Reformasi, kini kita sedang berada di titik balik otoritarianisme.
“Bedanya, dulu otoritarianisme disokong oleh militer, maka kini disokong oleh polisi,” jelasnya.
Akhir-akhir ini ancaman terhadap kebebasan berpendapat serta kebebasan berekspresi memang kian menguat.
Demokrasi kita tiba-tiba saja jadi mengharamkan demonstrasi.
Hak rakyat untuk menyatakan pendapat, misalnya memprotes kecurangan Pemilu, bahkan bukan hanya telah dihalang-halangi, tapi mengalami intimidasi sedemikian rupa.
Ancaman itu selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian.
Terakhir bahkan masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris.
Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta.
“Menurut saya, ini sudah kelewatan. Seharusnya aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional, bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu,” katanya.
“Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan “melindungi dan mengayomi,” tegasnya.
Sebagai salah satu pimpinan lembaga tinggi negara, sekaligus pemimpin partai politik, Fadli Zon mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi untuk mencegah negara kita tidak menjadi ‘polizeistaat’, atau negara polisi, di mana negara, atau aparat negara, memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat.
Polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim.
Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik.
Itu tak boleh terjadi. Hal-hal semacam itulah yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum selama ini.
Saat ini keadilan merupakan isu sensitif.
Sebagai penegak hukum, jangan sampai Polisi mengabaikan rasa keadilan masyarakat, apalagi mempermainkannya.
“Bisa mahal sekali harganya,” tulis Fadli.
Itu sebabnya, menjelang rekapitulasi nasional Pemilu 2019, saya meminta agar Pemerintah, juga aparat kepolisian, tidak membuat stigma negatif terhadap aksi unjuk rasa masyarakat.
“People power” itu merupakan bagian dari demokrasi. Biasa-biasa saja.
Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi.
“Jadi, berhentilah membuat stigma negatif dan menyeramkan. Kecuali, kita memang hendak kembali ke jalan otoritarian,” pungkasnya.
Mei punya arti istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, dua puluh satu tahun lalu, kita memasuki babak baru kehidupan demokrasi, era reformasi yang ditandai keterbukaan dan kebebasan.
Satu per satu fondasi demokrasi kita perbaiki, mulai dari membuka kebebasan pers, membuka keran kebebasan berpendapat, membuka pintu hadirnya partai politik baru, menerapkan kebijakan otonomi daerah, mengoreksi dwifungsi ABRI, melakukan reformasi berbagai lembaga kenegaraan, hingga memperbaiki sistem Pemilu.
Sayangnya, sesudah lebih dari dua dekade, perjalanan kita berdemokrasi sepertinya justru malah mengalami kemunduran
Ini tentu saja bukan penilaian personal. Kita bisa mengacu data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia memang terus mengalami kemunduran.
Di antara berbagai indikator, terancamnya kebebasan sipil merupakan salah satu faktor paling menentukan kemerosotan HAM dan tingkat demokrasi Indonesia.
Menurut Freedom House, kembali munculnya ancaman kebebasan sipil di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara ‘bebas’ (free) menjadi negara ‘bebas sebagian (partly free). Ini sebenarnya sebuah bentuk kemunduran yang memalukan.
Indonesia yang disusun BPS (Badan Pusat Statistik). Menurut data BPS akhir tahun lalu, variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia memang turun.
Kalau kita periksa, variabel yang mengalami penurunan tersebut adalah kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, serta peran peradilan yang independen.
Kita sama-sama bisa melihat, selama lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi terhadap aktivis dan ulama yang kritis terhadap pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar.
Jadi, sesudah dua puluh tahun Reformasi, kini kita sedang berada di titik balik otoritarianisme. Bedanya, dulu otoritarianisme disokong oleh militer, maka kini disokong oleh polisi.
mengalami intimidasi sedemikian rupa. Ancaman itu selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian.
Terakhir bahkan masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris. Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta.
Menurut saya, ini sudah kelewatan. Seharusnya aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional, bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan melindungi dan mengayomi”.
Sebagai salah satu pimpinan lembaga tinggi negara, sekaligus pemimpin partai politik, saya ingin mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi untuk mencegah negara kita tidak menjadi ‘polizeistaat’ atau negara polisi, di mana negara atau aparat negara memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat.
Polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim. Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik. Itu tak boleh terjadi. Hal-hal semacam itulah yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum selama ini.
Saat ini keadilan merupakan isu sensitif. Sebagai penegak hukum, jangan sampai polisi mengabaikan rasa keadilan masyarakat, apalagi mempermainkannya. Bisa mahal sekali harganya.
Itu sebabnya, menjelang rekapitulasi nasional Pemilu 2019, saya meminta agar Pemerintah, juga aparat kepolisian, tidak membuat stigma negatif terhadap aksi unjuk rasa masyarakat. people power” itu merupakan bagian dari demokrasi. Biasa-biasa saja.
Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi. Jadi, berhentilah membuat stigma negatif dan menyeramkan. Kecuali, kita memang hendak kembali ke jalan otoritarian
Dr. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc. (Wakil Ketua DPR RI; Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra)