Blog

Fadli Zon: Jangan Sampai Polisi Digunakan untuk Pukul Lawan Politik

Fadli Zon: Jangan Sampai Polisi Digunakan untuk Pukul Lawan Politik

fadli zon

Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, menegaskan people power merupakan bagian demokrasi. Ia meminta agar berhenti memberi stigma negatif dan menyeramkan pada people power.

People power itu merupakan bagian dari demokrasi. Biasa-biasa saja. Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi. Jadi, berhentilah membuat stigma negatif dan menyeramkan. Kecuali, kita memang hendak kembali ke jalan otoritarian,” kata Fadli melalui keterangan tertulisnya, Minggu 19 Mei 2019.

Menurutnya, bulan Mei punya arti istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, 21 satu tahun lalu, Indonesia memasuki babak baru kehidupan demokrasi, era reformasi yang ditandai keterbukaan dan kebebasan.

“Satu per satu fondasi demokrasi kita perbaiki, mulai dari membuka kebebasan pers, membuka keran kebebasan berpendapat, membuka pintu hadirnya partai politik baru, menerapkan kebijakan otonomi daerah, mengoreksi dwifungsi ABRI, melakukan reformasi berbagai lembaga kenegaraan, hingga memperbaiki sistem Pemilu,” kata Fadli.

Sayangnya, ia menilai sesudah lebih dari dua dekade, perjalanan berdemokrasi Indonesia sepertinya justru malah mengalami kemunduran. Selama lima tahun berada di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, ia mencatat ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan sipil, justru kian meningkat.

“Ini tentu saja bukan penilaian personal. Kita bisa mengacu data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia memang terus mengalami kemunduran. Di antara berbagai indikator, terancamnya kebebasan sipil merupakan salah satu faktor paling menentukan kemerosotan HAM dan tingkat demokrasi Indonesia,” kata Fadli.

Menurut Freedom House, ia menjelaskan kembali munculnya ancaman kebebasan sipil di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara ‘bebas’ (free) menjadi negara ‘bebas sebagian’ (partly free). Ini sebenarnya sebuah bentuk kemunduran yang memalukan.

“Peringkat demokrasi kita terjun bebas 20 peringkat dari sebelumnya di posisi 48 (2016) menjadi 68 (2018). Peringkat demokrasi kita saat ini bahkan lebih jelek dari Timor Leste (eks Timor Timur) yang berhasil naik peringkat dari ‘partly free’ menjadi ‘free’,” kata Fadli.

Ia mengatakan penilaian lembaga-lembaga internasional tadi sejalan dengan Indeks Demokrasi Indonesia yang disusun BPS (Badan Pusat Statistik). Menurut data BPS akhir tahun lalu, variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia memang turun.

“Kalau kita periksa, variabel yang mengalami penurunan tersebut adalah kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, serta peran peradilan yang independen,” kata Fadli.

Menurutnya, selama lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi terhadap aktivis dan ulama yang kritis terhadap Pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar. Jadi, sesudah 20mtahun Reformasi, kini Indonesia sedang berada di titik balik otoritarianisme.

“Bedanya, dulu otoritarianisme disokong oleh militer, maka kini disokong oleh polisi. Akhir-akhir ini ancaman terhadap kebebasan berpendapat serta kebebasan berekspresi memang kian menguat. Demokrasi kita tiba-tiba saja jadi mengharamkan demonstrasi. Hak rakyat untuk menyatakan pendapat, misalnya memprotes kecurangan Pemilu, bahkan bukan hanya telah dihalang-halangi, tapi mengalami intimidasi sedemikian rupa. Ancaman itu selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian,” kata Fadli.

Ia mencontohkan masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris. Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta.

“Menurut saya, ini sudah kelewatan. Seharusnya aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional, bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan ‘melindungi dan mengayomi’,” kata Fadli.

Ia mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi untuk mencegah negara ini tidak menjadi ‘polizeistaat’, atau negara polisi, di mana negara, atau aparat negara, memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat. Polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim.

“Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik. Itu tak boleh terjadi. Hal-hal semacam itulah yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum selama ini,” kata Fadli.

Menurutnya, saat ini keadilan merupakan isu sensitif. Sebagai penegak hukum, jangan sampai polisi mengabaikan rasa keadilan masyarakat, apalagi mempermainkannya. Bisa mahal sekali harganya.

“Itu sebabnya, menjelang rekapitulasi nasional Pemilu 2019, saya meminta agar Pemerintah, juga aparat kepolisian, tidak membuat stigma negatif terhadap aksi unjuk rasa masyarakat,” kata Fadli.

 

Sumber

Fadli Zon Respons Soal Terorisme di Aksi 22 Mei

Fadli Zon Respons Soal Terorisme di Aksi 22 Mei

fadli zon

Wakil Ketua DPR RI Koordinator Poltik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon menilai, ancaman terorisme yang disebut kepolisian berpotensi menunggangi aksi protes hasil 22 Mei 2019 atau people power bernuansa politis. Menurut dia, ancaman bom itu diumumkan polisi untuk menakut-nakuti peserta aksi.

“Masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris. Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta. Menurut saya, ini sudah kelewatan,” kata Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Ahad (19/5).

Kebebasan berpendapat dalam memprotes hasil pemilu, kata Fadli justru diintimidasi oleh kepolisian, bahkan sejumlah menteri. Seharusnya, kata Fadli, aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional.

“Bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan melindungi dan mengayomi,” kata politikus Gerindra itu.

Fadli mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi. Menurut Fadli, ini untuk mencegah Indonesia tidak menjadi ‘polizeistaat’, atau negara polisi, di mana negara, atau aparat negara, memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat.

“Polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim. Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik. Itu tak boleh terjadi. Hal-hal semacam itulah yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum selama ini,” kata Fadli.

Karena itu, lanjut Fadli, menjelang rekapitulasi nasional Pemilu 2019, Fadli meminta Pemerintah, juga aparat kepolisian, tidak membuat stigma negatif terhadap aksi unjuk rasa masyarakat. People power itu, menurut dia, merupakan bagian dari demokrasi.

“Biasa-biasa saja. Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi. Jadi, berhentilah membuat stigma negatif dan menyeramkan. Kecuali, kita memang hendak kembali ke jalan otoritarian,” kata politikus Gerindra itu menambahkan.

 

Sumber

Fadli Zon: Stop Bikin Stigma Negatif dan Menyeramkan!

Fadli Zon: Stop Bikin Stigma Negatif dan Menyeramkan!

fadli zon

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, meminta pemerintah maupun aparat kepolisian tidak membuat stigma negatif terhadap aksi unjuk rasa masyarakat. Dia menjelaskan, people power merupakan bagian dari demokrasi.

“Biasa-biasa saja. Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi. Jadi, berhentilah membuat stigma negatif dan menyeramkan. Kecuali kita memang hendak kembali ke jalan otoritarian,” ujar Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/05/2019).

Fadli Zon sebagai salah satu pimpinan lembaga tinggi negara, sekaligus pemimpin partai politik, mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi untuk mencegah negara ini tidak menjadi ‘polizeistaat’, atau negara polisi, di mana negara, atau aparat negara memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengatakan, polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim. Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik.

“Itu tak boleh terjadi. Hal-hal semacam itulah yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum selama ini,” kata Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu.

Dia menambahkan, saat ini keadilan merupakan isu sensitif. “Sebagai penegak hukum, jangan sampai polisi mengabaikan rasa keadilan masyarakat, apalagi mempermainkannya. Bisa mahal sekali harganya,” pungkasnya.

 

Sumber

Fadli Zon: Polisi Harus Ingat Semboyan Melindungi dan Mengayomi

Fadli Zon: Polisi Harus Ingat Semboyan Melindungi dan Mengayomi

fadli zon

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan bahwa bulan Mei mempunyai arti istimewa bagi bangsa Indonesia. Pada bulan ini, 21 tahun lalu Indonesia memasuki babak baru kehidupan demokrasi era reformasi yang ditandai keterbukaan dan kebebasan.

“Satu per satu pondasi demokrasi kita perbaiki, mulai dari membuka kebebasan pers, membuka keran kebebasan berpendapat, membuka pintu hadirnya partai politik baru, menerapkan kebijakan otonomi daerah, mengoreksi dwifungsi ABRI, melakukan reformasi berbagai lembaga kenegaraan, hingga memperbaiki sistem Pemilu,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/5/2019).

Sayangnya, kata dia, sesudah lebih dari dua dekade perjalanan Indonesia berdemokrasi sepertinya justru malah mengalami kemunduran. Selama lima tahun berada di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Fadli Zon mencatat ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan sipil, justru kian meningkat.

“Ini tentu saja bukan penilaian personal. Kita bisa mengacu data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia memang terus mengalami kemunduran,” ujar Wakil Ketua DPR itu.

Di antara berbagai indikator, kata Fadli Zon, terancamnya kebebasan sipil merupakan salah satu faktor paling menentukan kemerosotan HAM dan tingkat demokrasi Indonesia. Menurut Freedom House, kembali munculnya ancaman kebebasan sipil di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara ‘bebas’ (free) menjadi negara ‘bebas sebagian’ (partly free).

“Ini sebenarnya sebuah bentuk kemunduran yang memalukan. Peringkat demokrasi kita terjun bebas 20 peringkat dari sebelumnya di posisi 48 (2016) menjadi 68 (2018). Peringkat demokrasi kita saat ini bahkan lebih jelek dari Timor Leste (eks Timor Timur) yang berhasil naik peringkat dari ‘partly free’ menjadi ‘free’,” jelas Legislator asal Bogor, Jawa Barat ini.

Dia melanjutkan, penilaian lembaga-lembaga internasional tadi sejalan dengan Indeks Demokrasi Indonesia yang disusun Badan Pusat Statistik (BPS). Menurut data BPS akhir tahun lalu, variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia memang turun.

“Kalau kita periksa, variabel yang mengalami penurunan tersebut adalah kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, serta peran peradilan yang independen,” ungkap Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu.

Lebih lanjut, kata dia, selama lima tahun pemerintahan Jokowi telah terjadi pemasungan demokrasi, pembungkaman masyarakat, persekusi terhadap aktivis dan ulama yang kritis terhadap Pemerintah, serta penangkapan tokoh-tokoh dengan tudingan makar. “Jadi, sesudah dua puluh tahun Reformasi, kini kita sedang berada di titik balik otoritarianisme. Bedanya, dulu otoritarianisme disokong oleh militer, maka kini disokong oleh polisi,” paparnya.

 Dia berpandangan, akhir-akhir ini ancaman terhadap kebebasan berpendapat serta kebebasan berekspresi memang kian menguat. Demokrasi, lanjut dia, tiba-tiba saja jadi mengharamkan demonstrasi.

Hak rakyat untuk menyatakan pendapat, misalnya memprotes kecurangan pemilu, bahkan bukan hanya telah dihalang-halangi tapi mengalami intimidasi sedemikian rupa. Ancaman itu, menurut dia, selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian.

“Terakhir bahkan masyarakat yang ingin memprotes kecurangan Pemilu pada 22 Mei nanti ditakut-takuti dengan kemungkinan adanya aksi teror bom oleh teroris. Selain itu ada sweeping, razia dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta. Menurut saya, ini sudah kelewatan,” paparnya.

Dia menambahkan seharusnya aparat kepolisian memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat yang hendak menuntut hak-hak konstitusional, bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. “Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan melindungi dan mengayomi,” pungkasnya.

Sumber
Fadli Zon Minta Pemerintah Tak Bikin Stigma Negatif terhadap Unjuk Rasa

Fadli Zon Minta Pemerintah Tak Bikin Stigma Negatif terhadap Unjuk Rasa

fadli zon

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon meminta pemerintah maupun aparat kepolisian tidak membuat stigma negatif terhadap aksi unjuk rasa masyarakat. Dia menjelaskan, people power merupakan bagian dari demokrasi.

“Biasa-biasa saja. Demonstrasi adalah salah satu bentuk ekspresi demokrasi. Jadi, berhentilah membuat stigma negatif dan menyeramkan. Kecuali kita memang hendak kembali ke jalan otoritarian,” ujar Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Minggu (19/5/2019).

Fadli Zon sebagai salah satu pimpinan lembaga tinggi negara, sekaligus pemimpin partai politik, mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi untuk mencegah negara ini tidak menjadi ‘polizeistaat’, atau negara polisi, di mana negara, atau aparat negara memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mengatakan, polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim. Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik.

“Itu tak boleh terjadi. Hal-hal semacam itulah yang telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparat hukum selama ini,” kata Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno itu.

Dia menambahkan, saat ini keadilan merupakan isu sensitif. “Sebagai penegak hukum, jangan sampai polisi mengabaikan rasa keadilan masyarakat, apalagi mempermainkannya. Bisa mahal sekali harganya,” pungkasnya.

 

Sumber

Jelang Aksi 22 Mei, Fadli Minta Aparat tidak Intimidasi Masyarakat

Jelang Aksi 22 Mei, Fadli Minta Aparat tidak Intimidasi Masyarakat

images-2019-05-14T122423.573-1

Wakil ketua DPR, Fadli Zon menyebut masyarakat yang ingin menggunakan hak konstitusinya pada 22 Mei 2019 diintimidasi. Salah satunya, dengan ditakut-takuti dengan isu teror bom.

“Hak rakyat untuk menyatakan pendapat, misalnya memprotes kecurangan Pemilu, bahkan bukan hanya telah dihalang-halangi, tapi mengalami intimidasi sedemikian rupa. Ancaman itu selain terlontar dari sejumlah menteri juga aparat kepolisian,” kata Fadli kepada wartawan, Ahad (19/5).

Tak hanya itu, aparat penegak hukum juga melakukan sweeping, razia, dan pencegahan masyarakat yang akan datang ke Jakarta. Hal itu sudah kelewatan. Polisi seharusnya melindungi masyarakat uang yang hendak menuntut hak-hak konstitusionalnya.

“Bukan justru malah memberikan teror verbal semacam itu. Rakyat bukan musuh. Aparat kepolisian harus ingat semboyan ‘melindungi dan mengayomi’,” ujarnya.

Wakil ketua Gerindra itu kemudian mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar bisa bekerja sama dengan seluruh elemen demokrasi. Hal itu, kata dia, untuk mencegah negara kita tidak menjadi ‘polizeistaat’ atau negara polisi.

Dia menjelaskan, negara polisi adalah aparat negara memposisikan diri lebih tinggi daripada hukum dan masyarakat. Polisi adalah aparat negara, bukan alat politik rezim.

“Jangan sampai polisi digunakan oleh penguasa sebagai alat pemukul lawan-lawan politik,” ucap Fadli.

 

Sumber

Fadli Zon Sebut Gerindra Tak Masalahkan Kecurangan Pileg karena Kasuistis

Fadli Zon Sebut Gerindra Tak Masalahkan Kecurangan Pileg karena Kasuistis

Liputan-6-Fadli-Zon-Jangan-Jadikan-KSP-Sarang-Timses-Pemilu-2019-696x391

Pasangan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menolak hasil Pilpres 2019 karena adanya dugaan kecurangan. Tapi di sisi lain, partai-partai Koalisi Adil Makmur bisa menerima hasil pemilihan legislatif yang dilaksanakan berbarengan dengan pilpres.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengakui di Pileg 2019 juga terjadi kecurangan. Namun, berbeda dengan kecurangan dalam pilpres, bagi Fadli kecurangan di pileg bersifat kasuistis.

“Masalahnya kasuistis, itu terjadinya di dapil yang cukup banyak,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Sementara kecurangan di pilpres, menurut Fadli terkonsolidasi. Sebab kandidat hanya dua. Dia mencontohkan ada kepentingan kekuasaan saat Presiden Joko Widodo atau Jokowi menolak cuti.

“Kalau pilpres kan cuma ada dua kandidat. Kepentingannya juga lebih terkonsolidasi. Terutama kekuasaan, conflict of interest juga besar,” jelas Dewan Pengarah BPN itu.

Fadli mengungkap sejumlah kecurangan dalam pemilihan legislatif. Seperti, ada pemindahan suara ke partai lain, sampai masalah daftar pemilih.

“Kita lihat di pileg itu beda frontnya dengan pilpres. Karena di pileg itu bahkan di antara partai koalisi pun berkompetisi,” kata dia.

Namun demikian, Fadli Zon tidak masalah dengan sikap PAN dan Partai Demokrat yang beda pendapat terkait penolakan hasil Pilpres 2019. Kata dia, itu hanya suara-suara pribadi dan bukan sikap resmi partai.

“Ya pada akhirnya nanti sikap resminya di ujung. Kalau pendapat pribadi harus ditanggapi kan repot ada pendapat si A si B, setiap partai aja pendapatnya beda-beda. Pada ujungnya nanti pasti ada pernyataan resmi dari pimpinan tertinggi di partai,” ujar dia.

Diberitakan sebelumnya, PAN dan Demokrat memiliki pandangan kontra dengan sikap penolakan Pilpres 2019 oleh Capres 02 Prabowo Subianto.

Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Amir Syamsuddin menyebut Prabowo-Sandi harus berani membuktikan tuduhan kecurangan tersebut. Dia berharap, Prabowo menempuh jalur hukum lewat Bawaslu atau Mahkamah Konstitusi.

“Di dalam hukum pembuktian berlaku satu dalil ‘barang siapa mendalilkan adanya suatu hak atau peristiwa maka wajib atas dirinya membuktikan hak atau peristiwa yang didalilkannya’,” kata Amir, Kamis (16/5/2019).

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Bara Hasibuan menyayangkan sikap Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang menolak hasil Pilpres 2019. Sebab, kata dia, penolakan itu tidak didasari bukti kecurangan yang jelas.

 

Sumber

Ditantang TKN Adu Data C1, Fadli Zon: Bagus, Dibuka Saja Sekalian

Ditantang TKN Adu Data C1, Fadli Zon: Bagus, Dibuka Saja Sekalian

ditantang-tkn-adu-data-c1-fadli-zon-bagus-dibuka-saja-sekalian-ltu

Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-KH Ma’ruf Amin menantang kubu Prabowo-Sandi untuk mengadu data C1 plano dan berhologram di KPU.

Lalu bagaimana sikap Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto – Sandiaga Uno?

Anggota Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandi, Fadli Zon menyambut baik tantangan itu dan mempersilakannya.

“Silakan aja. Itu kemarin dari BPN itu yang bagian IT-nya sudah bahkan mengundang untuk mendebat itu, saya kira dibuka-buka aja sekalian, bagus itu,” kata  Fadli Zon di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Fadli yang juga sebagai wakil ketua umum Partai Gerindra ini mengatakan, data sudah pernah dibuka oleh BPN Prabowo-Sandi. Maka itu, tantangan dari TKN Jokowi-Ma’ruf itu tidak dipersoalkannya.

“Saya kira bisa saja, jangankan di pleno KPU, di forum manapun saya kira juga sudah dibuka ya, tapi nanti diserahkan saja lah itu kepada BPN untuk melihatnya,” kata wakil ketua DPR RI ini.

Adapun tantangan adu data itu disampaikan oleh Juru Bicara TKN Jokowi-Ma’ruf, Arya Sinulingga kemarin di Rumah Cemara, Menteng, Jakarta Pusat. Arya mengatakan, tantangan ini dilayangkan karena di tingkat kecamatan kubu 02 kalah dan saksi yang mereka miliki juga membubuhkan tanda tangan.

 

Sumber

Ditantang Tim Jokowi, Fadli Zon Jawab Begini

Ditantang Tim Jokowi, Fadli Zon Jawab Begini

fadli_zon

Waketum Gerindra, Fadli Zon, menjawab tantangan TKN Joko Widodo-Ma’ruf Amin untuk membuka data C1 Plano di KPU.

“Silakan saja. Itu kemarin dari BPN itu yang bagian IT-nya sudah, bahkan mengundang untuk mendebat. Saya kira dibuka-buka saja sekalian, bagus itu,” ujarnya di Jakarta, Jumat (17/5/2019).

Ia menambahkan, pihaknya siap membuka data dugaan kecurangan Pemilu 2019. Bahkan sering memaparkan data tersebut di berbagai forum. Namun, Fadli kembali menyerahkan keputusan tersebut ke internal BPN Prabowo-Sandi.

“Saya kira bisa saja. Jangankan di pleno KPU, di forum mana pun saya kira juga sudah dibuka ya. Tapi nanti diserahkan saja lah itu kepada BPN untuk melihatnya,” katanya.

Sebelumnya, juru bicara TKN Arya Sinulingga, menantang kubu Prabowo membuka data C1 Plano di KPU. Jika BPN menolak tantangan itu, berarti BPN pengecut.

Sumber

Fadli Zon Tegaskan BPN Siap Adu Data C1 dengan TKN, Siap Buka Data di Forum Manapun

Fadli Zon Tegaskan BPN Siap Adu Data C1 dengan TKN, Siap Buka Data di Forum Manapun

wakil-ketua-umum-partai-gerindra-fadli-zon

Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Fadli Zon mengatakan pihaknya siap apabila kubu TKN Jokowi-Maruf menantang adu data formulir C1.

Formulir tersebut menjadi dasar penghitungan suara di Pemilu Presiden 2019.

“Silakan aja, itu kemarin dari BPN itu yang bagian IT nya sudah bahkan mengundang untuk mendebat itu. Saya kira dibuka buka aja sekalian, bagus itu,” ujar Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, (17/5/2019).

Menurut Fadli pihaknya siap membuka data di forum manapun untuk menjawab kubu TKN yang meragukan formulir C1 yang dimiliki BPN.

“Silakan aja. itu kemarin dari BPN itu yang bagian IT nya sudah bahkan mengundang untuk mendebat itu. saya kira dibuka buka aja sekalian, bagus itu,” katanya.

Sebelumnya Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin merespons klaim dugaan kecurangan pemilihan presiden dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Juru bicara TKN Jokowi-Ma’ruf, Arya Sinulingga menantang BPN Prabowo agar memaparkan data kecurangan Pilpres di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“Saya tantang 02 di pleno KPU, kalau enggak berani mereka pengecut,” kata Arya saat jumpa pers di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (16/5/2019).

 

Sumber