Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengakui hingga kini partainya belum menentukan sikap politik pasca Prabowo Subianto dikalahkan rivalnya, Joko Widodo di Pilpres 2019 lalu.
Apakah nantinya Gerindra berada di dalam pemerintahan atau di luar, Fadli Zon mengaku keputusan itu diserahkan kepada Prabowo selaku pimpinan partai.
“Saya kira nanti pada waktunya kami akan memutuskan berada di dalam pemerintahan atau berada di luar pemerintahan, kami sudah serahkan kepada Pak Prabowo,” kata Fadli di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (3/8/2019).
Gerindra sendiri diakui Fadli saat ini masih menawarkan konsep pembangunan Indonesia kepada pemerintah seperti kedaulatan pangan, energi, ekonomi, nasionalisme, dan ketahanan BUMN.
Dari konsep itu pula nantinya akan menjadi bahan pertimbangan ke arah mana Gerindra akan bergabung.
Namun begitu, dijelaskan Fadli, apapun sikap ke depan yangvakan diambil Prabowo baik di dalam atau di luar pemerintah tujuannya ialah untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
“Saya kira yang paling penting ini adalah bagaimana kepentingan nasional terjaga, bagaimana negara kita bisa bangkit dan sebagainya dan untuk itu kita sejak awal memiliki pemikiran-pemikiran itulah,” kata dia.
“Kalau misalnya, misalnya bergabung dengan pemerintah yang kami tawarkan sebagai solusi karena yakin karena pemikiran-pemikiran kami bisa menyelesaikan sebagian dari masalah yang ada.”
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan sangat wajar kalau partainya memperoleh posisi kursi Ketua MPR RI karena secara elektoral menempati urutan kedua di Pemilu 2019.
“Saya kira wajar [Gerindra menginginkan kursi Ketua MPR RI] karena secara perolehan suara partai populer kedua terbesar di Pemilu 2019,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/8/2019).
Menurutnya, Partai Gerindra saat ini terus aktif melakukan komunikasi politik dengan partai-partai lain dan kelompok DPD RI dalam upaya meraih posisi Ketua MPR RI.
Saat ini, lanjutnya, masih banyak waktu untuk melakukan komunikasi politik karena pemilihan Pimpinan MPR dilakukan awal Oktober 2019 sehingga masih ada waktu dua bulan untuk melakukan penjajakan.
“Saya menilai ini masih dalam taraf komunikasi politik mencari kesesuaian dalam menentukan nanti apakah paket atau kita bermusyawarah, untuk itu nanti kita lihat,” ujarnya.
Namun Fadli belum bisa memastikan apakah sistem paket akan digunakan dalam pemilihan Pimpinan MPR RI dan saat ini komunikasi politik sudah berjalan dan semakin cair.
Menurut dia, bisa saja terjadi komunikasi-komunikasi yang menghasilkan berbagai kesepakatan dan saat ini semuanya masih dalam tahap penjajakan.
Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, merasa partainya wajar mendapatkan kursi pimpinan MPR di Senayan. Sebab perolehan suara Gerindra terbanyak kedua dalam Pileg 2019 sehingga layak dapat kursi pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat itu.
“Saya kira wajar secara partai, secara popularvote kedua terbesar, kita menginginkan berada di dalam posisi pimpinan MPR, saya kira sangat pantas. Gerindra ini nomor 2 secara suara masyarakat,” kata Fadli di kompleks parlemen di Jakarta, Senin 5 Agustus 2019.
Meski begitu, ia memastikan saat ini Gerindra akan melakukan komunikasi politik dengan partai-partai lain yang sejalan. Begitu pun komunikasi dengan DPD juga akan dijalin.
“Masih banyak waktu, ini kan kita awal Agustus, itu kan pemilihannya nanti awal Oktober. Jadi kurang lebih dua bulan lebih. Saya kira ini masih dalam taraf komunikasi politik, mencari kesesuaian di dalam menentukan nanti apakah paket apakah kita bermusyawarah untuk itu, nanti kita lihat,” kata Fadli.
Menurut Wakil Ketua DPR itu, komunikasi politik saat ini sudah berjalan. Bahkan sudah semakin cair. Karena itu, tentu bisa saja terbentuk posisi baru atau paket baru.
“Tentu bisa saja terjadi komunikasi-komunikasi yang menghasilkan posisi-posisi baru di dalam paket itu nantinya,” kata Fadli.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengungkapkan Prabowo Subianto sudah menawarkan konsep dan gagasan partai saat bertemu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Fadli yakin gagasan yang ditawarkan diterima pemerintah.
“Saya kira sudah secara lisan disampaikan (konsep) kedaulatan pangan, energi, ekonomi, nasionalisme ketahanan BUMN dan sebagainya. Itu bagian-bagian vital dari negara yang tidak bisa dikompromikan,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 5 Agustus 2019.
Namun, Fadli menyebut, konsep dan gagasan yang ditawarkan belum jaminan Gerindra merapat ke pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Keputusan final ada di tangan Prabowo.
“Pada akhirnya kita menyerahkan kepada Pak Prabowo untuk mengambil sikap,” ucap Fadli.
Fadli menambahkan hal utama bukanlah Gerindra bergabung dengan pemeritahan atau tidak. Ada hal yang lebih besar yaitu kepentingan bangsa dan negara.
“Bagaimana negara kita bisa bangkit dan sebagainya dan untuk itu kita sejak awal memiliki pemikiran-pemikiran itu. Kalau misalnya bergabung dengan pemerintah yang kita tawarkan sebagai solusi karena yakin karena pemikiran-pemikiran kami bisa menyelesaikan sebagian dari masalah yang ada,” jelas Fadli.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai praktik demokrasi di Indonesia dewasa ini tanpa ada kontrol legislatif, kontrol civil society, dan kontrol media, sehingga mudah tergelincir kepada otoritarianisme dan demokrasi yang terbentuk menjadi sekadar procedural.
“Pendulum demokrasi pada satu titik tertentu dapat berayun kembali menuju rezim otoritarianisme, bahkan bisa di negara-negara yang mempraktikkan demokrasi liberal,” kata Fadli, Jumat (19/7).
Dia juga menjelaskan, demokrasi Indonesia mengalami berbagai perkembangan dan tantangan. Eksperimen demokrasi terakhir adalah pemilu serentak di seluruh Indonesia.
Menurut dia, tantangan-tantangan terhadap demokrasi terus bermunculan seperti demokrasi digital, masyarakat yang terbelah, ancaman pembungkaman hanya karena perbedaan pendapat, pembajakan demokrasi melalui oligarki politik, hingga nepotisme. Tantangan demokrasi lainnya yakni semakin mahalnya ongkos demokrasi sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa lolos dalam permainan demokrasi.
Walaupun begitu, semua pihak meyakini jalan demokrasi masih merupakan pilihan paling layak. “Semua sepakat bahwa proses menuju demokrasi itu sesuatu yang berat, termasuk bagi sejumlah negara besar seperti AS dan Indonesia. Tetapi, demokrasi memberikan jalan untuk tetap mengontrol pemerintah dan membangun sistem check and balances yang kuat, sekaligus mengabdikan diri untuk kepentingan publik,” katanya.
Dia berpendapat, keterbukaan parlemen adalah keniscayaan karena sebagai lembaga legislatif, keterbukaan adalah kunci merebut kepercayaan publik. Sejumlah inisiatif telah dilakukan DPR seperti pengembangan SILEG, menjangkau media sosial, hingga aplikasi DPR Now! DPR juga bergabung dalam Open Parliament melalui Rencana Aksi Keterbukaan Parlemen ke Open Government Partnership (OGP).
“Namun, konsep tersebut tak sebatas hanya data informasi semata. Keterbukaan Legislatif adalah tentang mengembalikan kontrol kepada rakyat atas hal-hal yang harus mereka ketahui,” ujar Fadli.
Selama 6 tahun terakhir PT. Krakatau Steel terus menerus mengalami kerugian. Selain disebabkan oleh masalah internal perusahaan, kerugian ini juga akibat peraturan pemerintah yang memungkinkan terjadinya impor baja besar-besaran. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengkritik Pemerintah yang tidak mengeluarkan kebijakan strategis menghadapi persaingan industri global.
“Pemerintah kita belum juga merilis kebijakan untuk melindungi PT. Krakatau Steel dan industri logam nasional dari serbuan produk-produk impor,” kata Fadli dalam keterangan tertulisnya yang diterima pada Rabu (17/7/2019).
Legislator Fraksi Partai Gerindra ini menyayangkan pemerintah yang tidak memberikan perhatian pada industri baja nasional. “Alih-alih menyelamatkan industri baja nasional dan PT. Krakatau Steel, kebijakan pemerintah kita justru sering menjadi penyebab terpuruknya bidang ini,” ujar Fadli.
Ia juga mempertanyakan langkah Pemerintah, bagaimana bisa produk baja nasional kompetitif, jika Pemerintah malah membebaskan bea masuk baja-baja impor? ”Ini menjelaskan kenapa saat Pemerintah katanya sedang jorjoran membangun infrastruktur, industri logam nasional kita malah terpuruk dan bahkan sedang menuju kebangkrutan!” tegas Fadli.
Menurutnya serbuan baja impor yang terjadi beberapa tahun terakhir merupakan implikasi dari terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunan. “Aturan ini, sesudah saya baca kembali, memang ngawur,” tandasnya.
Jika sebelumnya standar komponen lokal hanya 50 persen untuk produk non-baja dan non-besi, syarat itu kini dinaikkan menjadi 75 persen. Sedangkan untuk produk baja dan besi, syarat kandungan lokal bahkan dinaikkan menjadi 95 persen.
Bahkan, Fadli Zon mengaku iri dengan kebijakan yang dikeluarkan Presiden Donald Trump dalam rangka melindungi produk-produk lokal Amerika Serikat (AS) melalui perintah eksekutif (Executive Order). “Kebijakan terbaru Presiden Trump ini terus terang membuat saya iri. Saat negara liberal seperti Amerika berusaha melindungi industri logam dasarnya sedemikian rupa,” paparnya.
Dalam aturan tersebut, memerintahkan agensi-agensi pemerintahan federal untuk membeli produk-produk dengan komponen lokal lebih tinggi, yang tentu saja perintah itu makin memperkuat standar preferensi barang lokal AS yang harus dibeli oleh pemerintah.
Selama 6 tahun terakhir PT. Krakatau Steel terus menerus mengalami kerugian. Selain disebabkan oleh masalah internal perusahaan, kerugian ini juga akibat peraturan pemerintah yang memungkinkan terjadinya impor baja besar-besaran. Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengkritik Pemerintah yang tidak mengeluarkan kebijakan strategis menghadapi persaingan industri global.
“Pemerintah kita belum juga merilis kebijakan untuk melindungi PT. Krakatau Steel dan industri logam nasional dari serbuan produk-produk impor,” kata Fadli dalam keterangan tertulisnya yang diterima Parlementaria, Rabu (17/7/2019).
Legislator Fraksi Partai Gerindra ini menyayangkan pemerintah yang tidak memberikan perhatian pada industri baja nasional. “Alih-alih menyelamatkan industri baja nasional dan PT. Krakatau Steel, kebijakan pemerintah kita justru sering menjadi penyebab terpuruknya bidang ini,” ujar Fadli.
Ia juga mempertanyakan langkah Pemerintah, bagaimana bisa produk baja nasional kompetitif, jika Pemerintah malah membebaskan bea masuk baja-baja impor? ”Ini menjelaskan kenapa saat Pemerintah katanya sedang jorjoran membangun infrastruktur, industri logam nasional kita malah terpuruk dan bahkan sedang menuju kebangkrutan!” tegas Fadli.
Menurutnya serbuan baja impor yang terjadi beberapa tahun terakhir merupakan implikasi dari terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja, Baja Paduan dan Produk Turunan. “Aturan ini, sesudah saya baca kembali, memang ngawur,” tandasnya.
Jika sebelumnya standar komponen lokal hanya 50 persen untuk produk non-baja dan non-besi, syarat itu kini dinaikkan menjadi 75 persen. Sedangkan untuk produk baja dan besi, syarat kandungan lokal bahkan dinaikkan menjadi 95 persen.
Bahkan, Fadli Zon mengaku iri dengan kebijakan yang dikeluarkan Presiden Donald Trump dalam rangka melindungi produk-produk lokal Amerika Serikat (AS) melalui perintah eksekutif (Executive Order). “Kebijakan terbaru Presiden Trump ini terus terang membuat saya iri. Saat negara liberal seperti Amerika berusaha melindungi industri logam dasarnya sedemikian rupa,” paparnya.
Dalam aturan tersebut, memerintahkan agensi-agensi pemerintahan federal untuk membeli produk-produk dengan komponen lokal lebih tinggi, yang tentu saja perintah itu makin memperkuat standar preferensi barang lokal AS yang harus dibeli oleh pemerintah.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyampaikan sejumlah pandangannya terkait praktik demokrasi di Indonesia dewasa ini. Dia mengatakan, tanpa ada kontrol legislatif, kontrol civil society, dan kontrol media, demokrasi yang terbentuk bakal menjadi sekadar prosedural tapi praktiknya mudah tergelincir kepada otoritarianisme.
“Pendulum demokrasi pada satu titik tertentu dapat berayun kembali menuju rezim otoritarianisme, bahkan bisa di negara-negara yang mempraktikkan demokrasi liberal,” kata Fadli, Jumat (19/7).
Dia juga menjelaskan, demokrasi Indonesia mengalami berbagai perkembangan dan tantangan. Eksperimen demokrasi terakhir adalah pemilu serentak di seluruh Indonesia.
Menurut dia, tantangan-tantangan terhadap demokrasi terus bermunculan seperti demokrasi digital, masyarakat yang terbelah, ancaman pembungkaman hanya karena perbedaan pendapat, pembajakan demokrasi melalui oligarki politik, hingga nepotisme. Tantangan demokrasi lainnya yakni semakin mahalnya ongkos demokrasi sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa lolos dalam permainan demokrasi.
Walaupun begitu, semua pihak meyakini jalan demokrasi masih merupakan pilihan paling layak. “Semua sepakat bahwa proses menuju demokrasi itu sesuatu yang berat, termasuk bagi sejumlah negara besar seperti AS dan Indonesia. Tetapi, demokrasi memberikan jalan untuk tetap mengontrol pemerintah dan membangun sistem check and balances yang kuat, sekaligus mengabdikan diri untuk kepentingan publik,” katanya.
Dia berpendapat, keterbukaan parlemen adalah keniscayaan karena sebagai lembaga legislatif, keterbukaan adalah kunci merebut kepercayaan publik. Sejumlah inisiatif telah dilakukan DPR seperti pengembangan SILEG, menjangkau media sosial, hingga aplikasi DPR Now! DPR juga bergabung dalam Open Parliament melalui Rencana Aksi Keterbukaan Parlemen ke Open Government Partnership (OGP).
“Namun, konsep tersebut tak sebatas hanya data informasi semata. Keterbukaan Legislatif adalah tentang mengembalikan kontrol kepada rakyat atas hal-hal yang harus mereka ketahui,” ujar Fadli.
Pendulum demokrasi pada satu titik tertentu dapat berayun kembali menuju rezim otoritarianisme, bahkan bisa di negara-negara yang mempraktikkan demokrasi liberal.
Demikian diungkapkan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam diskusi di Leadership Forum yang diselenggarakan Kongres Amerika Serikat dibawah naungan House Democracy Partnership (HDP), seperti diterima secara tertulis di Jakarta, Kamis sore 18 Juli 2019.
“Demokrasi itu susah, dan harus dikerjakan dengan komitmen merawat komitmen, nilai-nilai dan institusi-institusinya,” ungkap
Fadli Zon adalah salah seorang pembicara dan peserta Leadership Forum, di Thomas Jefferson Building, Library of Congress, Washington, DC AS, 16-17 Juli 2019. Acara ini baru pertama kali diselenggarakan oleh HDP, diikuti anggota Kongres AS, sejumlah senator, dan sekitar 16 Pimpinan Parlemen dari negara-negara Mitra HDP.
Fadli melanjutkan, demokrasi tidak hanya soal Pemilu yang bebas, jujur dan adil. Namun diantara pemilu itupun harus ada pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
“Tanpa ada kontrol legislatif, kontrol civil society dan media, demokrasi mudah tergelincir menjadi sekedar prosedural demokrasi tapi praktiknya otoritarianisme,” ungkap Waketum Partai Gerindra itu.
Selain itu, Fadli juga mengungkap tantangan demokrasi lainnya yakni semakin mahalnya ongkos demokrasi. Menurut Fadli, karena ongkos demokrasi mahal maka hanya “orang-orang kaya” saja yang bisa lolos dalam permainan demokrasi.
“Demokrasi itu susah dan harus dikerjakan dengan komitmen merawat komitmen, nilai-nilai, dan institusi-institusinya,” kata Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Menurut Fadli Zon, tak hanya soal Pemilu yang bebas, jujur dan adil, namun di antara pemilu itu pun harus ada pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
“Tanpa ada kontrol legislatif, kontrol civil society, dan media, demokrasi mudah tergelincir menjadi sekedar prosedural demokrasi tapi praktiknya otoritarianisme.”
“Tantangan demokrasi lainnya yakni semakin mahalnya ongkos demokrasi, sehingga hanya “orang-orang kaya” saja yang bisa lolos dalam permainan demokrasi,” ungkap Wakil Ketua DPR dan juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini dalam diskusi di Leadership Forum yang diselenggarakan Kongres Amerika Serikat di bawah naungan House Democracy Partnership (HDP).
“Pendulum demokrasi pada satu titik tertentu dapat berayun kembali menuju rezim otoritarianisme, bahkan bisa di negara-negara yang mempraktikkan demokrasi liberal,” katanya.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon adalah salah seorang pembicara dan peserta Leadership Forum di Thomas Jefferson Building, Library of Congress, Washington, DC AS, yang diselenggarakan tanggal 16-17 Juli 2019.
Acara ini baru pertama kali diselenggarakan oleh HDP, diikuti anggota Kongres AS, sejumlah senator, dan sekitar 16 Pimpinan Parlemen dari negara-negara Mitra HDP.
HDP Leadership Forum terselenggara atas dukungan National Democratic Institute dan International Republican Institute (IRI), dua lembaga non profit yang fokus pada penguatan demokrasi.
DPR RI diwakili oleh Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon (F Partai Gerindra) dan Desy Ratnasari (FPAN).
Dalam HDP Leadership Forum tersebut, menurut Fadli Zon, DPR AS melalui HDP bersama para Pimpinan Parlemen berdiskusi dan bertukar pikiran tentang isu-isu terbaru demokrasi.
“Sejumlah pembahasan mengemuka untuk menyikapi ancaman global terhadap demokrasi yang berkembang, saat ini, seperti berkembangnya otoritarianisme, propaganda anti demokrasi, polarisasi politik, hingga korupsi.”
“Pertemuan ini penting untuk mendengar situasi dan tren yang ada dan berkembang di negara-negara demokrasi baru.”
“Ada kecenderungan indeks demokrasi terus menurun secara global,” katanya.
Forum yang berlangsung selama dua hari itu membahas sejumlah topik diskusi seperti: upaya menjaga independensi lembaga legislatif dari tindakan otoritarianisme, polarisasi politik dan upaya lintas-partai untuk mengatasinya, tantangan baru demokrasi bagi Parlemen, hingga keterbukaan Parlemen dalam mendapatkan kepercayaan publik.
Pada forum tersebut, Fadli Zon juga menjelaskan bahwa demokrasi Indonesia mengalami berbagai perkembangan dan tantangan.
Eksperimen demokrasi terakhir adalah Pemilu serentak di seluruh Indonesia.
Tantangan-tantangan terhadap demokrasi terus bermunculan seperti demokrasi digital, masyarakat yang terbelah, ancaman pembungkaman hanya karena berbeda pendapat, pembajakan demokrasi melalui oligarki politik hingga nepotisme.
Pada pertemuan tersebut, kata Fadli Zon, para pihak meyakini jalan demokrasi masih merupakan pilihan paling layak.
“Semua sepakat bahwa proses menuju demokrasi itu sesuatu yang berat, termasuk bagi sejumlah negara besar seperti AS dan Indonesia.”
“Tetapi, demokrasi memberikan jalan untuk tetap mengontrol pemerintah dan membangun sistem check and balances yang kuat, sekaligus mengabdikan diri untuk kepentingan publik,” katanya.
Selain berbagi soal demokrasi, Fadli Zon juga menyampaikan paparan mengenai parlemen terbuka.
“Keterbukaan Parlemen adalah keniscayaan karena sebagai lembaga legislatif, keterbukaan adalah kunci merebut kepercayaan publik.”
“Sejumlah inisiatif telah dilakukan DPR seperti pengembangan SILEG, menjangkau media sosial, hingga aplikasi DPR Now!”
“DPR juga bergabung dalam Open Parliament melalui Rencana Aksi Keterbukaan Parlemen ke Open Government Partnership (OGP).”
“Segala langkah itu untuk mendorong keterbukaan,” katanya.
Namun, kata Fadli Zon, konsep tersebut tak sebatas hanya data informasi semata.
Keterbukaan Legislatif adalah tentang mengembalikan kontrol kepada rakyat atas hal-hal yang harus mereka ketahui.