Blog

Fadli Zon Benarkan Kabar Probowo Kunjungi Hatta Rajasa

Fadli Zon Benarkan Kabar Probowo Kunjungi Hatta Rajasa

Fadli Zon Benarkan Kabar Probowo Kunjungi Hatta Rajasa
Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Fadli Zon membenarkan kedatangan Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto ke rumah Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Kompleks Perumahan Golf Mansion No 26, Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, Minggu (3/2/2013) malam.

“Benar, malam ini beliau (Prabowo) mengunjungi Hatta Rajasa,” kata Fadli.

Namun demikian, Fadli enggan mengatakan jika kedatangan Prabowo untuk membahas koalisi partai Gerindra dengan PAN dalam Pemilu 2014 mendatang, diakuinya bahwa kedatangan Prabowo hanya sekedar silahturahmi.

“Hanya silaturahmi,” terang Fadli.

Sebelumnya Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto dikabarkan akan melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN Hatta Rajasa di kediaman Hatta di Kompleks Perumahan Golf Mansion No 26, Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan.

Gerindra: Hukum Lemah, Indonesia Pasar Potensial Narkoba

Gerindra: Hukum Lemah, Indonesia Pasar Potensial Narkoba

Gerindra Hukum Lemah, Indonesia Pasar Potensial Narkoba
Pemerintah dianggap tidak memiliki taji yang kuat untuk mengatasi masalah narkoba. Malah, kasus penggunaan narkoba beberapa tahun belakangan makin meningkat. Ini menandakan masih maraknya peredaran narkoba di masyarakat karena lemahnya hukum di Indonesia.

“Hukum di Indonesia lunak untuk mereka. Berbeda dengan Malaysia atau Singapura yang langsung menerapkan hukuman mati. Akibatnya sindikat internasional dari Iran, Malaysia, Belanda, dan Hong Kong memandang Indonesia sebagai pasar potensial industri narkoba,” kata Wakil Ketua DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, di Jakarta, Ahad (3/2).

Menurut Fadli, narkoba seharusnya jangan dilihat secara parsial. Sehingga akhirnya terjebak penanganan eksesnya saja. Namun, harus melihat pangkal masalahnya, yakni penegakan hukum kasus narkoba yang masih lemah.

“Harusnya status mereka pengedar atau bandar, tapi turun menjadi pemakai. Sehingga, jaringan narkoba meningkat karena hukum lemah,” cetus dia.

Jadi, ujar Fadli, tak aneh jika pengguna narkoba terus meningkat tiap tahun. Ini lantaran pemerintah agak permisif dan kondusif untuk para pengguna narkoba. Hingga saat ini, lebih dari 5,8 juta jiwa penduduk Indonesia mengonsumsi narkoba.

Kerugian negara atas maraknya kasus narkoba sendiri mencapai Rp 40 triliun per tahun. Sedangkan, perputaran uang Industri narkoba di Indonesia mencapai Rp 23 triliun per tahunnya.

“Narkoba ini juga lebih berbahaya dari terorisme, yaitu per jam secara nasional dua orang mati karena narkoba,” ucap Fadli.

Mengaca dari segudang kasus yang ada, menurut Fadli, kebijakan penanganan narkoba harus bersifat preventif. Misalnya, dengan berani memberi hukuman yang lebih tegas dan keras. Badan Narkotika Nasional (BNN) dan seluruh aparat penegak hukum juga harus dipastikan kebersihannya dari intervensi mafia narkoba.

Indonesia Jadi Pasar Narkoba karena Hukum Lemah

Indonesia Jadi Pasar Narkoba karena Hukum Lemah

Indonesia Jadi Pasar Narkoba karena Hukum Lemah

Kasus penggunaan narkoba beberapa tahun belakangan makin meningkat. Ini menandakan masih maraknya peredaran narkoba di masyarakat. Namun, soal narkoba ini jangan dilihat secara parsial yang akhirnya terjebak penanganan eksesnya saja.

Wakil Ketua Umum DPP Gerindra, Fadli Zon, mengatakan, pangkal masalahnya adalah penegakan hukum kasus narkoba yang masih lemah. Penegakan hukum kasus narkoba sering gunakan pasal yang minimalis. Harusnya status mereka pengedar atau bandar, turun menjadi pemakai. Sehingga, jaringan narkoba meningkat karena hukum lemah.

“Pemberian grasi pemerintah pada para terdakwa, menjadi bukti lemahnya hukum kasus narkoba. Jika terus ada grasi dalam kasus ini, Indonesia tak akan bebas dari narkoba. Tak aneh jika pengguna narkoba terus meningkat tiap tahun. Kita agak permisif dan kondusif untuk para pengguna narkoba,” kata Fadli kepada Okezone, Minggu (3/2/2013).

Hingga saat ini lanjut dia, lebih dari 5.8 juta jiwa penduduk Indonesia mengkonsumsi narkoba. Kerugian negara atas maraknya kasus narkoba ini mencapai 40 triliun rupiah pertahun. Sementara, perputaran uang industri narkoba di Indonesia mencapai Rp23 triliun pertahunnya.

“Narkoba ini juga lebih berbahaya dari terorisme, dimana per jam secara nasional dua orang mati karena narkoba,” jelas dia.

Kata dia, lemahnya hukum juga membuat mafia narkoba bebas beraksi. Hukum di Indonesia lunak untuk mereka. Berbeda dengan Malaysia atau Singapura yang langsung menerapkan hukuman mati. Akibatnya sindikat internasional dari Iran, Malaysia, Belanda, dan Hongkong memandang Indonesia sebagai pasar potensial industri narkoba.

Maka kata dia, kebijakan penanganan narkoba juga harus preventif. Berani beri hukuman yang lebih tegas dan keras. Badan Narkotika Nasional (BNN) dan seluruh aparat penegak hukum juga harus dipastikan kebersihannya dari intervensi mafia narkoba. Sehingga, sanksi berat berupa hukuman mati bagi para bandar narkoba, dapat ditegakkan tanpa keraguan. “Partai Gerindra anggap narkoba adalah ancaman nasional yang serius,” pungkasnya.

Gerindra: Penegakan Hukum Kasus Narkoba Masih Lemah

Gerindra: Penegakan Hukum Kasus Narkoba Masih Lemah

Gerindra Penegakan Hukum Kasus Narkoba Masih Lemah

Kasus penggunaan narkoba beberapa tahun belakangan makin meningkat, yang menandakan masih maraknya peredaran narkoba di masyarakat. Pangkal masalahnya adalah penegakan hukum kasus narkoba yang masih lemah,

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menilai lemahnya penegakan hukum pada kasus penyalahgunaan dan pengedaran narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) mengakibatkan Indonesia dipilih sebagai negara sasaran bagi para pengedar narkoba.

“Kasus penggunaan narkoba beberapa tahun belakangan makin meningkat, yang menandakan masih maraknya peredaran narkoba di masyarakat. Pangkal masalahnya adalah penegakan hukum kasus narkoba yang masih lemah,” kata Fadli di Jakarta, Minggu (31/2).

Menurut dia, penanganan hukum terhadap kasus penyalahgunaan dan pengedaran narkoba seringkali hanya menggunakan pasal yang ‘minimalis’.

“Misalnya, status mereka harusnya pengedar atau bandar, tapi akhirnya turun menjadi pemakai. Hal seperti ini yang membuat jaringan narkoba di Indonesia meningkat karena hukum lemah,” ujarnya.

Selanjutnya, dia menilai pemberian grasi pemerintah pada para terdakwa pemakai dan pengedar narkoba menjadi bukti lemahnya hukum dalam menangani kasus narkoba.

“Jika terus ada grasi dalam kasus ini, Indonesia tak akan bebas dari narkoba. Tidak aneh jika pengguna narkoba terus meningkat tiap tahun. Kita agak permisif dan kondusif untuk para pengguna narkoba,” kata Fadli.

Dia menambahkan, hingga saat ini, lebih dari 5,8 juta jiwa penduduk Indonesia mengonsumsi narkoba. Kemudian, kerugian negara atas maraknya kasus narkoba diperkirakan mencapai Rp40 triliun per tahun.

“Sementara itu, perputaran uang dalam industri narkoba di Indonesia mencapai Rp23 triliun pertahun. Narkoba ini juga lebih berbahaya dari terorisme, karena data nasional menunjukkan, tiap satu jam dua orang mati karena overdosis ketika memakai narkoba,” paparnya.

Selanjutnya, dia berpendapat, lemahnya penegakan hukum di Indonesia dibandingkan dengan di beberapa negara lain telah membuat mafia narkoba bebas beraksi.

“Hukum di Indonesia lunak untuk mereka. Berbeda dengan Malaysia atau Singapura yang langsung menerapkan hukuman mati. Akibatnya sindikat internasional dari Iran, Malaysia, Belanda, dan Hongkong memandang Indonesia sebagai pasar potensial industri narkoba,” katanya.

Oleh karena itu, dia menyarankan kebijakan penanganan kasus penyalahgunaan dan pengedaran narkoba harus lebih bersifat preventif.

Dia juga menekankan agar Badan Narkotika Nasional (BNN) dan seluruh aparat penegak hukum dipastikan ‘kebersihannya’ dari intervensi para mafia narkoba.

“Sehingga nantinya sanksi berat berupa hukuman mati bagi para bandar narkoba dapat dilaksanakan tanpa keraguan,” ujar Fadli.

Mengapa Indonesia Jadi Pasar Narkoba

Mengapa Indonesia Jadi Pasar Narkoba

Mengapa Indonesia Jadi Pasar NarkobaBeberapa tahun belakangan ini kasus penggunaan narkoba semakin meningkat. Ini menandakan masih maraknya peredaran narkoba di masyarakat.

Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, beberapa saat lalu (Minggu, 3/2), persoalan narkoba ini tidak bisa dilihat secara parsial yang akhirnya terjebak penanganan eksesnya saja. Sebab pangkal masalah ini adalah penegakan hukum kasus narkoba yang masih lemah, dan masih sering menggunakan pasal yang minimalis. Akibat hukum yang lemah ini maka jaringan narkoba terus meningkat.

Pemberian grasi pemerintah pada para terdakwa, misalnya, lanjut Fadli, menjadi bukti betapa lemahnya hukum. Dan bila saja ada grasi terus menerus dalam kasus ini, dipastikan Indonesia tak akan bebas dari narkoba. Tak aneh bila pengguna narkoba terus meningkat tiap tahun sebab Indonesia agak permisif dan kondusif untuk para pengguna narkoba.

Hingga saat ini, Fadli mencatat, lebih dari 5.8 juta jiwa penduduk Indonesia mengkonsumsi narkoba, sementara kerugian negara atas maraknya kasus narkoba mencapai Rp 40 triliun per tahun. Sedangkan perputaran uang Industri narkoba di Indonesia mencapai 23 triliun rupiah pertahunnya.

“Narkoba ini juga lebih berbahaya dari terorisme, dimana per jam secara nasional dua orang mati karena narkoba,” tegas Fadli, sambil mengatakan bahwa lemahnya hukum juga membuat mafia narkoba bebas beraksi, dan ini berbeda dengan di Malaysia atau Singapura yang langsung menerapkan hukuman mati. Akibatnya sindikat internasional dari Iran, Malaysia, Belanda, dan Hongkong memandang Indonesia sebagai pasar potensial industri narkoba.

Fadli menyarankan agar kebijakan penanganan narkoba bersifat preventif. Misalnya dengan berani memberi hukuman yang lebih tegas dan keras. Sementara itu, BNN dan seluruh aparat penegak hukum juga harus dipastikan kebersihannya dari intervensi mafia narkoba sehinggasanksi berat berupa hukuman mati bagi para bandar narkoba, dapat ditegakkan tanpa keraguan.

“Partai Gerindra anggap narkoba adalah ancaman nasional yang serius,” demikian Fadli.

Kesenjangan Tak Bisa Diatasi dengan Pendekatan Keamanan

Kesenjangan Tak Bisa Diatasi dengan Pendekatan Keamanan

Kesenjangan Tak Bisa Diatasi dengan Pendekatan Keamanan
JAKARTA – Tak hanya kalangan LSM saja yang cemas dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Gangguan Keamanan. Kalangan partai politik pun ikut waswas dengan Inpres yang disebut-sebut sebagai Inpres Kamtibmas itu.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, mengatakan, konflik sosial sepanjang 2012 lalu memang marak dan tidak tertangani dengan baik. Karenanya, Fadli menganggap Inpres yang diberlakukan sejak 28 Januari 2013 itu memang menunjukkan keinginan kuat pemerintah menyelesaikan konflik sosial.

Namun di sisi lain, Inpres ini bukti bahwa pemerintah gagal mengatasi sumber konflik yang selama ini sudah ada. “Inpres ini lebih menggunakan pendekatan keamanan dalam penanganannya ketimbang pencegahan,” kata Fadli di Jakarta, Sabtu (2/2).

Politisi muda yang juga dikenal sebagai peneliti sejarah itu berharap Inpres itu tidak membuat aparat keamanan di lapangan bertindak ceroboh dan represif dalam menangani konflik sosial dan bertindak represif. Sebab menurutnya, hak-hak sipil politik masyarakat tidak boleh dilanggar.

“Jadi seharusnya Presiden bisa responsif mengidentifikasi akar konflik sosial yang ada. Salah satu yang marak adalah konflik agraria. Petani seringkali dirugikan bahkan menjadi korban dalam penanganannya,” urainya.

Ia pun mengingatkan, peran aparat keamanan sebenarnya hanya untuk mencegah agar konflik tidak meluas. Namun jika akar masalah tidak diselesaikan, lanjut Fadli, maka percuma saja pemerintah mengeluarkan Inpres itu.

“Karena itu, pemerintah juga harus fokus menggunakan pendekatan lain. Sumber konflik sosial utamanya adalah kesenjangan ekonomi dan ketimpangan kesejahteraan. Permasalahan ini strategis untuk bisa memadamkan sumber konflik sosial di masyarakat. Sehinggga, pendekatan ekonomi dan kesejahteraan cukup penting dilakukan juga,” pungkasnya

Gerindra: Inpres Kamtibmas, Bukti SBY Gagal

Gerindra: Inpres Kamtibmas, Bukti SBY Gagal

Gerindra: Inpres Kamtibmas, Bukti SBY GagalPresiden SBY baru saja mengeluarkan Inpres No II Tahun 2013 tentang Kamtibmas, untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan gangguan keamanan. Banyak konflik sosial di tahun 2012 yang tak tertangani dengan baik, menjadi landasan dikeluarkannya inpres tersebut.

Politisi Partai Gerindra Fadli Zon mengungkap, inpres diterbitkan untuk mencegah meluasnya konflik sosial. Dengan inpres ini, Polri dan pimpinan daerah diminta tak ragu menangani langsung kerusuhan sosial di masyarakat.

“Keluarnya inpres ini di satu sisi tampak menunjukkan keinginan kuat pemerintah menyelesaikan konflik sosial. Namun di sisi lain, Inpres ini bukti bahwa pemerintah gagal mengatasi sumber konflik yang selama ini sudah ada. Inpres ini lebih menggunakan pendekatan keamanan dalam penanganannya ketimbang pencegahan,” tegas Fadli Zon, Sabtu (2/2).

Ia berharap, jangan sampai Inpres membuat aparat keamanan di lapangan bertindak prematur menangani konflik sosial dan bertindak represif. Hak-hak sipil politik masyarakat, Fadli mengingatkan, jangan terlanggar.

“Harusnya Presiden juga bisa responsif mengidentifikasi akar konflik sosial yang ada. Salah satu yang marak adalah konflik agraria. Petani seringkali dirugikan bahkan menjadi korban dalam penanganannya,” ujarnya.

Peran aparat keamanan hanya mencegah meluasnya konflik, namun jika sumber konflik tak diselesaikan akan percuma saja. Karena itu, imbuhnya,pemerintah juga harus fokus menggunakan pendekatan lain.

“Sumber konflik sosial utamanya adalah kesenjangan ekonomi dan ketimpangan kesejahteraan. Permasalahan ini strategis untuk bisa memadamkan sumber konflik sosial di masyarakat. Sehinggga, pendekatan ekonomi dan kesejahteraan cukup penting dilakukan,” pungkas Fadli Zon.

Keluarkan Inpres Kamtibmas, Pemerintah Gagal Atasi Konflik

Keluarkan Inpres Kamtibmas, Pemerintah Gagal Atasi Konflik

Keluarkan Inpres Kamtibmas, Pemerintah Gagal Atasi Konflik

JAKARTA – Partai Gerindra menilai, keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2/2013 tentang keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) sebagai kegagalan pemerintah dalam mengatasi sumber konflik. Apalagi, inpres ini lebih menggunakan pendekatan keamanan dalam penanganannya ketimbang pencegahan.

“Jangan sampai inpres ini membuat aparat keamanan di lapangan bertindak prematur menangani konflik sosial dan bertindak represif. Hak-hak sipil politik masyarakat jangan terlanggar,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, Sabtu (2/2).

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baru saja mengeluarkan Inpres Kamtibmas. Inpres ini dikeluarkan untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan gangguan keamanan. Banyak konflik sosial di tahun 2012 yang tak tertangani dengan baik, menjadi landasan dikeluarkannya inpres tersebut.

Pemerintah beralasan, inpres ini diterbitkan untuk mencegah meluasnya konflik sosial. Dengan begitu, Polri dan pimpinan daerah diminta tak ragu menangani langsung kerusuhan sosial di masyarakat.

“Keluarnya inpres ini di satu sisi tampak menunjukkan keinginan kuat pemerintah menyelesaikan konflik sosial. Namun di sisi lain, Inpres ini bukti bahwa pemerintah gagal,” lanjut Fadli. Seharusnya, kata dia, presiden bisa responsif mengidentifikasi akar konflik sosial yang ada.

Inpres No.2 th 2013 Bukti Kegagalan SBY Jamin Kamtibmas

Inpres No.2 th 2013 Bukti Kegagalan SBY Jamin Kamtibmas

Inpres No.2 th 2013 Bukti Kegagalan SBY Jamin Kamtibmas
Inpres ini tidak malah membuat jajaran aparat keamanan di lapangan bertindak berlebihan dalam menangani konflik sosial di masyarakat. Karena bagaimana pun hak-hak sipil dan politik masyarakat tetap tidak boleh dilanggar oleh pihak mana pun. Jakarta, Inpres No II tahun 2013 tentang Kamtibmas yang baru saja diberlakukan oleh
Presiden SBY adalah bukti kegagalan pemerintah dalam menjamin keamanan dan mengelola konflik di Indonesia.

“Ke luarnya inpres ini di satu sisi tampak menunjukkan keinginan kuat pemerintah menyelesaikan konflik sosial. Namun di sisi lain, Inpres ini bukti bahwa pemerintah gagal mengatasi sumber konflik yang selama ini sudah ada,” ujarnya Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon melalui siaran pers yang diterima Aktual.co, Sabtu, (02/02).

Fadli berharap agar Inpres ini tidak malah membuat jajaran aparat keamanan di lapangan bertindak berlebihan dalam menangani konflik sosial di masyarakat. Karena bagaimana pun hak-hak sipil dan politik masyarakat tetap tidak boleh dilanggar oleh pihak mana pun.

“Jangan sampai Inpres itu membuat aparat keamanan di lapangan bertindak prematur menangani konflik sosial dan bertindak represif. Hak-hak sipil politik masyarakat jangan terlanggar.” Tambahnya

Dia meminta presiden SBY agar lebih responsif mengidentifikasi akar dari konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Karena sebenarnya sumber konflik yang paling utama adalah masalah kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan.

“Seharusnya Presiden bisa responsif mengidentifikasi akar konflik sosial yang ada. Sumber konflik sosial utamanya adalah kesenjangan ekonomi dan ketimpangan kesejahteraan. Permasalahan ini strategis untuk bisa memadamkan sumber konflik sosial di masyarakat.” Pungkasnya.

Gerindra Kritik SBY Soal Inpres Kamtibmas

Gerindra Kritik SBY Soal Inpres Kamtibmas

Fadli Zon Gerindra Siap Hadapi Pemilu 2014Jakarta – Partai Gerindra mengkritik langkah Presiden SBY yang baru saja mengeluarkan Inpres No II Tahun 2013 tentang Kamtibmas. Inpres ini sejatinya dikeluarkan untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan gangguan keamanan.

“Keluarnya inpres ini di satu sisi tampak menunjukkan keinginan kuat pemerintah menyelesaikan konflik sosial. Namun di sisi lain, Inpres ini bukti bahwa pemerintah gagal mengatasi sumber konflik yang selama ini sudah ada. Inpres ini lebih menggunakan pendekatan keamanan dalam penanganannya ketimbang pencegahan,” kata Waketum Gerindra Fadli Zon dalam keterangannya, Sabtu (2/2/2013).

Fadli menilai, banyak konflik sosial di tahun 2012 yang tak tertangani dengan baik, kiranya menjadi landasan dikeluarkannya inpres tersebut. Inpres diterbitkan untuk mencegah meluasnya konflik sosial. Dengan inpres ini, Polri dan pimpinan daerah diminta tak ragu menangani langsung kerusuhan sosial di masyarakat.

“Jangan sampai Inpres membuat aparat keamanan di lapangan bertindak prematur menangani konflik sosial dan bertindak represif. Hak-hak sipil politik masyarakat jangan terlanggar,” imbuhnya.

Seharusnya, lanjut Fadli Zon, presiden juga bisa responsif mengidentifikasi akar konflik sosial yang ada. Salah satu yang marak adalah konflik agraria. Petani seringkali dirugikan bahkan menjadi korban dalam penanganannya.

“Peran aparat keamanan hanya mencegah meluasnya konflik, namun jika sumber konflik tak diselesaikan akan percuma saja. Karena itu, pemerintah juga harus fokus menggunakan pendekatan lain,” imbuhnya.

Sumber konflik sosial utamanya adalah kesenjangan ekonomi dan ketimpangan kesejahteraan. Permasalahan ini dinilai Fadli Zon cukup strategis untuk bisa memadamkan sumber konflik sosial di masyarakat.

“Sehinggga, pendekatan ekonomi dan kesejahteraan cukup penting dilakukan juga,” sarannya.