Blog

Gerindra Nilai RI Dikerangkeng Demokrasi Kriminal

Gerindra Nilai RI Dikerangkeng Demokrasi Kriminal

Gerindra Nilai RI Dikerangkeng Demokrasi KriminalDemokrasi tumbuh, tapi tak berkembang, malah cacat parah. Jakarta – Maraknya praktik korupsi saat ini, merupakan isyarat bahwa ada yang salah dengan demokrasi Indonesia karena pertumbuhan demokrasi diiringi pertumbuhan praktik korupsi.

Korupsi terjadi di sisi anggaran, proyek daerah, skandal bank, hingga makelar impor.

“Kesalahan utama karena memang desain politik kita dibentuk tanpa sistem hukum yang kuat. Akibatnya hukum tak berwibawa dan menjadi subordinasi politik,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, di Jakarta, Selasa (5/2).

Akibatnya, demokrasi seolah nampak kuat, seperti ditunjukkan dengan adanya pemilu langsung, pilkada, kebebasan media, dan partai politik, namun sejatinya supremasi hukum tak berjalan. Hasilnya, demokrasi tumbuh, tapi tak berkembang, malah cacat parah.

“Sistem hukum lemah sangat mendorong praktik politik yang cacat atau sering disebut deffective politics, dan korup. Pada akhirnya para koruptor bisa menjadi penguasa. Dengan posisi itulah, desain hukum kita direkayasa. Inilah yang saya sebut dengan demokrasi kriminal,” tandasnya.

Pada kondisi penguasa korup memiliki akses terhadap sumber daya keuangan, kata dia, koruptor kemudian ikut berpolitik dan mengambil alih tongkat kuasa melalui pemilu. Sehingga ketika sudah berkuasa, korupsinya semakin hebat.

“Bahkan sistem hukumnya diperlemah untuk melanggengkan praktik korupsi. Terbentuklah rezim demokrasi kriminal dan ‘Republik Mafia’,” tandas Fadli Zon.

Menurut Fadli Zon, masalahnya ada di pengadopsian demokrasi liberal ala Barat yang di Indonesia berubah menjadi demokrasi kriminal.

Ujung-ujungnya, demokrasi sulit menciptakan kesejahteraan bagi rakyat karena substansi demokrasi sudah dirampok para penjahat politik melalui praktek korupsinya.

“Kita kini terjebak dalam suatu bentuk rezim demokrasi kriminal. Satu-satunya jalan adalah mengubah lapis kepemimpinan nasional alias Revolusi dari Atas,” tegas dia.

Gerindra: Ada Yang Salah Dengan Demokrasi Indonesia

Gerindra: Ada Yang Salah Dengan Demokrasi Indonesia

Gerindra: Ada Yang Salah Dengan Demokrasi Indonesia

Sistem hukum yang lemah mendorong praktik politik yang cacat dan korup, sehingga akhirnya para koruptor justru menjadi penguasa. Jakarta, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan bahwa tingginya praktik korupsi yang terjadi di Indonesia membuktikan ada yang salah dengan demokrasi yang berjalan saat ini.

“Maraknya praktik korupsi saat ini, merupakan isyarat ada yang salah dengan demokrasi kita. Pertumbuhan demokrasi diiringi pertumbuhan praktik korupsi. Korupsi anggaran, proyek daerah, skandal bank, hingga makelar impor,” ujarnya melalui rilis yang diterima Aktual.co, Selasa, (5/2).

Dia menyebut bahwa kesalahan utama dalam desain politik di Indonesia adalah karena tidak adanya sistem hukum yang kuat. Akibat hukum yang ada tidak kuat, sehingga demokrasi menjadi cacat.

“Kesalahan utama karena memang desain politik kita dibentuk tanpa sistem hukum yang kuat. Akibatnya hukum tak berwibawa dan menjadi subordinasi politik, namun sejatinya supremasi hukum tak berjalan. Hasilnya, demokrasi kita tumbuh, tapi tak berkembang, malah cacat parah,” tambahnya.

Sistem hukum yang lemah mendorong praktik politik yang cacat dan korup, sehingga akhirnya para koruptor justru menjadi penguasa.

“Dengan posisi itulah, desain hukum kita direkayasa,” terangnya.

Sehingga wajar jika demokrasi sulit memberikan kesejahteraan bagi rakyat indonesia, karena subtansi demokrasi sudah dirampok oleh penjahat politik melalui praktik korupsi.

Perlu Revolusi dari Atas untuk Mengubur Rezim Demokrasi Kriminal!

Perlu Revolusi dari Atas untuk Mengubur Rezim Demokrasi Kriminal!

Perlu Revolusi dari Atas untuk Mengubur Rezim Demokrasi Kriminal!Maraknya praktek korupsi saat ini, merupakan isyarat bahwa ada yang salah dengan demokrasi Indonesia. Pertumbuhan demokrasi diiringi pertumbuhan praktek korupsi seperti korupsi anggaran, proyek daerah, skandal bank, hingga makelar impor.

“Kesalahan utama karena memang desain politik kita dibentuk tanpa sistem hukum yang kuat. Akibatnya hukum tak berwibawa dan menjadi subordinasi politik,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Selasa, 5/2).

Demokrasi, lanjut Fadli, seolah nampak kuat seperti ditunjukkan adanya pemilu langsung, pilkada, kebebasan media, dan partai politik. Namun sejatinya supremasi hukum tak berjalan sehingga hasilnya demokrasi memang tumbuh, tapi tak berkembang, dan bahkan malah cacat parah.

Sistem hukum yang lemah ini, masih kata Fadli, sangat mendorong praktik politik yang cacat dan korup. Dan pada akhirnya para koruptor bisa menjadi penguasa. Dengan posisi itulah, desain hukum Indonesia direkayasa.

“Inilah yang saya sebut dengan demokrasi kriminal,” tegas Fadli.

Dengan akses terhadap sumber daya keuangan, kata Fadli, koruptor kemudian ikut berpolitik dan mengambil alih tongkat kuasa melalui pemilu. Sehingga ketika sudah berkuasa, korupsinya semakin hebat. Di saat yang sama, sistem hukumnya diperlemah untuk melanggengkan praktik korupsi, dan terbentuklah rezim demokrasi kriminal dan Republik Mafia.

“Pengadopsian Demokrasi liberal ala Barat berubah menjadi demokrasi kriminal. Sebab, sistem saat ini sangat kondusif bagi para penjahat untuk menjadi penguasa. Kolaborasi kekuatan uang dan popularitas menenggelamkan politisi yang benar-benar amanah dan punya kapasitas,” jelas Fadli.

Sehingga wajar, ungkap Fadli, jika demokrasi sulit menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, substansi demokrasi ini sudah dirampok para penjahat politik melalui praktek korupsinya. Akhirnya segelintir elit saja yang sejahtera, sementara rakyat terendam dalam kesengsaraan.

“Kita kini terjebak dalam suatu bentuk rezim demokrasi kriminal. Satu-satunya jalan adalah mengubah lapis kepemimpinan nasional, yaitu revolusi dari atas,” tegas Fadli.

Gerindra: Demokrasi tak Sehat Bikin Korupsi Marak

Gerindra: Demokrasi tak Sehat Bikin Korupsi Marak

Gerindra: Demokrasi tak Sehat Bikin Korupsi MarakJAKARTA – Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon menyatakan, maraknya praktik korupsi saat ini merupakan isyarat ada yang salah dengan demokrasi di Indonesia. “Pertumbuhan demokrasi diiringi pertumbuhan praktik korupsi. Mulai dari korupsi anggaran, proyek daerah, skandal bank, hingga makelar impor,” kata Fadli Zon kepada Selasa (5/1).

Fadli Zon menyebut, kesalahan utama karena memang desain politik di negeri ini dibentuk tanpa sistem hukum yang kuat. Akibatnya hukum tak berwibawa dan menjadi subordinasi politik. Demokrasi seolah tampak kuat, seperti ditunjukkan adanya pemilu langsung, pilkada, kebebasan media, dan partai politik.

“Namun sejatinya supremasi hukum tak berjalan. Hasilnya, demokrasi tumbuh tapi tak berkembang dan malah cacat parah,” tambahnya.

Dikatakan, sistem hukum lemah sangat mendorong praktik politik yang cacat dan korup. Pada akhirnya para koruptor bisa menjadi penguasa. “Dengan posisi itulah, desain hukum kita direkayasa. Inilah yang saya sebut dengan demokrasi kriminal,” paparnya.

Ditambahkan, dengan akses terhadap sumber daya keuangannya itu, koruptor ikut berpolitik dan mengambil alih kekuasaan melalui pemilu. Pada saat sudah berkuasa, imbuh dia, maka korupsinya semakin hebat. Bahkan sistem hukumnya diperlemah untuk melanggengkan praktik korupsi. “Terbentuklah rezim demokrasi kriminal dan “Republik Mafia”,” kata Fadli.

Ia mengungkapkan, pengadopsian demokrasi liberal ala barat berubah menjadi demokrasi kriminal. Sebab, sistem saat ini sangat kondusif bagi para penjahat untuk menjadi penguasa. Kolaborasi kekuatan uang dan popularitas menenggelamkan politisi yang benar-benar amanah dan punya kapasitas.

Sehingga wajar jika demokrasi sulit menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, substansi demokrasi ini sudah dirampok para penjahat politik melalui praktek korupsinya. “Akhirnya segelintir elit saja yang sejahtera, sementara rakyat terendam dalam kesengsaraan. Kita kini terjebak dalam suatu bentuk rezim demokrasi kriminal. Satu-satunya jalan adalah mengubah lapis kepemimpinan nasional, Revolusi dari Atas,” pungkas Fadli.

Gerindra: Sistem Hukum yang Lemah Dorong Praktik Politik Korup

Gerindra: Sistem Hukum yang Lemah Dorong Praktik Politik Korup

Gerindra: Sistem Hukum yang Lemah Dorong Praktik Politik Korup Gerindra meminta agar penegakan hukum dilakukan secara tegas. Termasuk dalam ranah politik. Siapapun yang terbukti melakukan praktik korupsi sesuai hukum harus diusut. Bila hukum lemah, yang muncul justru praktik politik korup.

“Sistem hukum lemah sangat mendorong praktik politik yang cacat (deffective politics) dan korup. Pada akhirnya para koruptor bisa menjadi penguasa. Dengan posisi itulah, desain hukum kita direkayasa. Inilah yang saya sebut dengan demokrasi kriminal,” jelas Waketum Gerindra Fadli Zon dalam keterangannya, Selasa (4/2/2013).

Maraknya praktik korupsi saat ini, lanjut Fadli, merupakan isyarat bahwa ada yang salah dengan demokrasi kita. Pertumbuhan demokrasi diiringi pertumbuhan praktik korupsi. Korupsi anggaran, proyek daerah, skandal bank, hingga makelar impor.

“Kesalahan utama karena memang desain politik kita dibentuk tanpa sistem hukum yang kuat. Akibatnya hukum tak berwibawa dan menjadi subordinasi politik. Demokrasi seolah nampak kuat, seperti ditunjukkan adanya pemilu langsung, pilkada, kebebasan media, dan partai politik, namun sejatinya supremasi hukum tak berjalan. Hasilnya, demokrasi kita tumbuh, tapi tak berkembang, malah cacat parah,” urainya.

Menurutnya juga, dengan akses terhadap sumber daya keuangannya, koruptor kemudian ikut berpolitik dan mengambil alih tongkat kuasa melalui pemilu. Sehingga ketika sudah berkuasa, korupsinya semakin hebat. Bahkan sistem hukumnya diperlemah untuk melanggengkan praktik korupsi.

“Terbentuklah rezim demokrasi kriminal dan ‘Republik Mafia.’ Pengadopsian Demokrasi liberal ala Barat berubah menjadi demokrasi kriminal. Sebab, sistem saat ini sangat kondusif bagi para penjahat untuk menjadi penguasa. Kolaborasi kekuatan uang dan popularitas menenggelamkan politisi yang benar-benar amanah dan punya kapasitas,” terangnya.

Sehingga wajar jika demokrasi sulit menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Fadli menegaskan, substansi demokrasi sudah dirampok para penjahat politik melalui praktek korupsinya. Akhirnya segelintir elit saja yang sejahtera, sementara rakyat terendam dalam kesengsaraan.

“Kita kini terjebak dalam suatu bentuk rezim demokrasi kriminal. Satu-satunya jalan adalah mengubah lapis kepemimpinan nasional: Revolusi dari Atas,” tuturnya.

Fadli Zon: Politisi Korupsi, Ada yang Salah dengan Demokrasi

Fadli Zon: Politisi Korupsi, Ada yang Salah dengan Demokrasi

Fadli Zon Politisi Korupsi, Ada yang Salah dengan Demokrasi

Wakil Ketua DPP Partai Gerindra Fadli Zon menilai maraknya politisi yang korupsi tak lepas dari kesalahan desain politik yang dibentuk tanpa sistem hukum yang kuat. Akibatnya hukum tak berwibawa dan menjadi subordinasi politik.

“Demokrasi seolah nampak kuat. Seperti ditunjukkan adanya pemilu langsung, pilkada, kebebasan media, dan partai politik. Namun sejatinya supremasi hukum tak berjalan. Hasilnya, demokrasi kita tumbuh, tapi tak berkembang, malah cacat parah,” ucap Fadli Zon, di Jakarta, Selasa (5/2/2013).

Ia menilai, dengan sistem hukum lemah sangat mendorong praktik politik yang cacat dan korup. Pada akhirnya para koruptor bisa menjadi penguasa. “Dengan posisi itulah, desain hukum kita direkayasa. Inilah yang saya sebut dengan demokrasi kriminal,” ujar dia.

Ditambahkannya, dengan akses terhadap sumber daya keuangannya, koruptor kemudian ikut berpolitik dan mengambil alih tongkat kuasa melalui pemilu. Sehingga ketika sudah berkuasa, korupsinya semakin hebat. “Bahkan sistem hukumnya diperlemah untuk melanggengkan praktik korupsi,” kata Fadli.

Ia berpendapat bahwa pengadopsian demokrasi liberal ala Barat berubah menjadi demokrasi kriminal. Sebab, sistem saat ini sangat kondusif bagi para penjahat untuk menjadi penguasa.

“Kolaborasi kekuatan uang dan popularitas menenggelamkan politisi yang benar-benar amanah dan punya kapasitas. Sehingga wajar jika demokrasi sulit menciptakan kesejahteraan bagi rakyat,” kritik Fadli.

Dia menilai, substansi demokrasi sudah dirampok para penjahat politik melalui praktek korupsinya. Akhirnya segelintir elit saja yang sejahtera, sementara rakyat terendam dalam kesengsaraan.

Fadli Zon: Sistem Hukum Diperlemah untuk Langgengkan Korupsi

Fadli Zon: Sistem Hukum Diperlemah untuk Langgengkan Korupsi

Fadli Zon: Sistem Hukum Diperlemah untuk Langgengkan Korupsi

Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai GERINDRA mengatakan maraknya praktik korupsi saat ini, terjadi karena memang desain politik dibentuk tanpa sistem hukum yang kuat.

Akibatnya hukum tak berwibawa dan menjadi subordinasi politik. Sistem hukum lemah sangat mendorong praktik politik yang cacat (deffective politics), dan korup. Pada akhirnya para koruptor bisa menjadi penguasa.
“Dengan posisi itulah, desain hukum kita direkayasa. Inilah yang saya sebut dengan demokrasi kriminal,” ungkap Fadli kepada Tribunnews.com, Jakarta, Selasa (5/2/2013).

Bahkan, menurutnya dengan akses terhadap sumber daya keuangannya, koruptor kemudian ikut berpolitik dan mengambil alih tongkat kuasa melalui pemilu. Sehingga ketika sudah berkuasa, korupsinya semakin hebat. Bahkan sistem hukumnya diperlemah untuk melanggengkan praktik korupsi.

“Terbentuklah rezim demokrasi kriminal dan ‘Republik Mafia,” tegas dia.

Selain itu, imbuh dia, pengadopsian Demokrasi liberal ala Barat berubah menjadi demokrasi kriminal. Sebab, sistem saat ini sangat kondusif bagi para penjahat untuk menjadi penguasa.

Pasalnya, kolaborasi kekuatan Uang dan Popularitas menenggelamkan politisi yang benar-benar amanah dan punya kapasitas.

karena itu, dia tegaskan, wajar jika demokrasi sulit menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, substansi demokrasi ini sudah dirampok para penjahat politik melalui praktik korupsinya. Akhirnya hanya segelintir elit yang sejahtera. Sedangkan rakyat terendam dalam kesengsaraan.

“Kita kini terjebak dalam suatu bentuk rezim demokrasi kriminal. Satu-satunya jalan adalah mengubah lapis kepemimpinan nasional: Revolusi dari Atas,” katanya.

Tidar dan Gerindra Cari Caleg Berkualitas untuk 2014

Tidar dan Gerindra Cari Caleg Berkualitas untuk 2014

Tidar dan Gerindra Cari Caleg Berkualitas untuk 2014
Partai Gerindra dan organisasi Tunas Indonesia Raya (Tidar) mencari calon-calon berkualitas untuk duduk di kursi legislatif pada pemilu legislatif 2014.

Dalam keterangan pers yang diterima Tribunnews.com, Ketua Tidar Aryo Djojohadikusumo mengatakan, pihaknya menerima caleg dari organiasi kepemudaan manapun, termasuk organisasi kepemudaan dari sejumlah parpol yang bermasalah.

TIDAR yang merupakan organisasi sayap dari Partai Gerindra, kata Aryo, mengajak caleg berkualitas untuk ikut seleksi Daftar Calon Sementara (DCS).

“Kami bukakan pintu untuk itu, kalau memang berkualitas dan mau ikut seleksi Daftar Calon Sementara serta lolos tes loyalitas,” kata Aryo usai Penutupan Rakernas Tidar II di kantor DPP Gerindra, Minggu (3/2/2013).

Aryo yang juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra menegaskan, organisasi kepemudaan dan partainya bertujuan memenangkan pemilu legislatif 2014 dengan target 20 persen.
Menurutnya, jika target tersebut tercapai, akan membuka jalan bagi Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subianto, untuk maju menjadi calon Presiden.

“Kader muda dari partai lain, berkualitas, punya massa, kami terima. Dan itu sudah berlaku saat Prabowo mendorong Basuki Tjahaja Purnama untuk maju menjadi Wakil Gubernur. Saat itu Pak Basuki belum jadi kader kami, tapi dia berkualitas,” cetusnya.

Aryo mengatakan Gerindra memiliki mekanisme untuk memilih calon kader terbaik. Karena itu, kata dia, siapapun yang mendaftar akan diseleksi secara ketat. Ia berpendapat kader terbaik belum tentu hanya dari internal Gerindra saja, namun juga bisa berasal dari luar partai.

Dijelaskannya, saat ini perekrutan kader Gerindra dari luar juga ada yang berasal dari kalangan artis dan olahragawan.

Menurutnya, sudah ada dua artis yang mendaftarkan diri untuk menjadi kader Gerindra. “Kalau olahragawan sudah ada lebih dari dua. Tapi kami belum bisa sebut nama,” paparnya.

Sedangkan terkait kasus narkoba yang sedang marak terjadi, Aryo menambahkan Gerindra menerapkan tes narkoba bagi calon-calon kader baru.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, mengatakan partainya berpeluang besar meraup suara pada pemilu legislatif.

“Survei internal kami lebih dari tujuh persen suara. Jika pileg diadakan sekarang, kami ada di tiga besar,” tukasnya.

Narkoba Lebih Berbahaya dari Teroris

Narkoba Lebih Berbahaya dari Teroris

Narkoba Lebih Berbahaya dari TerorisKasus penggunaan narkoba beberapa tahun belakangan makin meningkat. Hal ini menandakan masih maraknya peredaran narkoba di masyarakat. Namun, soal narkoba ini jangan dilihat secara parsial yang akhirnya terjebak penanganan eksesnya saja.

“Pangkal masalahnya adalah penegakan hukum kasus narkoba yang masih lemah. Penegakan hukum kasus narkoba sering gunakan pasal yang minimalis. Harusnya status mereka pengedar atau bandar, turun menjadi pemakai. Sehingga, jaringan narkoba meningkat karena hukum lemah,” ungkap politisi Partai Gerindra, Fadli Zon dalam rilisnya, Minggu (3/2/2013).

Pemberian grasi pemerintah kepada para terdakwa, Fadli mengingatkan, menjadi bukti lemahnya hukum kasus narkoba. Jika terus ada grasi dalam kasus ini, katanya yakin, Indonesia tak akan bebas dari narkoba. Tak aneh jika pengguna narkoba terus meningkat tiap tahun.

“Kita agak permisif dan kondusif untuk para pengguna narkoba. Hingga saat ini lebih dari 5.8 juta jiwa penduduk Indonesia mengkonsumsi narkoba. Kerugian negara atas maraknya kasus narkoba ini mencapai 40 triliun rupiah pertahun. Sementara, perputaran uang Industri narkoba di Indonesia mencapai 23 triliun rupiah pertahunnya,” ungkapnya.

Narkoba juga lebih berbahaya dari terorisme. Per-jam, Fadli yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini, secara nasional dua orang mati karena narkoba.

“Lemahnya hukum juga membuat mafia narkoba bebas beraksi. Hukum di Indonesia lunak untuk mereka. Berbeda dengan Malaysia atau Singapura yang langsung menerapkan hukuman mati. Akibatnya sindikat internasional dari Iran, Malaysia, Belanda, dan Hongkong memandang Indonesia sebagai pasar potensial industri narkoba,” tandasnya.

Fadli kemudian menyarankan, kebijakan penanganan narkoba juga harus preventif. Berani beri hukuman yang lebih tegas dan keras. BNN dan seluruh aparat penegak hukum juga harus dipastikan kebersihannya dari intervensi mafia narkoba.

Sehingga, sanksi berat berupa hukuman mati bagi para bandar narkoba, dapat ditegakkan tanpa keraguan. “Partai Gerindra anggap narkoba adalah ancaman nasional yang serius,” Fadli mengingatkan kembali.

Beda dengan Demokrat, Gerindra Tak Yakini Survei SMRC

Beda dengan Demokrat, Gerindra Tak Yakini Survei SMRC

Beda dengan Demokrat, Gerindra Tak Yakini Survei SMRC
Berbeda dengan Partai Demokrat yang serius menyikapi hasil survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC), Partai Gerindra justru tidak terlalu meyakini data survei tersebut.

“Kami tidak terlalu yakin dengan hasil survei itu. Beberapa hasil survei lain, termasuk survei dari internal, kami sudah masuk tiga besar,” kata Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra kepada Kompas.com, di Jakarta, Minggu (3/2/2013).

Hasil survei SMRC yang dirilis hari ini menempatkan Gerindra pada posisi ke-4 dengan raihan 7,2 persen suara responden. Posisi Gerindra masih di bawah Golkar (21,3), PDIP (18,2), dan PD (8,3).

Menurut Fadli, data yang diperoleh dari hasil-hasil survei lain menunjukkan popularitas Gerindra sudah melampaui angka tujuh persen. “Wah, sudah di atas tujuh (persen), kami yakin itu,” kata Fadli.

Peluang untuk meningkatkan popularitas Gerindra, menurut Fadli, masih sangat terbuka. Pasalnya, dengan kondisi sejumlah partai yang sedang dililit masalah, beberapa partai lain yang relatif bersih diyakini bisa memperoleh keuntungan.

“Itu tidak dapat dipungkiri bahwa bisa saja kondisi ini berbuah positif bagi partai kami. Tapi, kami tidak serta merta mengambil manfaat kalau tidak ada upaya nyata untuk menunjukkan sisi positif kami,” terang Fadli.

Terkait tingkat popularitas, kolektor karya seni ini menambahkan, selama ini, tingkat popularitas Ketua Dewan Pembina Partai Prabowo Subianto masih jauh di atas popularitas partai. Posisi tersebut diyakini bisa memperbesar peluang Prabowo untuk menjadi capres.

Namun, untuk mengamankan langkah Prabowo, popularitas partai pun perlu ditingkatkan. “Itu sebenarnya hal yang biasa di mana-mana. Popularitas Obama pun jauh di atas partainya, Demokrat. Tapi, bagaimana pun gap itu perlu diperkecil untuk mendukung langkah ke depan,” terang Fadli.

Ditambahkan Fadli, partainya terbuka terhadap kader-kader partai lain yang ingin bergabung. Tapi, kualitas figur akan dikedepankan.

Mekanisme perekrutan di Gerindra, menurut Fadli, bisa menyaring dengan baik orang-orang yang ingin bergabung. “Kami tetap terbuka. Kita lihat track-record, integritas, dan kapabilitas orang tersebut,” pungkas Fadli.