Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI menekankan pentingnya kerja sama global sebagai salah satu diplomasi parlemen di masa pandemi COVID-19.
Menurut Ketua BKSAP Fadli Zon, prinsip multilateralisme sudah lama diterapkan di Inter Parliamentary Union (IPU) melalui koordinasi dan kolaborasi bersama seluruh anggotanya. Namun, semangat gotong royong ini harus terus diperkuat.
“BKSAP melihat kebutuhan mendesak untuk memperkuat solidaritas dan kerja sama multilateral selama masa pandemi ini. Negara-negara semakin memperkuat kemitraan. Tentunya semangat multilateralisme dan solidaritas global ini harus menjadi komitmen berkelanjutan pasca Covid-19,” kata Fadli saat menghadiri peluncuran buku peringatan 130 tahun berdirinya IPU secara virtual, Kamis (8/10/2020).
Dirinya menjelaskan, Indonesia berkomitmen untuk terus berpartisipasi dalam diplomasi multilateral antar parlemen melalui IPU. Organisasi ini menjunjung tinggi demokrasi dan kesetaraan antar negara anggota.
“Di IPU juga kita dapat mencapai konsensus untuk isu-isu penting yang di organisasi lain mengalami deadlock, seperti isu Myanmar di AIPA,” jelas Fadli.
Anggota BKSAP DPR RI Luluk Nur Hamidah juga menyuarakan pentingnya semangat multilateralisme dalam mengatasi pandemi Covid-19.
Luluk mendukung upaya pemerintah untuk memastikan bahwa semua negara mendapatkan akses setara terhadap vaksin Covid-19 dengan aman dan harga terjangkau. IPU juga dinilai mengambil peran penting dalam mendorong semangat multilateralisme tanpa meninggalkan satu negara.
“Karena ini situasi yang kita hadapi bersama. Jangan sampai kemudian ada satu negara justru melihat ini sebagai peluang bisnis,” ujar Luluk.
“Saya kira prinsip-prinsip kemanusiaan, semangat dan solidaritas yang harus kita munculkan. Kita harus berpikir bahwa ada begitu banyak negara-negara yang masih jauh tertinggal di belakang dan ini menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai warga dunia termasuk juga IPU. Prinsip-prinsip keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan itu perlu untuk terus kita kuatkan satu sama lain,” tutupnya.
Adapun IPU merupakan organisasi antar parlemen tertua di dunia dan organisasi pertama yang membidangi negosiasi politik antar negara.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi UU, atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law Cipta Kerja, Senin 5 Oktober lalu dinilai pantas jadi kontroversi.
Kendati telah diprotes banyak kalangan, terutama kaum buruh, pembahasan dan kemudian pengesahan RUU itu jalan terus dan dilakukan dengan secepat kilat. Apakah undang-undang kontroversial ini bisa menjadi obat bagi resesi ekonomi, ketika investasi di mana-mana juga sedang ambruk?
Anggota DPR Fadli Zon berpendapat meskipun semangatnya baik, sejak awal dirinya selalu berpandangan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak tepat-waktu dan tidak tepat-sasaran.
“Disebut tidak tepat waktu karena saat ini kita sedang berada di tengah-tengah pandemi. Prioritas utama mestinya isu kesehatan dan kemanusiaan seperti dinyatakan Presiden sendiri,” kata Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (7/10/2020).
Terlebih, kata dia, tingkat kematian dokter kita saat ini tertinggi di Asia. Menurut IDI, lanjut dia, setidaknya ada 130 dokter meninggal akibat menangani Covid-19 sejauh ini. Angka-angka ini tentu saja tak bisa disepelekan.
Untuk menampung pasien, jumlah kamar di rumah sakit bisa ditambah dalam sekejap, tapi tak demikian halnya dengan tenaga kesehatan yang menangani. Begitu juga dengan tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia, berada di atas rata-rata dunia.
“Artinya, ada hal lain yang jauh lebih serius untuk ditangani dibanding omnibus law,” kata politikus Gerindra ini.
Menurut dia, omnibus law ini juga tidak tepat sasaran. Jika kalau tujuannya adalah untuk mendatangkan investasi, apa yang menjadi hambatan investasi dengan apa yang dirancang oleh omnibus law ini sama sekali tak sinkron. “Memang yang disorot adalah perizinan dan aturan yang tumpang tindih?” tandasnya Fadli.
Fadli memaparkan, menurut World Economic Forum (WEF), kendala utama investasi di Indonesia adalah korupsi, inefisiensi birokrasi, ketidakstabilan kebijakan, serta regulasi perpajakan.
“Tapi yang disasar omnibus law kok isu ketenagakerjaan? Bagaimana ceritanya? Jadi, antara diagnosa dengan resepnya sejak awal sudah tak nyambung,” tutur Fadli.
Fadli bisa memahami kenapa saat ini masyarakat banyak yang gelisah dan marah terhadap omnibus law. Karena mereka melihat kepentingan dan suara mereka sama sekali kurang diperhatikan. Kaum buruh, yang saat ini berada dalam posisi sulit akibat Covid-19, posisinya jadi kian terpojok.
Dalam catatan Fadli, ada beberapa isu yang mengusik rasa keadilan buruh. Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah.
Kemudian, penghapusan UMK (upah minimum kabupaten) menjadi UMP (upah minimum provinsi). Padahal, menurut data lapangan, besaran UMP ini pada umumnya adalah di bawah UMK. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, omnibus law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka.
Selain itu, kata Fadli, hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama lima hari dalam seminggu, kini tak ada lagi.
“Sehingga, secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum,” tuturnya.
Di sisi lain, Fadli menilai omnibus law ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Ada beberapa alasannya. Pertama, omnibus law telah membuat parlemen kurang berdaya.
“Bayangkan, undang-undang ini mengubah 1.203 pasal dari 79 undang-undang yang berbeda-beda. Bagaimana parlemen bisa melakukan kajian dan sinkronisasi pasal sekolosal itu dalam tempo singkat? Sangat sulit,” tandasnya.
Alhasil, kata dia,parlemen menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah. Mungkin dalam beberapa isu parlemen bisa memasukkan sejumlah kepentingan masyarakat. Tapi kepentingan pemerintah jauh lebih dominan. Ini tentunya bukan praktik demokrasi yang kita kehendaki.
Kedua, kata dia, omnibus law telah mengabaikan partisipasi masyarakat. Membahas seluruh materi yang telah disebutkan tadi dalam tempo yang singkat mustahil dilakukan, apalagi di tengah berbagai keterbatasan dan pembatasan semasa pandemi ini. Sehingga, pembahasan omnibus law ini kurang memperhatikan suara dan partisipasi masyarakat.
Buntut dari tayangan Mata Najwa yang dibintang oleh Najwa Shihab tersebut masih tak kunjung hilang.
Pasalnya, wawancara kursi kosong yang dilakukan jurnalis kondang tersebut dinilai menciderai nama pemerintah.
Dalam tayangan tersebut, Najwa Shihab melakukan monolog karena ia tak bisa mewawancarai Menteri Kesahatan Terawan Agus Putranto yang tak hadir pada program besutan Trans7 pada 28 September 2020 lalu.
Tak cukup sampai disitu, Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu, Silvia Dewi Soembarto akhirnya melaporkan Najwa Shihab ke Polda Metro Jaya atas tayangan yang memuat aksi wawancara kursi kosong tersebut.
Silvia mengatakan, aksi jurnalis ternama tersebut justru membuatnya sakit hati karena perlakuan Najwa Shihab ini melukai para pendukung Jokowi.
Pelaporan ini juga dilakukan Silvia karena dampak yang dikatakannya bisa terjadi pada jurnalis lain untuk meniru apa yang dilakukan Najwa.
Lebih lanjut, Silvia menjelaskan bahwa aksi semacam itu justru memperburuk citra insan pers tanah air.
Berbalik dengan Silvia, Fadli Zon tak mau kalah ikut berkomentar menentang sikap Silvia tersebut.
Tentangan ini disampaikan Fadli Zon melalui akun Twitternya @FadliZon.
Fadli menilai tak ada yang salah dengan aksi yang dilakukan Najwa Shihab dalam tayangan Mata Najwa tersebut karena tidak ada kaitannya dengan melanggar hukum.
Dilansir ringtimesbanyuwangi.com dari Pikiran Rakyat, Fadli Zon justru mengatakan monolog wawancara kursi kosong yang dilakukan Najwa adalah ide brilian dan sangat wajar dalam negara demokrasi.
“Wawancara kursi kosong ini ide brilian Najwa Shihab. Sangat wajar dalam demokrasi,” ketik Fadli di akun Twitter-nya, Selasa 6 Oktober 2020.
Insiden mikrofon yang dimatikan Ketua DPR Puan Maharani saat anggota Fraksi Demokrat (FPD) menyampaikan interupsi dalam rapat paripurna pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker), Senin (5/10/2020) menjadi sorotan di masyarakat.
Anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra yang juga mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pun angkat bicara. Menurut Fadli, mikrofon anggota DPR akan mati secara otomatis jika sudah berbicara lebih dari lima menit saat menyampaikan interupsi.
Mik hanya akan mati sendiri kalau waktu bicara anggota sudah melewati 5 menit. Itulah waktu bicara untuk interupsi,” kata Fadli dalam akun twitternya pribadinya @Fadlizon sebagaimana dikutip Okezone, Rabu (7/10/2020).
Fadli melanjutkan jika mikrofon belum sampai lima menit namun sudah mati, kemungkinan hal tersebut dimatikan dari meja pimpinan.
“Kalau belum 5 menit mik sudah mati artinya dimatikan dari tombol meja pimpinan @DPR_RI,” jelasnya.
Sebelumnya, video Puan Maharani mematikan mikrofon itu viral di media sosial. Awalnya, Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Irwan menyampaikan pandangannya mengenai RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Setelah itu, Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Golkar yang saat itu sebagai pimpinan sidang paripurna Azis Syamsuddin terlihat berdiskusi sebentar dengan Puan Maharani yang duduk di sebelahnya. Setelah itu, Puan Maharani terlihat menekan tombol mematikan mikrofon, suara Irwan pun langsung tak terdengar.
Ketua Badan Kerja Sama Antar ParlemenB= (BKSAP) DPR Fadli Zon mendorong Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menjamin sistem perdagangan internasional dengan cara melindungi aspek ketersediaan dan keterjangkauan universal atas vaksin Covid-19.
Fadli Zon mengatakan, perjanjian perdagangan seperti Trade-Related on Intellectual Property Rights (TRIPS) atau perjanjian hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan perdagangan harus dibuat lebih fleksibel dalam perdagangan kebutuhan medis termasuk keterbukaan pengadaan vaksin.
Hal ini disampaikan oleh Fadli Zon saat mengikuti pertemuan Steering Committee of the Parliamentary Conference on the WTO (SC PCWTO) ke-46 secara daring, Rabu (30/9/2020).
“Ada kebutuhan urgent untuk memastikan ketersediaan, aksesibilitas dan keterjangkauan, pengembangan sedikitnya 180 vaksin di level global. Karena, pada akhirnya vaksin merupakan bagian dari barang yang diperdagangkan,” kata Fadli Zon.
Fadli juga menggali lebih jauh peran Dewan Umum WTO sebagai satu dari dua organ penafsir perjanjian perdagangan multilateral dalam konteks Perjanjian TRIPS. Yakni, untuk melihat adanya peluang fleksibilitas dalam penerapan Perjanjian TRIPS khususnya dalam situasi darurat kesehatan seperti saat ini.
Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Umum WTO David Walker memastikan dalam Perjanjian TRIPS, tersedia sejumlah fleksibilitas-fleksibilitas yang dapat digunakan.
“Bahkan fleksibilitas yang ada juga berkembang seiring waktu,” jelas David.
Sementara itu, Ketua Rapat Bernd Lange menjelaskan perhatian Parlemen Eropa atas vaksin yang harus tersedia untuk semua.
Diketahui, rapat SC PWTO ke-46 kali ini merupakan rapat yang digelar anggota SC dalam pertemuan rutin yang kerap berdekatan dengan pelaksanaan WTO Public Forum.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Fadli Zon menegaskan, salah
satu ‘rukun’ dari paham Komunis adalah Revolusi atau pengambilan paksa,
kudeta dan sejenisnya. Hal ini dikatakan Fadli Zon di akun Twitternya
@fadlizon.
Revolusi (pengambilalihan paksa, kudeta dan sejenisnya)
adalah bagian dari ‘rukun komunisme’. Maka di mana-mana rezim komunis
berdarah-darah. Ideologi ini ganas dan kejam termasuk waktu merajalela
di RI. Film G30S/PKI masih sangat halus menggambarkan kekejaman komunis
itu,” seperti dikutip dari akun Twitter Fadli Zon, Sabtu (26/9/2020).
Sebelumnya
Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI)menyerukan pengibaran
bendera merah putih pada 30 September dan 1 Oktober 2020. Hal ini
dilakukan untuk memperingati peristiwa politik paling kelam dalam
perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu pemberontakan
G30S/PKI.
Dalam seruan terbuka yang diunggah sejumlah akun twitter
anggota KAMI itu disebutkan, pada 30 September pengibaran dilakukan
setengah tiang dan pada 1 Oktober bendera merah putih dikibarkan satu
tiang penuh.
“Karena yang paling terancam oleh komunisme adalah umat beragama, maka KAMI mengharapkan seluruh pemuka umat beragama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) untuk menyampaikan pesan pengibaran bendera setengah tiang pada 30 September dan pada 1 Oktober melakukan pengibaran bendera satu tiang penuh,” bunyi seruan terbuka yang diatasnamakan tiga Komite Ekskutif KAMI yaitu Ahmad Yani, Syahganda Nainggolan, serta Adhie Masardi tersebut.
Ketua Umum DPN HKTI, Fadli Zon mengajak Pemerintah dan semua pemangku
kepentingan pertanian untuk semakin memperhatikan nasib para petani dan
pertanian Indonesia. Apalagi sektor pertanian terbukti tangguh di
tengah krisis.
Ajakan Fadli berkaitan dengan memperingati Hari Tani Nasional yang jatuh setiap tanggal 24 September.
Kata Fadli, di tengah-tengah pandemi, ketika sektor-sektor lain
mengalami kontraksi, hal berbeda justru dicatatkan sektor pertanian.
Sektor pertanian tercatat mampu tumbuh sebesar 16,4 persen. Ini terjadi
karena produk-produk pertanian memang selalu dibutuhkan. BPS mencatat,
sepanjang April-Juni 2020, secara tahunan kinerja sektor pertanian
tumbuh 2,19 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) juga masih cukup besar, yaitu 15,46 persen. Dengan
demikian, pertanian menjadi sektor terbesar kedua.
Sayangnya, meski secara sektoral mencatatkan pencapaian statistik
yang positif, kondisi petani di lapangan justru memprihatinkan. Pandemi
ini telah memperparah kondisi petani. Hal ini terlihat dari turunnya
Nilai Tukar Petani (NTP) dari awal tahun hingga sempat terperosok ke
angka 99,47 di bulan Mei 2020.
“Di lapangan, saya membaca, misalnya, para petani kubis di Magetan,
Jawa Timur, mengeluhkan kerugian, akibat jatuhnya harga menjelang panen.
Harga kubis di tingkat petani saat ini hanya berkisar Rp1.000 hingga
Rp2.000 per kilogram. Padahal, sebelumnya harga kubis masih ada di
kisaran Rp3.000 hingga Rp5.000 per kilogram,” beber Fadli.
Dengan harga segitu, petani jelas merugi. Jatuhnya harga kubis di
tingkat petani ini tentu ada hubungannya dengan Covid-19. Pandemi ini
telah berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, selain tersendatnya
distribusi akibat terjadinya pembatasan sosial.
Di situlah pentingnya ‘political will’ Pemerintah untuk melindungi
petani. Kementerian Sosial harus segera memastikan para petani dan
nelayan miskin menerima bantuan sosial selama pandemi ini. Selain itu,
petani juga berhak mendapatkan program keluarga harapan, BLT desa, paket
sembako, atau program gratis subsidi listrik. Apalagi, Pemerintah punya
anggaran cukup besar untuk program ini, yaitu Rp110 triliun. Alokasi
terbesar itu mestinya diprioritaskan untuk petani.
Kenapa demikian?
Selama pandemi ini, semua terancam kelangkaan pangan. Presiden
sendiri sudah mengakui kalau Indonesia saat ini mengalami defisit beras
di 7 provinsi, defisit jagung di 11 provinsi, defisit cabai besar di 23
provinsi, dan defisit cabai rawit di 19 provinsi. Stok bawang merah dan
telur juga diperkirakan defisit di 22 provinsi. Sementara gula pasir
diperkirakan defisit di 30 provinsi dan bawang putih di 31 provinsi.
Tak heran, pada 2019, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di
urutan ke-5 di ASEAN. Di bawah Singapura di peringkat pertama, Malaysia
di peringkat kedua, Thailand di peringkat ketiga, dan Vietnam di
peringkat keempat.
Untuk mengatasi masalah itu, mau tidak mau harus ada peningkatan
produktivitas. Di situlah pentingnya stimulus Pemerintah kepada petani.
“Jadi, memperingati Hari Tani di tengah pandemi, kita berharap agar
Pemerintah memprioritaskan nasib para petani.”
“Saya dan segenap pengurus HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) menyampaikan Selamat Hari Tani: Daulat pangan, daulat petani. Sejahtera petani, maju pertanian Indonesia,” tuntasnya.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai GerindraFadli Zonmengusulkan agar Provinsi Sumatera Barat berganti nama menjadi Minangkabau. Fadli mengatakan bahwa usulan tersebut muncul setelah beberapa pekan lalu Sumatera Barat ramai menjadi topik perbincangan lantaran muncul kesan diragukannya dukungan Sumatera Barat terhadap Pancasila.
“Provinsi Sumatera Barat perlu ganti nama menjadi Provinsi Minangkabau,” tulis Fadli di akun Twitternya @fadlizon, Rabu (23/9).
Fadli mengungkapkan, bahwa usulan Provinsi Sumatera Barat menjadiMinangkabau bukanlah hal baru. Ia mengatakan usulan tersebut telah ada sejak tahun 1970-an. Ia pun menganggap bahwa gagasan perubahan nama tersebut kini semakin relevan.
Fadli menyebut ada sejumlah alasan nama Minangkabau
lebih pantas digunakan oleh Provinsi Sumatera Barat. Pertama, nama
Minangkabau lebih mewakili identitas, kebudayaan, serta kesejarahan
masyarakat yang ada di Sumatera Barat.
“Sebab, kalau kita bicara
Minangkabau, maka tarikan sejarahnya merentang hingga jauh ke belakang,
jauh sebelum Indonesia lahir. Sementara, kalau kita bicara ‘Sumatera
Barat’, asosiasinya hanya terkait wilayah administratif saja,” jelas
Ketua Ikatan Keluarga Minangkabau (IKM) tersebut.
Alasan kedua,
mantan wakil ketua DPR itu memandang daerah Minangkabau punya posisi
dan pengaruh politik istimewa terhadap sejarah pembentukan Republik
Indonesia. Ia menyebut salah seorang penggagas ‘Republik’ pada tahun
1925 adalah seorang Minang yaitu Tan Malaka.
“Di ranah Minang
pernah berdiri Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang
dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara, dengan Bukittinggi sebagai
ibukotanya. Sesudah para pemimpin kita ditawan, dan Yogyakarta sebagai
ibukota dikuasai Belanda, Republik Indonesia tidak hilang, karena masih
ada PDRI,” ujarnya.
“Adanya PDRI ini pula yang memberi kita
legitimasi untuk meneruskan perundingan dengan Belanda di Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Tanpa PDRI belum tentu ada NKRI. Karena PDRI
akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI pada 27 Desember 1949, setelah
perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB),” imbuhnya.
Alasan
ketiga, Fadli beranggapan orang Minangkabau memiliki kiprah yang cukup
besar dalam sejarah Republik Indonesia. Menurutnya secara demografis
jumlah etnis Minangkabau di Indonesia hanya berkisar sekitar tiga persen
dari total jumlah penduduk. Namun, peran orang Minangkabau dalam
sejarah Indonesia jauh lebih besar dari itu.
“Kalau hari ini
orang teriak-teriak “NKRI Harga Mati”, jangan lupa, orang yang
mengusulkan mosi integral, yaitu mempersatukan kembali wilayah NKRI yang
tercerai-berai ke dalam sejumlah negara bagian, itu juga orang Minang.
Namanya Mohammad Natsir,” ungkapnya.
Keempat, Ketua Umum Himpunan
Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) tersebut melihat orang Minangkabau
punya sumbangan besar terhadap pembentukan bahasa persatuan. Menurutnya
di tangan orang Minang bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang hingga
menjadi dikenal seperti sekarang. Fadli juga menyebut beberapa sastrawan
Minang ternama seperti Abdoel Moeis, Marah Roesli, Soetan Takdir
Alisjahbana, Idroes, Chairil Anwar, Hamka, ataupun Ali Akbar Navis.
“Jadi, dengan alasan-alasan itu, saya kira sangat pantas jika orang Minang mengusulkan agar nama Provinsi Sumatera Barat diganti menjadi Provinsi Minangkabau,” ucapnya.
Pandemi covid-19 telah bertransformasi,
bukan hanya masalah kesehatan, namun menjadi masalah ekonomi, sosial,
politik, serta keamanan yang merupakan masalah global.
Isu biosecurity dan biosafety merupakan beberapa isu yang menjadi
perhatian dunia internasional seiring dengan memanasnya situasi politik
global.
Bahkan banyak negara saling menyalahkan mengenai asal muasal
terjadinya virus Corona yang hingga hari ini (22/09/2020) telah
menginfeksi lebih dari 30 juta umat manusia di seluruh penjuru dunia.
Permasalahan tersebut diungkapkan Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Fadli Zon dibahas dalam workshop bertajuk ‘The Role of Parliamentarians in Addressing the Challenges of COVID-19 through Implementation of Existing International Biosecurity and Biosafety Frameworks’ (Peran Parlemen Dalam Menjawab Tantangan Global COVID-19 Melalui Kerangka Biosecurity dan Biosafety Internasional) yang diadakan oleh Parliamentarians for Global Action dan diikuti oleh sejumlah anggota parlemen dari Indonesia dan Malaysia pada Selasa (22/09/2020).
Dalam kesempatan tersebut,Fadli Zon menyampaikan komitmen Indonesia dalam pelarangan produksi dan penimbunan senjata biologi.
Selain itu, mendukung pengembangan industri biologi untuk tujuan perdamaian dan kemaslahatan bersama, melalui ratifikasi Biological Weapon Convention (BWC)di tahun 1992.
Secara lebih lanjut, politisi Partai Gerindra ini juga mengajak
negara-negara dunia untuk melakukan kolaborasi serta kerjasama, termasuk
pelatihan dan advokasi dalam pengembangan kerangka biosecurity dan
biosafety, utamanya dalam menangani penyakit menular.
Fadli Zon juga menekankan pentingnya memiliki sistem verifikasi negara-negara pihak pada Konvensi Senjata Biologis (BWC).
“Karena sejauh ini belum ada rezim verifikasi internasional bagi pengawasan kepatuhan negara-negara pihak terhadap ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya,” ungkap Fadli Zon.
Lebih jauh, Politisi Gerindra tersebut menjelaskan bahwa tantangan keamanan global semakin hari semakin berkembang.
Oleh karena itu, dibutuhkan mekanisme untuk memastikan bahwa BWC tidak hanya disepakati secara politik tetapi juga secara hukum.
Selanjutnya, Fadli Zon menggarisbawahi Indonesia memiliki RUU Keamanan Nasional yang telah masuk daftar Prolegnas.
Di mana dalam RUU tersebut akan dibahas mengenai keamanan secara holistik.
Tidak hanya terkait dengan keamanan negara, tetapi juga keamanan manusia, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan.
“Pandemi COVID-19 juga merupakan momentum bagi negara-negara untuk memperkuat sistem kesehatan mereka, termasuk Indonesia, agar ancaman keamanan kesehatan di masa yang akan datang dapat diantisipasi dengan baik,’ jelas Fadli Zon.
“Pertemuan ini mengadopsi Plan of Action, terdiri dari 6 poin yang mendorong para anggota parlemen yang hadir untuk mendukung proses legislasi yang terkait isu biosecurity, biosafety, serta mitigasi ancaman terkait hal tersebut,” jelasnya.
Hari ini, 24 September, kita kembali memperingati Hari Tani Nasional.
Di momen Hari Tani ini saya mengajak Pemerintah dan semua pemangku
kepentingan pertanian untuk semakin memperhatikan nasib para petani dan
pertanian Indonesia. Apalagi sektor pertanian terbukti tangguh di tengah
krisis.
Di tengah-tengah pandemi, ketika sektor-sektor lain mengalami
kontraksi, hal berbeda justru dicatatkan sektor pertanian. Sektor
pertanian tercatat mampu tumbuh sebesar 16,4 persen. Ini terjadi karena
produk-produk pertanian memang selalu dibutuhkan. BPS mencatat,
sepanjang April-Juni 2020, secara tahunan kinerja sektor pertanian
tumbuh 2,19 persen. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) juga masih cukup besar, yaitu 15,46 persen. Dengan
demikian, pertanian menjadi sektor terbesar kedua.
Sayangnya, meski secara sektoral mencatatkan pencapaian statistik
yang positif, kondisi petani di lapangan justru memprihatinkan. Pandemi
ini telah memperparah kondisi petani. Hal ini terlihat dari turunnya
Nilai Tukar Petani (NTP) dari awal tahun hingga sempat terperosok ke
angka 99,47 di bulan Mei 2020. Di lapangan, saya membaca, misalnya, para
petani kubis di Magetan, Jawa Timur, mengeluhkan kerugian, akibat
jatuhnya harga menjelang panen. Harga kubis di tingkat petani saat ini
hanya berkisar Rp1.000 hingga Rp2.000 per kilogram. Padahal, sebelumnya
harga kubis masih ada di kisaran Rp3.000 hingga Rp5.000 per kilogram.
Dengan harga segitu, petani jelas merugi. Jatuhnya harga kubis di
tingkat petani ini tentu ada hubungannya dengan Covid-19. Pandemi ini
telah berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, selain tersendatnya
distribusi akibat terjadinya pembatasan sosial.
Di situlah pentingnya ‘political will’ Pemerintah untuk melindungi
petani. Kementerian Sosial harus segera memastikan para petani dan
nelayan miskin menerima bantuan sosial selama pandemi ini. Selain itu,
petani juga berhak mendapatkan program keluarga harapan, BLT desa, paket
sembako, atau program gratis subsidi listrik. Apalagi, Pemerintah punya
anggaran cukup besar untuk program ini, yaitu Rp110 triliun. Alokasi
terbesar itu mestinya diprioritaskan untuk petani.
Kenapa demikian?
Selama pandemi ini, kita sedang terancam kelangkaan pangan. Presiden
sendiri sudah mengakui kalau kita saat ini mengalami defisit beras di 7
provinsi, defisit jagung di 11 provinsi, defisit cabai besar di 23
provinsi, dan defisit cabai rawit di 19 provinsi. Stok bawang merah dan
telur juga diperkirakan defisit di 22 provinsi. Sementara gula pasir
diperkirakan defisit di 30 provinsi dan bawang putih di 31 provinsi. Tak
heran, pada 2019, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan
ke-5 di ASEAN. Di bawah Singapura di peringkat pertama, Malaysia di
peringkat kedua, Thailand di peringkat ketiga, dan Vietnam di peringkat
keempat.
Untuk mengatasi masalah itu, mau tidak mau harus ada peningkatan
produktivitas. Di situlah pentingnya stimulus Pemerintah kepada petani.
Jadi, memperingati Hari Tani di tengah pandemi, kita berharap agar
Pemerintah memprioritaskan nasib para petani.
Saya dan segenap pengurus HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) menyampaikan Selamat Hari Tani: Daulat pangan, daulat petani. Sejahtera petani, maju pertanian Indonesia.