Fadli Zon Minta Maaf Tak Bisa Cegah Pengesahan UU Cipta Kerja

Fadli Zon Minta Maaf Tak Bisa Cegah Pengesahan UU Cipta Kerja

Pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) menjadi UU, atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law Cipta Kerja, Senin 5 Oktober lalu dinilai pantas jadi kontroversi.

Kendati telah diprotes banyak kalangan, terutama kaum buruh, pembahasan dan kemudian pengesahan RUU itu jalan terus dan dilakukan dengan secepat kilat. Apakah undang-undang kontroversial ini bisa menjadi obat bagi resesi ekonomi, ketika investasi di mana-mana juga sedang ambruk?

Anggota DPR Fadli Zon berpendapat meskipun semangatnya baik, sejak awal dirinya selalu berpandangan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak tepat-waktu dan tidak tepat-sasaran.

“Disebut tidak tepat waktu karena saat ini kita sedang berada di tengah-tengah pandemi. Prioritas utama mestinya isu kesehatan dan kemanusiaan seperti dinyatakan Presiden sendiri,” kata Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (7/10/2020).

Terlebih, kata dia, tingkat kematian dokter kita saat ini tertinggi di Asia. Menurut IDI, lanjut dia, setidaknya ada 130 dokter meninggal akibat menangani Covid-19 sejauh ini. Angka-angka ini tentu saja tak bisa disepelekan.

Untuk menampung pasien, jumlah kamar di rumah sakit bisa ditambah dalam sekejap, tapi tak demikian halnya dengan tenaga kesehatan yang menangani. Begitu juga dengan tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia, berada di atas rata-rata dunia.

“Artinya, ada hal lain yang jauh lebih serius untuk ditangani dibanding omnibus law,” kata politikus Gerindra ini.

Menurut dia, omnibus law ini juga tidak tepat sasaran. Jika kalau tujuannya adalah untuk mendatangkan investasi, apa yang menjadi hambatan investasi dengan apa yang dirancang oleh omnibus law ini sama sekali tak sinkron. “Memang yang disorot adalah perizinan dan aturan yang tumpang tindih?” tandasnya Fadli.

Fadli memaparkan, menurut World Economic Forum (WEF), kendala utama investasi di Indonesia adalah korupsi, inefisiensi birokrasi, ketidakstabilan kebijakan, serta regulasi perpajakan.

“Tapi yang disasar omnibus law kok isu ketenagakerjaan? Bagaimana ceritanya? Jadi, antara diagnosa dengan resepnya sejak awal sudah tak nyambung,” tutur Fadli.

Fadli bisa memahami kenapa saat ini masyarakat banyak yang gelisah dan marah terhadap omnibus law. Karena mereka melihat kepentingan dan suara mereka sama sekali kurang diperhatikan. Kaum buruh, yang saat ini berada dalam posisi sulit akibat Covid-19, posisinya jadi kian terpojok.

Dalam catatan Fadli, ada beberapa isu yang mengusik rasa keadilan buruh. Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah.

Kemudian, penghapusan UMK (upah minimum kabupaten) menjadi UMP (upah minimum provinsi). Padahal, menurut data lapangan, besaran UMP ini pada umumnya adalah di bawah UMK. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, omnibus law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka.

Selain itu, kata Fadli, hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama lima hari dalam seminggu, kini tak ada lagi.

“Sehingga, secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum,” tuturnya.

Di sisi lain, Fadli menilai omnibus law ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi. Ada beberapa alasannya. Pertama, omnibus law telah membuat parlemen kurang berdaya.

“Bayangkan, undang-undang ini mengubah 1.203 pasal dari 79 undang-undang yang berbeda-beda. Bagaimana parlemen bisa melakukan kajian dan sinkronisasi pasal sekolosal itu dalam tempo singkat? Sangat sulit,” tandasnya.

Alhasil, kata dia,parlemen menyesuaikan diri dengan keinginan pemerintah. Mungkin dalam beberapa isu parlemen bisa memasukkan sejumlah kepentingan masyarakat. Tapi kepentingan pemerintah jauh lebih dominan. Ini tentunya bukan praktik demokrasi yang kita kehendaki.

Kedua, kata dia, omnibus law telah mengabaikan partisipasi masyarakat. Membahas seluruh materi yang telah disebutkan tadi dalam tempo yang singkat mustahil dilakukan, apalagi di tengah berbagai keterbatasan dan pembatasan semasa pandemi ini. Sehingga, pembahasan omnibus law ini kurang memperhatikan suara dan partisipasi masyarakat.

Sumber