Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon menuturkan bahwa membicarakan pemakzulan merupakan hal lumrah di negara yang menganut paham demokrasi.
Karena itu, dia menegaskan, tidak perlu takut untuk membicarakan pemakzulan.
Hal ini dikatakan Fadli di akun Twitter @fadlizon, Selasa (2/6), merespons dugaan teror terhadap panitia dan narasumber diskusi ‘Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’.
Diskusi yang rencananya digelar Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, itu batal.
“Knp harus takut membicarakan pemakzulan, itu hal lumrah saja dlm demokrasi,” twit ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen itu.
Menurut Fadli, yang ketakutan pasti orang yang tidak percaya diri, paranoid dan antidemokrasi.
Yg ketakutan pasti yg tak percaya diri, paranoid n anti-demokrasi,” twit mantan wakil ketua DPR itu.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, banyak syarat yang harus dipenuhi untuk memakzulkan presiden.
Hal itu diungkapkannya saat berbicara dalam diskusi virtual bertema ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, Senin (1/6).
Kontroversi dipilihnya Iman Brotoseno sebagai Direktur Utama TVRI
terus mencuat. Terlebih dengan sosok Iman yang kerap berkicau soal dunia
bokep, porno dan organ sempalan PKI, Gerakan Wanita Indonesia atau
Gerwani di Twitter.
Lantaran itu, Iman dianggap bukan sosok yang layak untuk memimpin
perusahaan televisi plat merah itu. Iman pun diminta untuk diganti.
Hal itu dikemukakan oleh Mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Baru-baru ini, Fadli meminta Iman Brotoseno diganti. Alasannya, karena cuitan lama Dirut TVRI mengenai Gerwani kembali mencuat ke publik.
Hal ini disampaikan Fadli Zon melalui akun Twitter-nya @fadlizon. Ia menuding sosok Iman Brotoseno hanya akan membuat publik kehilangan kepercayaan dengan TVRI.
Ia pun meyakini bahwa rekam jejak Iman Brotoseno menunjukkan bahwa ia
tidak mampu memimpin stasiun televisi TVRI. Fadli Zon juga menuding
yang bersangkutan adalah seorang ahli Gerwani.
“Rekam jejaknya kelihatan orang ini ‘ahli Gerwani’,” katanya.
Oleh sebab itu, politikus dari Partai Gerindra itu meminta agar Iman
Brotoseno dicopot dari jabatannya sebagai Dirut TVRI dan digantikan
dengan sosok lain.
Seperti diketahui, Iman Brotoseno sempat membuat utas panjang
mengenai Gerwani pada tahun 2018. Utas itu kemudian diungkit kembali
oleh politikus dari Partai Demokrat Roy Suryo tak lama setelah ia
menjabat sebagai Dirut TVRI yang baru menggantikan Helmy Yahya.
Gerwani adalah organisasi perempuan di era orde lama yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Insiden teror oleh oknum tertentu terhadap
penyelenggaran diskusi ilmiah yang digelar oleh Constitusional Law
Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa hari
lalu terus menarik perhatian publik. Kebebasan berpendapat di tengah
pandemi COVID-19, hingga pemakzulan presiden pun turut menjadi isu
bergulir pasca kejadian itu.
Isu ramainya soal pemakzulan presiden turut dikomentari beberapa
kalangan, termasuk politisi di Senayan. Anggota DPR RI dari Partai
Gerindra, Fadli Zon buka suara.
Menurut Fadli, harusnya di negara demokrasi tidak ada yang perlu ditakutkan untuk berbicara pemakzulan. Ia menyebut yang ketakutan adalah orang yang tidak percaya diri, bahkan anti demokrasi.
“Knp harus takut membicarakan pemakzulan, itu hal lumrah saja dlm demokrasi. Yg ketakutan pasti yg tak percaya diri, paranoid n anti-demokrasi,” tulis Fadli di Twitternya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Pusat, Din Syamsuddin menjelaskan makna dari sebuah kebebasan
berpendapat. Mantan Ketum PP Muhammadiyah ini mengupas dari perspektif
Islam dan pemikiran politik Islam.
Din mengatakan, ihwal kebebasan berpendapat, para ulama memahaminya
sebagai salah satu dari tiga dimensi penting dari kebebasan. Ia
menegaskan kebebasan merupakan hak manusiawi dan hak makhluk. Bahkan
Tuhan mempersilahkan manusia untuk beriman atau tidak.
“Bahkan Sang Pencipta menyilahkan manusia mau beriman atau tidak
beriman, ini pangkal dari sebuah kebebasan,” kata Din dalam diskusi
bertajuk ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas
Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’, yang digelar secara
virtual, Senin, 1 Juni 2020..
Oleh karena itu, menurut Din, kebebasan pada manusia ini dipandang
sebagai sesuatu yang melekat pada manusia itu sendiri. Ia menyebut
manusia punya kebebasan berkehendak dan berbuat.
“Oleh karena itulah, ada yang memandang, seperti yang saya kutip dari
Mohammad Abdul melihat atau menilai kebebasan itu sebagai sesuatu yang
sakral dan transendental. Sebagai sesuatu yang suci dan melekat dengan
fitrah kemanusiaan, manusia bebas walupun terbatas,” kata Din.
Lebih lanjut Din menjelaskan, Abdul menilai kebebasan itu hanya dapat
diaktualisasikan oleh manusia kalau manusia sudah melewati dua fase
kehidupannya.
Fase pertama yakni eksistensi, alamiah ketika manusia masih berada
dalam masa jahiliah atau kebodohan. Fase kedua, yakni fase sosial atau
komunal, saat manusia sudah berbudaya dan berperadaban. Din menyebut
kebebasaan adalah sesuatu yang tinggi.
“Hanyalah pada manusia beradap ada kebebasan dan ada pemberian
kebebasan. Tentu logika sebaliknya adalah tidak beradab kalau ada orang
atau rezim yang ingin menghalang-halangi apalagi meniadakan kebebasan
itu,” kata Din.
Berangkat dari hal itu, Din menambahkan, para pemikir politik Islam
kemudian melihat kebebasan menjadi tiga hal, yakni kebebasan beragama,
kebebasan berbicara, kebebasan memilih dan dipilih.
Oleh karena itu, tekan Din, ihwal kebebasan berpendapat ini mempunyai
landasan teologis dan filosifis yang kuat pada pemikiran Islam. “Oleh
karena itu apa yang dirumuskan dalam sejarah peradaban manusia, seperti
Magna Charta hingga Universal Declaration of Human Rights sangat
memberikan ruang bagi kebebasan itu sendiri,” papar Din.
Begitu pula dengan UUD 1945. Menurut Din, tokoh-tokoh yang
merumuskannya sangat paham tentang prinsip-prinsip kebebasan yang ada
dalam Islam dan dalam sejarah pemikiran Islam. “Karena itu, kita
terganggu jika ada rezim yang cenderung otoriter represif dan anti
kebebasan berpendapat,” ungkap Din.
Din menegaskan, kebebasan berpendapat selagi dilandasi norma-norma,
etika dan nilai yang disepakati, maka itu adalah hak rakyat warga
negara. Negara melalui pemimpin tak boleh mengganggu gugat.
Din bahkan mengatakan pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan
apabila terjadi kepemimpinan represif dan cenderung diktator. Din
kemudian mengutip tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi, mengenai
syarat-syarat yang harus terpenuhi terkait pemakzulan itu.
“Pemakzulan dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al
Mawardi yang terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan
jika syarat tertanggalkan,” ujarnya.
Syarat pertama yakni ketidakadilan. Din mengungkapkan, jika seorang
pemimpin menciptakan ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial
di masyarakat maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.
“Apabila tidak adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok
lebih kaya dari yang lain, ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat
makzul,” kata dia.
Syarat berikutnya adalah tidak memiliki ilmu pengetahuan. Menurut Din
ketiadaan ilmu ini merujuk kerendahan visi, terutama tentang cita-cita
hidup bangsa.
Menurut Dosen Pemikiran Politik Islam FISIP UIN Syarif Hidayatullah
itu, dalam konteks negara modern, visi adalah cita-cita bangsa yang
bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Jika tidak diwujudkan oleh
pemimpin sudah bisa menjadi syarat makzul.
Syarat berikutnya, imbuh Din, ketiadaan kemampuan atau kewibawaan
pemimpin dalam situasi kritis. Menurut Din, kondisi itu kerap terjadi
saat seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan
kondisi seperti suatu negara kehilangan kedaulatan akibat kekuatan
asing.
“Apabil pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik
keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul,” ujarnya.
Din juga menyebut pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan
apabila terjadi kepemimpinan yang represif dan cenderung diktator. Ia
melihat, pemerintah Indonesia belakangan ini tak berbeda jauh dengan
kondisi tersebut. Menurutnya, pemerintah sekarang ini tengah membangun
kediktatoran konstitusional. Hal tersebut terlihat dari berbagai
kebijakan yang diterbitkan pemerintah.
“Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun
kediktatoran konstitusional, bersemayam di balik konstitusi seperti
godok Perppu jadi UU, dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain,” kata Din.
Merujuk pada pemikir Islam modern Rasyid Ridho, Din meminta masyarakat tidak segan melawan kepemimpinan yang zalim, apalagi jika melanggar konstitusi. “Rasyid Ridho (pemikir Islam) yang lebih modern dari Al Ghazali menyerukan melawan kepemimpinan yang zalim terutama jika membahayakan kehidupan bersama seperti melanggar konstitusi,” ucapnya.
Politisi Partai Gerindra Fadli Zon menyatakan uang para jamaah haji yang sudah masuk ke pemerintah akan tidak rela jika uangnya dipakai untuk kepentingan negara.
Terlebih, pemberhentian keberangkatan haji sudah diketahui sejak bulan Maret dan menurutnya pemerintah seharusnya sudah bisa diantisipasi.
“Memangnya jamaah haji yg sdh bayar lunas itu rela dana mereka dipakai perkuat rupiah? Tanya pemilik dana. Jgn nanti uang haji hilang melayang.
Kita sdh tau n harusnya Menteri Agama bisa antisipasi tak akan ada haji sejak Maret 2020,” tulisnya dalam akun Twitternya, Selasa (2/6/2020).
Diberitakan sebelumnya, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)
Anggito Abimanyu mengungkapkan, saat ini BPKH memiliki simpanan dana
haji untuk tahun ini dalam bentuk dolar Amerika Serikat sebanyak US$600
juta. Jumlah itu setara Rp8,7 triliun kurs Rp14.500 per dolar AS.
Dana tersebut menurutnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan stabilisasi nilai tukar rupiah. Langkah itu tentunya berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Seperti dilansir Vivanews.
Mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengkritik pernyataan Menko
Polhukam Mahfud MD yang menyinggung dan mendorong Rancangan Undng-Undang
Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Menurut Fadli, dalam situasi dan kondisi saat ini, RUU HIP tidak penting untuk dibahas apalagi disahkan sebagai UU.
“Ini RUU yang sama sekali nggak penting. Hari gini masih bicara Haluan Ideologi Pancasila. Apa urgensinya?” kata Fadli Zon menanggapi ciutan Mahfud MD di akun twitternya, Minggu (31/5/2020).
Mahfud MD, sebelumnya, tiba-tiba berkicau mengenai RUU HIP. Mahfud membantah jika RUU untuk menghidupkan komunisme.
“Ada yang resah, seakan ada upaya menghidupkan lagi komunisme dengan mencabut Tap No. XXV/MPRS/1966. Percayalah, secara konstitusional sekarang ini tak ada MPR atau lembaga lain yang bisa mencabut Tap MPR tersebut. MPR yang ada sekarang tak punya wewenang mencabut Tap MPR yang dibuat tahun 2003 dan sebelumnya.”
“RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sekarang ada bukan uutuk membuka pintu bagi komunisme tapi untuk menguatkan Pancasila sebagai ideologi negara. Masyarakat bisa berpartisipasi ikut mengkritisi isi RUU tersebut agar bisa benar-benar menguatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara,” tulis Mahfud.
Fadli yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menganggap,
penguatan mengenai Pancasila sudah selesai tahun 1945 dan para pemikir
yang mayoritas orang-orang hebat di masa lalu.
“Yang mau khianat pada Pancasila ya komunisme,” tukas Fadli.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD pastikan tidak ada lembaga yang bisa mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
“Ada yang resah, seakan ada upaya menghidupkan lagi komunisme dengan
mencabut Tap No. XXV/MPRS/1966. Percayalah, secara konstitusional
sekarang ini tak ada MPR atau lembaga lain yang bisa mencabut Tap MPR
tersebut. MPR yang ada sekarang tak punya wewenang mencabut TAP MPR yang
dibuat tahun 2003 dan sebelumnya,” kata @mohmahfudmd di Twitter, Minggu
(31/5/2020).
Pencabutan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 diisukan ketika RUU Haluan Ideologi Pancasila ( RUU HIP ) mulai dibahas di DPR. RUU tersebut tidak mencantumkan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 sebagai peraturan konsideran.
Mahfud menjelaskan jika RUU HIP yang sedang dibahas saat ini bukan untuk meniadakan TAP MPRS No. XXV tahun 1966 tentang larangan ajaran komunisme, justru untuk menguatkan Pancasila.
“RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sekarang ada bukan untuk
membuka pintu bagi komunisme tapi untuk menguatkan Pancasila sebagai
ideologi negara,” kata Mahfud.
Pernyataan ini pun menarik Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon untuk berkomentar.
Kata Fadli Zon , RUU HIP tidak penting dibahas dalam kondisi saat ini.
“Ini RUU yang sama sekali nggak penting. Hari gini masih bicara
Haluan Ideologi Pancasila. Apa urgensinya? Pancasila sudah selesai tahun
1945 dan para pemikirnya orang-orang hebat di masa lalu. Yang mau
khianat pada Pancasila ya komunisme,” kata @fadlizon.
Menurutnya, yang membuat resah itu karena ada pihak menolak keras TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dijadikan konsideran.
“Kenapa menolak? Haluan Ideologi Pancasila ok tapi harus tanpa komunis. Jangan jadi Nasakom (Nasionalis Agama Komunis) baru. Dulu Nasakom yang membuat bangsa ini pecah belah,” ujarnya.
Anggota DPR RI, Fadli Zon buka suara terkait penangkapan mantan
prajurit TNI Angkatan Darat, Ruslan Buton oleh Direktorat Reserse
Kriminal Umum Polda Sulawesi Tenggara dan Tim Densus 88 Mabes Polri. Ia
mengaku, heran dengan sistem demokrasi yang digunakan Indonesia terkait
insiden penangkapan Ruslan Buton.
Ruslan Buton diringkus polisi atas dugaan membuat rekaman suara yang
meminta Presiden Joko Widodo untuk mundur pada Kamis 28 Mei 2020. Dalam
rekaman tersebut, Ruslan menyuarakan pendapat bahwa kebijakan Jokowi
tidak pro rakyat.
“Standar demokrasi macam apa yg kita pakai? Masak orang hanya meminta
atau menyerukan agar seseorang mundur dari jabatan publik dianggap
perbuatan makar atau kriminal? Hadeuh demokrasi abal-abal,” kata Fadli
Zon, dalam unggahan di akun Twitter pribadinya.
Menurut Fadli, penangkapan Ruslan Buton hanya berdasarkan dari
pendapat yang disuarakannya. Bahkan, ujarannya ketika meminta Presiden
Jokowi mundur, yang dianggap makar atau kriminal, disebut Fadli sebagai
langkah yang berlebihan.
Diinformasikan, surat terbuka yang dibuat Ruslan Buton pada 18 Mei
2020 lalu itu viral di media sosial. Dalam video tersebut, Ruslan
menilai bahwa tata kelola berbangsa dan bernegara di tengah pandemi
COVID-19 ini sulit diterima oleh akal sehat.
Ia menyebarkan rekaman suara tersebut di grup WhatsApp Serdadu Eks
Trimatra. Dalam perkembangannya, Ruslan Buton diamankan tim gabungan
untuk dimintai keterangan dan dikenakan Pasal berlapis akibat surat
terbukanya kepada presiden.
Ruslan Buton yang menyebut dirinya sebagai Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara –yayasan para mantan tentara untuk melanjutkan perjuangan membela Ibu Pertiwi– mengatakan, tentang kemungkinan adanya pertumpahan darah jika presiden tidak mundur.
Kemarahan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dalam sebuah video yang viral mendapat tanggapan dari Fadli Zon, politikus Partai Gerindra. Risma sendiri marah karena dialihkannya dua mobil laboratorium dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ke daerah lain oleh Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur.
Seperti diketahui,
video Risma marah karena kecewa dua mobil tersebut dialihkan ke daerah
lain beredar luas di media sosial. Dalam video yang viral itu, Risma
mempertanyakan alasan pengalihan dua mobil yang berfungsi sebagai
laboratorium untuk pemeriksaan virus Corona.
Fadli Zon mengaku heran dengan sikap Risma yang sering kali marah-marah. Menurut dia, kemarahan tidak menyelesaikan masalah.
Bahkan anggota DPR ini menyebut ngeri kemarahan Risma. “Heran kok sering
sekali mengamuk. Emangnya ‘mengamuk’ menyelesaikan masalah? Apa tak ada
cara lain ? Ngeri ah..,” cuit Fadli Zon melalui akun Twitternya,
@FadliZon mengomentari pemberitaan tentang kemarahan Risma, Jumat 29 Mei
2020.
Seperti diketahui, Risma menunjukkan kemarahannya pada
Jumat 29 Mei 2020 siang. Dia menunjukkan kekecewaannya dengan menelepon
petugas BNPB.
Risma geram karena mobil PCR bantuan BNPB untuk Kota Surabaya justru digunakan ke luar kota, yakni Lamongan dan Tulungagung atas permintaan Gugus Tugas Covid-19 Jawa Timur.Risma mengatakan, seharusnya mobil PCR itu digunakan untuk rapid test dan tes swab Kota Surabaya, di mana persebaran COVID_19 masih cukup tinggi. Karena pergeseran itu, maka rapid test dan swab test harus tersendat.
Indonesia tidak perlu ikut campur dalam perang antara China dan Amerika Serikat. Indonesia cukup berada dalam posisi melihat perang kedua negara besar itu saja.
Begitu tegas mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menanggapi ketegangan antara Amerika Serikat dan China.
“Kalau benar terjadi perang antara China vs AS, sebaiknya kita jangan ikut campur,” tegasnya dalam akun Twitter pribadi, Rabu (27/5).
Menurutnya, Indonesia bisa memanfaatkan momentum perang tersebut sebagaimana meraih kemerdekaan di tahun 1945. Kemerdekaan kala itu diraih tidak lepas dari serangan bom atom Amerika Serikat ke Jepang.
“Lebih baik nunggu siapa pemenangnya dan siapa tahu ada durian runtuh,” ujar Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR itu
Ketegangan antara China dan Amerika Serikat muncul seiring pengumuman kenaikan anggaran pertahanan China.
Presiden China, Xi Jinping menegaskan akan terus meningkatkan kesiapan pasukan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA), untuk pertempuran militer.
Peningkatan anggaran ini dianggap sebagai salah satu kesiapan China untuk berperang melawan Amerika Serikat
Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon mengkritik pemerintah yang justru menerapkan persiapan kebijakan New Normal, padahal jumlah kasus positif virus corona di Indonesia masih terus meningkat. Menurutnya, Presiden Jokowi terkesan mengambil keputusan tak tidak tegas dan inkonsisten.
“Kebijakan mencla-mencle dan penanganan COVID-19 penuh inkonsistensi bisa menjadi “new disaster” (bencana baru), bukan “new normal”,” kata Fadli dalam keterangannya, Rabu (27/5).
Fadli juga menilai kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia bisa hilang karena kebijakan penanganan COVID-19 tidak jelas. Menurutnya, hal itu dapat berdampak pada pelarangan WNI yang akan berpergian ke luar negeri.
“Tak hanya soal kasus penyebarannya, tapi kepercayaan dunia terhadap kita makin pudar. Bisa jadi kita tak bisa masuk ke banyak negara. Mudah-mudahan prediksi saya salah,” ujarnya.
Fadli bahkan memberi julukan duta mal Indonesia kepada Jokowi karena kunjungannya ke Summarecon Mal Bekasi kemarin. Menurutnya, kunjungan tersebut tidak memberikan sumbangsih apa pun terhadap penanganan krisis kesehatan di Indonesia.
“Luar biasa kepedulian Pak Jokowi pada mal. Bisa dikatakan ‘Duta Mal Indonesia’. Apa kabar pasar tradisional dan pasar rakyat?” tutupnya.
Sebelumnya pada Selasa (26/5), Jokowi meninjau Stasiun MRT Bundaran HI dan Summarecon Mal Bekasi (SMB) untuk melihat kesiapan sarana publik dan sektor niaga menerapkan protokol new normal.
Pasukan gabungan TNI dan Polri juga sudah dikerahkan ke empat kawasan untuk mengawasi masyarakat agar mengikuti protokol kesehatan dengan disiplin.
Empat kawasan itu adalah DKI Jakarta khususnya di kawasan Bundaran HI; Bekasi, Provinsi Jawa Barat; Provinsi Sumatera Barat; dan Provinsi Gorontalo.