Politikus Partai Gerindra Fadli Zon mengucapkan selamat ulang tahun ke-493 Kota Jakarta pada 22 Juni 2020.
Fadli Zon mengatakan bahwa Jakarta merupakan kota kelahirannya. Dia berharap di HUT ke-493 segala persoalan di Jakarta dapat diselesaikan, tidak terkecuali pandemi virus Corona.
“Selamat HUT Jakarta, kota kelahiranku. Semoga pandemi Covid-19 bisa kita atasi,” cuit Fadli menggunakan akun @fadlizon.
“Semoga Jakarta tetap ibukota negara, tak jadi pindah sebelum 2024. Amin,” tuturnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan merasakan suasana perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Jakarta ke-493 berbeda karena terjadinya wabah virus corona (COVID-19) di Indonesia hingga dunia internasional.
“Ulang tahun Jakarta hari ini dirayakan dalam suasana berbeda, Jakarta Indonesia, bahkan seluruh dunia tengah mengalami cobaan pandemi COVID-19,” kata Anies saat memberikan sambutan HUT DKI Jakarta di Balai Kota.
Anies prihatin Jakarta menjadi episenter yang pertama penyebaran wabah COVID-19, namun saat ini mulai dapat dikendalikan. Diungkapkan Anies, pandemi COVID-19 bukan pertama kali menimpa Jakarta karena wabah flu Spanyol pernah melanda dunia termasuk Ibukota Jakarta sekitar seabad lalu atau pada 1918.
“Saat itu kita bisa melewatinya. Kota ini telah melewati berbagai tantangan bencana dan cobaan silih berganti, bencana alam, krisis kesehatan, krisis ekonomi, krisis sosial telah dialami. Tapi, setiap menghadapi krisis, Jakarta selalu mampu menghadapinya,” ujar Anies.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon
berdasarkan positif keputusan pemerintah untuk meminta DPR menunda
pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Pernyataan tersebut disampaikan pemerintah melalui Menko Polhukam, Mahfud MD.
Menurut Fadli, lebih baik pemerintah mencabut RUU tersebut sama
sekali bukan hanya sekedar menunda pembahasan. Pasalnya RUU tersebut
berpotensi mendegradasi nilai-nilai Pancasila yang selama ini menjadi
pemersatu rakyat Indonesia.
“Sikap bagus dari pemerintah. Tak usah ditunda, langsung ditarik
aja, dicabut. RUU HIP ini mendegradasi Pancasila,” kata Fadli dengan
menautkan cuitan Mahfud di Twitter.
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan bahwa pemerintah
memutuskan untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan
Ideologi Pancasila (RUU HIP).
keputusan tersebut diambil oleh presiden Jokowi atas dasar
pertimbangan berbagai kalangan. Bahkan, Mahfud MD meminta DPR untuk
lebih banyak menyerap aspirasi masyarakat perihal RUU yang menjadi
polemik tersebut.
“RUU tersebut adalah usul inisiatif DPR yang disampaikan kepada
pemerintah. Sesudah presiden berbicara dengan banyak kalangan,
pemerintah memutuskan menunda atau meminta penundaan kepada DPR atas
pembahasan RUU tersebut,” ucap Menko Polhukam, Mahfud MD di Jalan Medan
Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (16/6).
“Pemerintah juga meminta DPR untuk berdialog dan menyerap
aspirasi lebih banyak lagi dengan seluruh kekuatan atau elemen
masyarakat,” imbuhnya.
Maka dari itu, secara prosedural, pemerintah tidak mengirimkan
surat presiden kepada parlemen untuk melanjutkan pembahasan RUU
tersebut. “Itu aspek proseduralnya,” ucap Mahfud.
Mahfud MD menegaskan, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa TAP
MAPRS 25/1966 yang menjadi perdebatan di publik dipastikan masih berlaku
mengikat dan tidak perlu dipersoalkan.
“Oleh sebab itu, pemerintah tetap berkomitmen bahwa TAP MPRS
25/1966, tentang Larangan Komunisme Marxisme dan Leninisme itu merupakan
suatu produk hukum, peraturan perundang-undangan yang mengikat, dan
tidak bisa lagi dicabut oleh lembaga negara, atau oleh Undang-Undang
sekarang ini,” terangnya.
Menurut Mahfud MD, rumusan Pancasila yang sah adalah yang
disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945.
Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon menyampaikan pesan khusus Komisi II DPR RI.
Pesan Fadli
Zon itu, ialah rencana Komisi II yang hendak melakukan Revisi UU Pemilu
Nomor 7 Tahun 2017, agar tidak bertujuan mengakomodasi kepentingan
tertentu dalam jangka pendek.
Fadli Zon mengatakan, UU Pemilu mesti berlaku untuk jangka panjang.
“UU
Pemilu idealnya punya jangka waktu panjang, bukan hanya lima tahun
dengan situasi tertentu dan kepentingan tertentu atau powerblock dan
power struggle tertentu, siklus lima tahunan.”
Mantan
Wakil Ketua DPR RI mengemukakan itu, dalam diskusi bertajuk ‘Menyoal
RUU tentang Pemilu dan Prospek Demokrasi Indonesia’, pekan lalu.
Fadli Zon berharap UU Pemilu nantinya mampu memperbaiki penyelenggaraan demokrasi di Indonesia agar benar-benar substantif.
Menurut
Fadli, selama ini UU Pemilu direvisi tiap lima tahun sekali menjelang
gelaran pemilu dengan membahas seputar hal-hal teknis.
“Saya kira
jangka itu mungkin 10 tahun, 15 tahun, atau idealnya 20 tahun sehingga
ada kontinuiti. Kalau kita lihat dalam UU Pemilu kita tidak terjadi
kontinuiti, malah diskontinuiti dan kembali pertarungan awal,” ucap
Fadli.
“Misal, masalah apakah sistem proporsional terbuka, apakah
proporsional tertutup, atau perhitungan. Jadi kita kembali pada
kepentingan jangka pendek parpol,” lanjut dia.
Fadli kemudian berbicara mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Ia
mendorong agar ambang batas presiden menjadi nol persen atau diturunkan
dari 20 persen sebagaimana yang saat ini berlaku dalam undang-undang.
Menurut
dia, penurunan ambang batas presiden ini memberikan kesempatan yang
merata bagi tiap orang maju dalam kontestasi pencapresan
“Seharusnya presidential threshold itu nol persen. Kalau harus diturunkan, misalnya 10 persen maksimum agar tak sembarangan orang juga (maju). Dengan 20 persen saya kira sulit kita mendapat kandidat yang kita harapkan menjadi orang yang terbaik memimpin bangsa dan negara ini,” kata Fadli Zon.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, meminta agar Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) tidak hanya ditunda, tapi juga dicabut dalam agenda pembahasan prolegnas.
Selain karena mendapat penolakan dari banyak kelompok masyarakat, kata Fadli, RUU HIP ini berpotensi kembali membuka kotak pandora perdebatan mengenai Pancasila yang telah rampung 60 tahun lalu.
Fadli Zon menegaskan, terdapat empat alasan mengapa RUU HIP itu tidak hanya ditunda, tapi perlu ditarik dari agenda pembahasan RUU.
“Menurut saya, yang membuat kenapa RUU HIP ini perlu ditarik (dari Prolegnas) dan bukan hanya sekadar direvisi. Pertama, setiap undang-undang tidak boleh berpretensi menjadi undang-undang dasar,” ujar Fadli dalam keterangannya, Kamis (18/6).
“Kedua, Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang mestinya jadi acuan dalam setiap regulasi atau undang-undang.
Ironisnya RUU HIP ini malah ingin menjadikan Pancasila sebagai undang-undang itu sendiri,” imbuh Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR itu.
Ketiga, lanjut Fadli, RUU HIP gagal memisahkan ‘wacana’ dari ‘norma’. Pancasila, kata dia, dengan rumusan kelima silanya, adalah ‘norma’. Rumusannya terjaga di dalam naskah Pembukaan UUD 1945
Keempat, selain cacat materil, RUU ini juga mengandung cacat formil. RUU ini berpretensi menjadi ‘omnibus law’, padahal kajian akademiknya tak dimaksudkan demikian.
Fadli menjelaskan, kalau dibaca pasal-pasalnya, RUU ini ingin mengatur berbagai isu, mulai dari soal demokrasi, ekspor, impor, telekomunikasi, pers, media, riset, dan lain-lain.
“Pancasila adalah alat pemersatu. Terkait dengan RUU HIP, apa pun intensi awal penyusunan RUU ini, RUU HIP sedikit atau banyak telah membuka kembali kontak pandora yang bisa membawa kita pada pertentangan yang seharusnya telah dianggap selesai 60 tahun silam,” tegas Fadli.
Fadli menambahkan, besar terdapat masalah sentimen-politik karena secara ceroboh RUU HIP telah mengabaikan Tap MPRS No. XXV/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan komunisme dalam konsiderannya
“Sehingga telah memancing kecurigaan dari kalangan umat Islam jika wacana mengenai Pancasila kembali hendak dipisahkan dari agama dan nilai-nilai religius,” tutupnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan bahwa kegiatan belajar mengajar di ibu kota masih dilakukan dari rumah.
Kebijakan
Anies tersebut mendapat apresiasi dari Wakil Ketua Umum Partai
Gerindra, Fadli Zon. Fadli mengatakan bahwa belajar dari rumah bisa
mengontrol penyebaran virus corona (Covid-19).
“Ini kebijakan yang benar, jangan dipaksakan apalagi coba2. Sekolah tetap dari rumah hingga pandemi Covid-19 bisa terkontrol,” ujar Fadli seperti dikutip dari akun Twitternya @fadlizon, Rabu (17/6).
ni kebijakan yg benar, jgn dipaksakan apalagi coba2. Sekolah tetap dr rumah hingga pandemi Covid-19 bisa terkontrol.
Tak Izinkan Sekolah Buka Dalam Waktu Dekat, Anies: Daripada Menyesal di Kemudian Hari
Sebelumnya, Anies Baswedan mengatakan bahwa kegiatan belajar mengajar
di ibu kota masih dilakukan dari rumah. Hal itu dilontarkan Anies untuk
menanggapi informasi yang menyebut kawasan zona hijau Covid-19 bisa
menjalani sekolah tatap muka.
“Kami di DKI baru akan membuka sekolah setelah benar-benar aman, dan saat ini belum aman untuk anak-anak. Karena itu, kami belum berencana membuka sekolah di Jakarta untuk kegiatan belajar mengajar. Jadi kami masih berencana untuk mengadakan kegiatan belajar mengajar dari rumah,” kata Anies di Jakarta, Selasa (16/6).
Pemerintah, melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, telah
memperbolehkan 102 wilayah kabupaten/kota di tanah air untuk menerapkan
kebijakan “New Normal”. Kebijakan ini sangat mencemaskan, karena secara
epidemiologis Indonesia sebenarnya masih berada dalam zona merah
pandemi. Belum terlihat tanda-tanda “kenormalan”, yang terlihat justru
ketidakjelasan seperti berjalan di tengah kegelapan.
Sebagai catatan, Indonesia saat ini berada di urutan ke-19 dunia
dalam hal penambahan kasus baru. Menurut data WHO (World Health
Organization), angka penularan virus, atau ‘reproduction rate’ (RO)
Corona di Indonesia adalah 2,5, artinya satu penderita bisa menulari 2,5
orang. Tingkat penularan ini masih tergolong tinggi.
Secara umum, ada tiga persoalan kenapa wacana dan kebijakan”New Normal” ini dianggap buruk.
Otorisasi dan organisasi pengambilan keputusannya kacau. Pandemi ini oleh Pemerintah telah ditetapkan sebagai bencana nasional, di mana strategi yang dipilih untuk mengatasinya adalah PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020, penetapan PSBB ini kewenangannya dipegang oleh Kementerian Kesehatan. Namun, otorisasi “New Normal”, yang dalam praktiknya bisa disebut sebagai bentuk pelonggaran terhadap PSBB, alih-alih dikembalikan ke Kementerian Kesehatan, malah dipegang oleh Gugus Tugas. Ini membuat organisasi pengambilan keputusan jadi tak jelas.
Hasilnya sudah bisa kita lihat. Dari 102 wilayah yang diperbolehkan “New Normal” oleh Gugus Tugas, misalnya, tak ada satupun kota di Jawa yang masuk rekomendasi, kecuali Tegal. Tapi anehnya, Gubernur Jawa Barat sudah mengumumkan per 1 Juni kemarin ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan “New Normal”. Ini kan jadi kacau otorisasinya!
Kedua, datanya ‘misleading’. Pemerintah mengklaim
angka reproduksi Covid-19 Indonesia sudah berada di angka 1,09. Dalam
standar WHO, angka ini bisa dianggap terkendali. Masalahnya, angka yang
digunakan Pemerintah ini adalah angka yang ada di DKI Jakarta.
Menggunakan tren perbaikan R0 dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar
untuk menggaungkan kebijakan “New Normal” di level nasional jelas
‘misleading’. Lagi pula, meskipun di atas kertas data Covid-19 di DKI
trennya cenderung membaik, data itu tetap harus dilihat secara kritis.
Berdasarkan data Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,
dalam dua minggu terakhir tingkat penularan Covid-19 di DKI Jakarta
memang turun. Pada 31 Mei lalu, angkanya berkisar antara 0,89 hingga
1,22. Masalahnya adalah, tren penurunan itu harus kita hubungkan dengan
dibukanya keran mudik alias pulang kampung oleh Pemerintah menjelang
lebaran kemarin.
Menurut data Jasa Marga, tercatat ada 465.582 kendaraan keluar dari
Jakarta dalam rentang waktu H-7 hingga H-1 sebelum lebaran kemarin. Dari
jumlah tersebut, menurut Polda Metro Jaya, hanya sekitar 25 ribu
kendaraan saja yang bisa dihalau untuk putar balik. Artinya, secara de
facto terjadi arus mudik pada lebaran kemarin. Sehingga, tren penurunan
kasus baru dan tingkat penularan Covid-19 di DKI belum menggambarkan
kondisi normal yang sesungguhnya.
Terbukti, saat kasus di DKI menurun, di Surabaya justru terjadi
ledakan jumlah penderita Covid-19, yang membuat Surabaya per hari ini
bukan hanya zona merah, tapi sudah menjadi zona hitam, saking besarnya
jumlah penderita Covid-19 di sana. Artinya, melandainya kurva DKI saat
ini bisa jadi disebabkan karena angkanya kini terdistribusi ke daerah
melalui peristiwa mudik atau pulang kampung tadi.
Ketiga, basis datanya tak proporsional. Mengutip
data Worldometer, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di
dunia, Indonesia ternyata memiliki tingkat pengujian yang terburuk di
antara negara-negara yang paling terpengaruh oleh Covid-19. Sejauh ini
pemerintah Indonesia hanya bisa melakukan 967 tes untuk setiap 1 juta
penduduk. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang melakukan 46.951 tes
untuk tiap 1 juta penduduk, Singapura yang mencapai 57.249 per 1 juta
penduduk, atau Malaysia yang berada di angka 16.083 per 1 juta penduduk.
Hingga kni, untuk urusan perbandingan tes corona, Indonesia masih
berada di urutan 96 dari 100 negara dengan kasus terbanyak. Indonesia
hanya berada di atas Afghanistan, Sudan, Pantai Gading, dan Nigeria.
WHO sendiri menganjurkan syarat minimal pemeriksaan Covid-19 adalah 1
orang per 1.000 penduduk per minggu. Kalau penduduk Indonesia 273 juta,
berarti per pekan seharusnya ada tes bagi 273 ribu penduduk. Dalam 12
pekan sejak kasus pertama ditemukan pada awal Maret lalu, kita mestinya
sudah melakukan 3.276.000 tes.
Kalau meniru pola Korea Selatan, yang melakukan tes terhadap 0,6
persen penduduk, maka dengan jumlah penduduk 273 juta, kita seharusnya
sudah melakukan tes terhadap 1.638.000 orang.
Lantas, bagaimana kenyataan riil di Indonesia?
Menurut data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, hingga 2
Juni kemarin baru 237.947 orang yang telah menjalani pemeriksaan
Covid-19 pada laboratorium yang aktif di seluruh Indonesia. Jumlah yang
sangat kecil dan tidak proporsional.
Dalam catatan saya, hanya DKI Jakarta yang bisa memenuhi kriteria
minimal yang diminta WHO, yaitu tes 1 orang per 1.000 penduduk. Dengan
jumlah penduduk sekitar 10 juta jiwa, jumlah tes Covid-19 di DKI sudah
lebih dari 120 ribu. Artinya, lebih bagus dari syarat minimal yang
ditetapkan WHO.
Jadi, dengan jumlah tes nasional yang sangat tidak proporsional
tersebut, menggaungkan wacana “New Normal” menurut saya sebuah langkah
spekulatif membahayakan.
Dari sisi pengambilan keputusan, kita juga sama-sama melihat kalau
wacana “New Normal” ini tak banyak melibatkan pertimbangan kalangan
profesi kesehatan. Wacana tersebut lebih banyak didikte kalangan
pengusaha. Padahal, bencana yang kita hadapi saat ini adalah bencana
kesehatan.
Untuk menghadapi pandemi, Pemerintah seharusnya percaya pada sains
serta menggunakan data yang akurat serta proporsional. Apalagi, “New
Normal” itu kan sebenarnya istilah akademis, sehingga keputusan
mengenainya juga seharusnya berpijak di atas data-data ilmiah, bukan
berpijak di atas harapan, apalagi atas dasar kepentingan sekelompok
orang. Jangan sampai kebijakan ini hanya uji coba “trial and error” yang
menjadikan rakyat sebagai “kelinci percobaan.”
Sangat disayangkan kalau proses perumusan kebijakan publik oleh
Pemerintah masih bertumpu pada keajaiban daripada kalkulasi saintifik.
Dr. Fadli Zon, M.Sc. Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra
Keputusan pemerintah yang batal mengirim jamaah haji pada 1441
Hijriyah menjadi perbincangan publik. Utamanya mengenai dana simpanan
haji yang menganggur.
Terlebih lagi setelah Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH)
Anggito Abimanyu membuka opsi bahwa simpanan itu bisa digunakan untuk
memperkuat ekonomi bangsa.
Salah satunya dengan memanfaatkan uang sebesar 600 juta dolar AS atau setara Rp 8,7 triliun untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
Mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon bahkan meminta pihak pengelola
dana untuk bertanya lebih dulu ke para jamaah sebelum memanfaatkan dana
tersebut.
“Memangnya jamaah haji yang sudah bayar lunas itu rela dana mereka
dipakai perkuat rupiah? Tanya pemilik dana,” tekannya dalam akun Twitter
pribadi, Rabu (3/6).
Fadli Zon tidak ingin langkah diambil merugikan jamaah. Terlebih
langkah memperkuat rupiah di saat krisis global akibat pandemik virus
corona sangat berisiko.
“Jangan nanti uang haji hilang melayang. Kita sudah tahu dan harusnya Menteri Agama bisa antisipasi tak akan ada haji sejak Maret 2020,” demikian wakil ketua umum DPP Partai Gerindra itu
Pemerintah secara resmi memutuskan untuk membatalkan ibadah haji 2020 sehubungan adanya pandemi Covid-19. Keputusan ini tak luput dari perhatian Mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon.
Fadli Zon mengkritisi klaim yang mengatakan bahwa nantinya dana simpanan penyelenggaraan ibadah haji 2020 akan dikaji untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.
Melalui akun Twitter pribadinya @fadlizon, politikus Partai Gerindra itu mempertanyakan klaim tersebut. Sebab menurutnya tidak semua jemaah rela dananya diperuntukkan untuk memperkuat rupiah
“Memangnya jamaah haji yang sudah bayar lunas itu rela dana mereka dipakai perkuat rupiah? Tanya pemilik dana,” tulisnya seperti dikutip Suara.com, Rabu (3/6/2020).
Mestinya, kata Fadli Zon, pemerintah terlebih dahulu menyampaikan maksud tersebut kepada jemaah haji yang gagal berangkat di tahun 2020 ini.
Hal itu semata-mata dilakukan sebagai bentuk transparansi bahwa dana simpanan para jemaah aman karena ditujukan untuk keperluan menstabilkan rupiah.
“Jangan nanti uang haji hilang melayang,” imbuhnya. Lebih lanjut, Fadli Zon pun menyoroti keputusan Menteri Agama Fachrul Razil terkait pembatalan ibadah haji 2020 yang terkesan mendadak hingga menuai kontroversi. Baginya, Menag seharunya mengeluarkan keputusan tersebut sejak bulan Maret lalu.
“Kita sudah tau dan harusnya Menteri Agama bisa antisipasi tak akan ada haji sejak Maret 2020,” kata Fadli Zon memungkasi.
Cuitan Fadli Zon tersebut mengacu pada pemberitaan sebuah pemberitaan berjudul “RI Tak Kirim Jemaah Haji 2020, Dananya Dikaji untuk Perkuat Rupiah”.
Untuk diketahui, Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan pembatalan ibadah haji 2020 merupakan keputusan yang cukup pahit dan sulit, namun mesti dilakukan dengan berbagai pertimbangan.
Fachrul Razi mengatakan pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jamaah haji pada musim haji 2020/1441 Hijriah karena pertimbangan pandemi COVID-19.
“Pemerintah memutuskan untuk tidak memberangkatkan jamaah haji pada tahun 2020/1441 Hijriah,” kata Menag dalam konferensi pers mengenai penyampaian keputusan pemerintah terkait penyelenggaran ibadah haji 2020/1441 Hijriah di Jakarta seperti dikutip dari Antara, Selasa (2/6/2020).
Pembatalan pemberangkatan jamaah haji tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 494/2020. Sesuai dengan amanat undang-undang selain persyaratan ekonomi dan fisik, kesehatan dan keselamatan jamaah haji harus diutamakan mulai dari embarkasi, di Tanah Suci hingga kembali ke Tanah Air.
Keputusan pemerintah yang batal mengirim jamaah haji pada 1441 Hijriyah menjadi perbincangan publik. Utamanya mengenai dana simpanan haji yang menganggur.
Terlebih lagi setelah Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu membuka opsi bahwa simpanan itu bisa digunakan untuk memperkuat ekonomi bangsa.
Salah satunya dengan memanfaatkan uang sebesar 600 juta dolar AS atau setara Rp 8,7 triliun untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
Mantan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon bahkan meminta pihak
pengelola dana untuk bertanya lebih dulu ke para jamaah sebelum
memanfaatkan dana tersebut.
“Memangnya jamaah haji yang sudah bayar lunas itu rela dana
mereka dipakai perkuat rupiah? Tanya pemilik dana,” tekannya dalam akun
Twitter pribadi, Rabu (3/6).
Fadli Zon tidak ingin langkah diambil merugikan jamaah. Terlebih
langkah memperkuat rupiah di saat krisis global akibat pandemik virus
corona sangat berisiko.
“Jangan nanti uang haji hilang melayang. Kita sudah tahu dan harusnya Menteri Agama bisa antisipasi tak akan ada haji sejak Maret 2020,” ujar wakil ketua umum DPP Partai Gerindra itu.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu, mengatakan
tentang penilaian pentingnya alih teknologi investasi tambang nikel dari
China.
Menurutnya, Indonesia sudah memproduksi nikel dan baja sejak tahun 1960-an.
“Sedang masif bhw seakan2 penting sekali alih teknologi lewat investasi tambang nikel dari China. Sebagai info saja bahwa Indonesia produksi nikel dan baja sejak tahun 60 an dan dilakukan oleh putera-puteri Indonesia,” ujar Said Didu seperti dilihat Jitunews di akun Twitternya @msaid_didu, Senin (1/6).
Cuitan dari Said Didu tersebut mendapat tanggapan dari Wakil Ketua
Umum Partai Gerindra, Fadli Zon. Menurut Fadli, memasukkan tenaga kerja
asing (TKA) dari China terkait teknologi adalah dalih yang menghina akal
sehat.
“Memasukkan TKA Cina ke Indonesia krn alih teknologi. Sungguh dalih yg menghina akal sehat,” ujar Fadli membalas cuitan Said Didu.