Blog

Gerindra Desak Pemerintah Lindungi Produk Lokal

Gerindra Desak Pemerintah Lindungi Produk Lokal

Gerindra Desak Pemerintah Lindungi Produk LokalPartai Gerindra meminta pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan perdagangan bebas. Liberalisasi perdagangan di Indonesia dianggap tidak menguntungkan.

“Akibat perdagangan bebas yang tak adil, negara kita hanya menjadi pasar bagi negara-negara besar,” kata Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon, Selasa (29/1).

Ia pun menyayangkan pernyataan Menteri Perdagangan Gita Wiryawan di World Ekonomic Forum, di Davos, Swiss beberapa waktu lalu. Ketika itu, Gita menyatakan mendukung penuh liberalisasi perdagangan antarnegara untuk mendukung perekonomian dunia.

Menurut Fadli, liberalisasi perdagangan malah menutup lapangan pekerjaan yang mencapai angka 7.5 juta jiwa. Artinya jumlah pengangguran terbuka akan naik dua kali lipat.

Bahkan ILO melaporkan akibat perdagangan bebas dengan Cina, Indonesia mengalami penurunan kesempatan pekerjaan sebanyak 188.635 orang.

“Sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak kehilangan kesempatan kerjanya.”

Saat ini, ujarnya, Indonesia memang telah bergabung ke dalam mekanisme perdagangan bebas. Namun nyatanya itu tak diiringi peningkatan daya saing produk sendiri.

Hasilnya, impor malah lebih besar dibanding ekspor. Sehingga Indonesia hanya jadi pasar bagi produk asing.

“Pertumbuhan impor kita pasca-ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) 54,97 persen. Sementara ekspor Indonesia ke RRC hanya tumbuh 25,08 persen. RRC juga telah membeli 6779 SNI dari kita,” kata Fadli.

Karenanya, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan melindungi produk-produk yang belum siap dibebaskan. Termasuk adanya promosi. Apalagi, kebijakan ini juga tetap dilakukan negara- negara maju.

Seperti Cina dan Amerika Serikat (AS) yang tidak membuka pasarnya ketika manufakturnya belum kuat.

Fadli menilai, pemerintah bisa menahan laju serbuan produk asing untuk memproteksi produk lokal. Misalnya dengan voluntary export restraint. Yaitu, kebijakan yang memaksa pembatasan barang negara eksportir.

Ini pernah dilakukan AS ketika produk Cina membanjiri pasar. Artinya, lanjut dia, pasar bebas terbukti gagal dan sering merugikan masyarakat lemah.

“Pemerintah harusnya melakukan upaya nyata melindungi kepentingan nasional, bukan sebaliknya.”

Fadli Zon minta perdangan bebas dievaluasi

Fadli Zon minta perdangan bebas dievaluasi

 Fadli Zon minta perdangan bebas dievaluasi
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan selama ini perdagangan bebas seringkali tidak adil bagi Indonesia sehingga Indonesia perlu melakukan evaluasi dan memproteksi produk-produk yang belum siap mengikuti sistem perdagangan itu.

“Selama ini liberalisasi perdagangan di Indonesia tak menguntungkan. Oleh sebab itu perdangangan bebas di Indonesia harus dievaluasi,” katanya, di Jakarta, Selasa.

Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya mengatakan liberalisasi perdagangan malah menutup lapangan pekerjaan yang mencapai angka 7.5 juta jiwa. Artinya, kata Fadli, jumlah pengangguran terbuka akan naik dua kali lipatnya.

Bahkan ILO (Organisasi Buruh Internasional) melaporkan akibat perdagangan bebas dengan RRC misalnya, Indonesia mengalami penurunan kesempatan pekerjaan sebanyak 188.635 orang. Sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak kehilangan kesempatan kerjanya.

“Saat ini kita memang telah bergabung ke dalam mekanisme perdagangan bebas. Namun hal ini tak diiringi peningkatan daya saing produk sendiri,” katanya. Hasilnya, impor Indonesia lebih besar dibanding ekspor. Indoneia hanya jadi pasar bagi produk asing.

Fadli Zon memberi contoh, Misalnya, pertumbuhan impor kita pasca ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) 54.97 persen, sementara ekspor Indonesia ke RRC hanya tumbuh 25.08 persen. RRC juga telah membeli 6779 SNI dari Indonesia.

Untuk Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan melindungi produk-produk dalam negeri yang belum siap dibebaskan. “Harus ada proteksi dan promosi. Kebijakan ini juga tetap dilakukan negara- negara maju. RRC dan AS tidak membuka pasarnya ketika manufakturnya belum kuat,” paparnya.

Indonesia, lanjutnya, bisa menahan laju serbuan produk asing untuk proteksi produk lokal misalnya dengan “Voluntary Export Restraint” atau kebijakan yang memaksa pembatasan barang negara eksportir. AS pernah melakukan ini ketika produk RRC membanjiri pasar. Pasar bebas, yang menjadi resep Washington Consensus, terbukti gagal dan sering merugikan masyarakat lemah.

Untuk itu Fadli Zon menyayangkan pernyataan seorang pejabat Indonesia yang mendukung liberalisasi perdangan antarnegara untuk mendukung perekonomian dunia.

Aprindo lecehkan petani Indonesia

Aprindo lecehkan petani Indonesia

Aprindo lecehkan petani Indonesia

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menilai Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melecehkan petani Indonesia terkait pernyataan Aprindo yang “menteror” konsumen jika memakan buah dan sayur lokal akan terkena diare.

“Pernyataan Aprindo sangat melecehkan petani Indonesia dan hasil bumi sendiri,” kata Ketua Bidang Perdagangan Dewan Pimpinan Nasional (DPN) HKTI, Ismet Hasan Putro.

Ismet mengatakan bahwa sikap pragmatis dan kepentingan bisnis jangan mengabaikan semangat bangsa ini untuk mandiri dan mengurangi impor.

Dia menambahkan bercermin pada realitas dan fenomena global, lazim jika pemerintah juga berpihak kepada petani dan kepentingan nasional.

HKTI berharap bahwa permentan dan permendag dapat diimplementasikan secara konsisten oleh instrumen negara atau aparat hukum agar dalam pelaksanaannya tidak ada penyimpangan hanya karena kepentingan pragmatis.

Buah Lokal Tidak Kalah dari Buah Impor

Buah Lokal Tidak Kalah dari Buah Impor

Buah Lokal Tidak Kalah dari Buah Impor
Ini ditegaskan Fadli Zon Sekretaris Jenderal DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menyikapi pernyataan Bob Budiman Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo).

Sebelumnya, Bob Budiman menyatakan, makan buah lokal akan menyebabkan diare. Selain itu, Bon mengatakan buah lokal rasanya kecut atau asam dan kalah dengan buah impor.

Menurut Fadli Zon seperti dilaporkan Faiz Fajarudin reporter Suara Surabaya di Jakarta, Senin (28/1/2013), pernyataan itu sangat tidak berdasar dan lebih didominasi kepentingan bisnis semata.

Kualitas buah lokal jauh lebih baik dibanding buah impor. Buah lokal jauh lebih segar. Dan buah tropis terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibanding buah impor.

Dia menjelaskan, kandungan vitamin C dan A di mangga lokal sepuluh kali lebih tinggi ketimbang buah impor. Lebih sehat dan bermanfaat. Tak ada zat aditif atau pengawet untuk mengawetkan dan menjadikan buah manis. Sebaliknya, pada buah impor penggunaan zat aditif atau pengawet merupakan hal yang biasa.

Menurut Fadli, riset IPB pernah menemukan buah impor yang mengandung lapisan lilin sebagai pengawet, yang dapat menyebabkan kanker usus, hati, dan leukeumia. Lebih parah daripada diare.

Atas fakta itu, Fadli menegaskan pernyataan Gisimindo itu tidak valid. Dan jelas yang dibelanya bukanlah hak konsumen, tapi kepentingan segelintir importir saja.

Sehingga, tidak sekadar manis atau asam, tapi bagaimana punya naluri kebangsaan yang mendukung kepentingan nasional. Alih-alih membela hak konsumen, pernyataan itu menunjukkan diri mereka sebagai pembela kepentingan asing.

Fadli menilai ,pernyataan Gisimindo itu juga melukai hati para petani buah Indonesia. Kurang cukupnya pasokan di pasar, bukan karena kurangnya produk lokal. Tapi, seringkali ada oknum yang sengaja memangkas rantai distribusi buah lokal. Akibatnya, pasokan tersendat dan barang menjadi sedikit di pasaran.

Fadli mendukung batasan kuota impor buah yang dilakukan pemerintah. Hal ini bisa menjadi awal kebangkitan buah lokal. Larangan impor buah bisa menguntuingkan petani Indonesia. (faz/ipg)

Importir Dinilai Menjelek-jelekkan Buah Lokal Demi Keuntungan Sendiri

Importir Dinilai Menjelek-jelekkan Buah Lokal Demi Keuntungan Sendiri

Importir Dinilai Menjelek-jelekkan Buah Lokal Demi Keuntungan Sendiri“Kami mendukung batasan kuota impor buah oleh pemerintah. Hal ini bisa menjadi awal kebangkitan buah lokal” Jakarta – Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon, mengkritik sejumlah pelaku importir buah yang menjelek-jelekkan kualitas buah dalam negeri dengan tujuan menghantam kebijakan pembatasan impor buah.

Fadli mengutip pernyataan Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo) Bob Budiman yang menyatakan, memakan buah lokal akan menyebabkan diare. Selain itu, ia mengatakan, buah lokal rasanya kecut atau asam dan kalah dengan buah impor.

Bagi Fadli Zon, pernyataan demikian sangat tak berdasar dan lebih didominasi kepentingan bisnis semata. Sebab kualitas buah lokal nasional jauh lebih baik dibanding buah impor.

“Buah lokal kita jauh lebih segar. Buah tropis terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibanding buah impor. Kandungan vitamin C dan A di mangga lokal sepuluh kali lebih tinggi ketimbang buah impor. Lebih sehat dan bermanfaat. Tak ada zat aditif atau pengawet untuk mengawetkan dan menjadikan buah manis,” jelas Fadli Zon di Jakarta, Senin (28/1).

Sebaliknya, pada buah impor penggunaan zat aditif atau pengawet adalah hal yang biasa. Riset IPB pernah menemukan buah impor yang mengandung lapisan lilin sebagai pengawet, yang dapat menyebabkan kanker usus, hati, dan leukemia.

“Lebih parah daripada diare,” tukas pria yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.

Fadli Zon pun menuding pernyataan Gisimindo tersebut tak valid dan hanya sekedar membela kepentingan segelintir importir saja.

Menurutnya, sikap membela asing demikianlah yang berujung pada kurang cukupnya pasokan buah di pasar, yang terjadi bukan karena kurangnya produk lokal. Namun karena seringkali ada oknum yang sengaja memangkas rantai distribusi buah lokal, kata Fadli Zon.

“Akibatnya, pasokan tersendat dan barang menjadi sedikit di pasaran,” tandasnya.

“Kami mendukung batasan kuota impor buah oleh pemerintah. Hal ini bisa menjadi awal kebangkitan buah lokal. Larangan impor buah tentunya menguntungkan petani Indonesia.”

Pemerintah baru-baru ini menerapkan larangan impor buah dan banyak mendapat kritikan dari para importir.

Gerindra: Gisimindo Bela Bisnis Asing dan Lukai Petani Buah Indonesia

Gerindra: Gisimindo Bela Bisnis Asing dan Lukai Petani Buah Indonesia

Gerindra: Gisimindo Bela Bisnis Asing dan Lukai Petani Buah Indonesia

Kandungan vitamin pada buah lokal jauh lebih tinggi daripada buah impor. Selain itu buah lokal terbukti tidak mengandung zat aditif atau pengawet.
Jakarta, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon, mengomentari pernyataan dari Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo) Bob Budiman yang menyatakan bahwa buah lokal menyebabkan penyakit diare dan rasanya asam sehingga kalah dari buah impor.

“Pernyataan ini sangat tak berdasar dan lebih didominasi kepentingan bisnis semata. Kualitas buah lokal kita jauh lebih baik dibanding buah impor. Buah lokal kita jauh lebih segar dan terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibanding buah impor,” ujarnya melalui rilis yang diterima Aktual.co, Senin, (28/01).

Dia menerangkan bahwa kandungan vitamin pada buah lokal jauh lebih tinggi daripada buah impor. Selain itu buah lokal terbukti tidak mengandung zat aditif atau pengawet.

“Kandungan vitamin C dan A di mangga lokal sepuluh kali lebih tinggi ketimbang buah impor. Lebih sehat dan bermanfaat. Tak ada zat aditif atau pengawet untuk mengawetkan dan menjadikan buah manis,” terangnya.

Sebaliknya pada buah impor terdapat zat aditif atau pengawet. Riset Institut Pertanian Bogor pernah menemukan buah impor mengandung lapisan lilin sebagai pengawetnya, sehingga sangat berbahaya.

“Sebaliknya, pada buah impor penggunaan zat aditif atau pengawet adalah hal yang biasa. Riset IPB pernah menemukan buah impor yang mengandung lapisan lilin sebagai pengawet, yang dapat menyebabkan kanker usus, hati, dan leukeumia,” tambahnya.

Melihat fakta yang ada, jelas bahwa pernyataan Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia tentang buah lokal yang tidaklah valid. Terbukti yang dibela adalah kepentingan asing, bukan kepentingan rakyat indonesia.

“Pernyataan tersebut menunjukkan diri mereka sebagai pembela kepentingan asing. Pernyataan Gisimindo tersebut tentunya juga melukai hati para petani buah Indonesia

Seperti diketahui sebelumnya, bahwa Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo), Bob Budiman, menyatakan bahwa memakan buah lokal akan menyebabkan diare. Selain itu, ia mengatakan bahwa buah lokal rasanya kecut atau asam dan kalah dengan buah impor.

HKTI Kecam Pernyataan Gisimindo yang Lebih Membela Kepentingan Asing

HKTI Kecam Pernyataan Gisimindo yang Lebih Membela Kepentingan Asing

HKTI Kecam Pernyataan Gisimindo yang Lebih Membela Kepentingan AsingPernyataan Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo), Bob Budiman, menuai kecaman. Bob mengatakan bahwa memakan buah lokal akan menyebabkan diare, dan rasa buah lokal juga kecut dan asam, serta kalah bila dibandingkan dengan buah impor.

Pernyataan Bob ini, kata Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Fadli Zon, sangat tak berdasar dan lebih didominasi kepentingan bisnis semata. Faktanya, kualitas buah lokal jauh lebih baik dibanding buah impor. Selain jauh lebih segar, buah tropis juga terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya, bahkan bisa lebih dari 10 kali lipat, dibandingkan buah impor. Bahkan, buah lokal juga lebih sehat dan bermanfaat karena tidak mengandung zat aditif atau pengawet untuk mengawetkan dan menjadikan buah manis.

Sebaliknya, kata Fadli, kepada Rakyat Merdeka Online beberapa saat lalu (Senin, 28/1), sudah biasa bila buah impor menggunakan zat aditif atau pengawet. Riset IPB pernah menemukan buah impor yang mengandung lapisan lilin sebagai pengawet, yang dapat menyebabkan kanker usus, hati, leukeumia, dan ini tentu saja lebih parahdaripada diare.

“Atas fakta itu, pernyataan Gisimindo tersebut tak valid. Dan jelas yang dibelanya bukanlah hak konsumen, tapi kepentingan segelintir importir saja,” kata Fadli, yang juga Wakil Ketua Umum Gerindra, sambil mengatakan bahwa bahwa persoalan buah ini tak sekedar masalah manis atau asam, tapi juga persoalan naluri kebangsaan dan komitmen mendukung kepentingan nasional.

“Alih alih membela hak konsumen, pernyataan Gisimindo menunjukkan diri mereka sebagai pembela kepentingan, dan melukai hati para petani buah Indonesia. Kurang cukupnya pasokan di pasar, bukan karena kurangnya produk lokal. Namun, seringkali ada oknum yang sengaja memangkas rantai distribusi buah lokal. Akibatnya, pasokan tersendat dan barang menjadi sedikit di pasaran,” tegas Fadli, sambil memastikan bahwa HKTI dan Gerindra mendukung batasan kuota impor buah oleh pemerintah sebab hal ini awal kebangkitan buah lokal dan tentu saja menguntungkan petani Indonesia.

Fadli Zon: Buah Lokal Berkualitas Baik

Fadli Zon: Buah Lokal Berkualitas Baik

Sekretaris Jenderal DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon mengatakan, buah lokal juga memiliki kualitas yang baik, dan tidak kalah dari buah impor.

“Kualitas buah lokal kita jauh lebih baik dibanding buah impor,” katanya di Jakarta, Senin.

Fadli yang juga Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu mengatakan hal tersebut menanggapi pernyataan Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo) Bob Budiman.

Bob menyatakan bahwa memakan buah lokal akan menyebabkan diare.

Selain itu, ia mengatakan bahwa buah lokal rasanya kecut atau asam dan kalah dengan buah impor.

“Pernyataan ini sangat tidak berdasar dan lebih didominasi kepentingan bisnis semata. Buah lokal kita jauh lebih segar dan buah tropis terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibanding buah impor,” kata Fadli.
Fadli Zon Buah Lokal Berkualitas Baik Ia mencontohkan, kandungan vitamin C dan A di mangga lokal sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan buah impor sehingga lebih sehat dan bermanfaat tanpa ada zat aditif (tambahan) atau pengawet untuk mengawetkan dan menjadikan buah manis.

Sebaliknya, kata dia, pada buah impor penggunaan zat aditif atau pengawet adalah hal yang biasa.

Dikemukakannya bahwa riset IPB pernah menemukan buah impor yang mengandung lapisan lilin sebagai pengawet, yang dapat menyebabkan kanker usus, hati, dan leukeumia yang lebih parah dari pada diare.

“Atas fakta itu, pernyataan Gisimindo tersebut tak valid. Jelas yang dibela bukanlah hak konsumen, tapi kepentingan segelintir importir saja. Pernyataan tersebut menunjukkan diri mereka sebagai pembela kepentingan asing,” tambah Fadli.

Menurut dia, pernyataan Gisimindo tersebut tentunya juga melukai hati para petani buah Indonesia.

Kurang cukupnya pasokan di pasar, bukan karena kurangnya produk lokal. Namun, seringkali ada oknum yang sengaja memangkas rantai distribusi buah lokal. Akibatnya, pasokan tersendat dan barang menjadi sedikit di pasaran.

Ia sangat mendukung batasan kuota impor buah oleh pemerintah karena hal tersebut bisa menjadi awal kebangkitan buah lokal dan larangan impor buah tentunya menguntungkan petani Indonesia.

Larangan Impor Buah Untungkan Petani Indonesia

Larangan Impor Buah Untungkan Petani Indonesia

Larangan Impor Buah Untungkan Petani Indonesia
Wakil Ketua Gabungan Importir Hasil Bumi Indonesia (Gisimindo), Bob Budiman, menyatakan bahwa memakan buah lokal akan menyebabkan diare. Selain itu, ia mengatakan bahwa buah lokal rasanya kecut atau asam dan kalah dengan buah impor.

Sekretaris Jenderal DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon menyatakan, apa yang disampaikan Bob Budiman sangat tak berdasar dan lebih didominasi kepentingan bisnis semata.

Kualitas buah lokal kita jauh lebih baik dibanding buah impor. Buah lokal kita jauh lebih segar. Dan buah tropis terbukti lebih unggul kandungan vitaminnya dibanding buah impor.

Kandungan vitamin C dan A di mangga lokal, tegas Fadli, sepuluh kali lebih tinggi ketimbang buah impor. Lebih sehat dan bermanfaat. Tak ada zat aditif atau pengawet untuk mengawetkan dan menjadikan buah manis.

“Sebaliknya, pada buah impor penggunaan zat aditif atau pengawet adalah hal yang biasa. Riset IPB pernah menemukan buah impor yang mengandung lapisan lilin sebagai pengawet, yang dapat menyebabkan kanker usus, hati, dan leukeumia. Lebih parah daripada diare,” ujarnya dalam rilisnya kepada Tribun, Senin (28/1/2012).

Atas fakta itu, sambungnya lagi, pernyataan Gisimindo tentu saja tidaklah valid. Dan jelas, yang dibelanya bukanlah hak konsumen, tapi kepentingan segelintir importir saja.

Sehingga, tak sekedar manis atau asam, tapi bagaimana kita punya naluri kebangsaan yang mendukung kepentingan nasional. Alih alih membela hak konsumen, pernyataan tersebut menunjukkan diri mereka sebagai pembela kepentingan asing. Pernyataan Gisimindo tersebut tentunya juga melukai hati para petani buah Indonesia.

Kurang cukupnya pasokan di pasar, lanjut Fadli Zon, bukan karena kurangnya produk lokal. Namun, seringkali ada oknum yang sengaja memangkas rantai distribusi buah lokal. Akibatnya, pasokan tersendat dan barang menjadi sedikit di pasaran.

“Kami mendukung batasan kuota impor buah oleh pemerintah. Hal ini bisa menjadi awal kebangkitan buah lokal. Larangan impor buah tentunya menguntungkan petani Indonesia,” pungkas Fadli Zon.

Redenominasi Demi Gengsi, Bakal Rawan Dikorupsi

Redenominasi Demi Gengsi, Bakal Rawan Dikorupsi

Redenominasi Demi Gengsi, Bakal Rawan Dikorupsi

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon mengkritisi rencana pemerintah dan Bank Indonesia menjalankan redenominasi rupiah. Menurutnya, redenominasi bukan kebijakan yang tepat saat ini.

“Tidak prioritas dan hanya menghamburkan anggaran. Ada masalah lain yang lebih penting ketimbang redenominasi,” ujar Fadli di Jakarta, Minggu (21/7).

Fadli mengatakan, redenominasi hanya diperlu ketika terjado hyperinflasi. Sementaraa saat ini, lanjutnya, Indonesia tidak mengalami hyperinflasi tapi ketimpangan pemerataan ekonomi. “Maka ketimpangan inilah yang harusnya diselesaikan dulu oleh pemerintah,” cetusnya.

Lebih lanjut Fadli mengatakan, redenominasi berarti pencetakan uang baru. Fadli yang mengutip pernyataan anggota Komisi Keuangan DPR, Sadar Subagyo, mengatakan, BI menghabiskan Rp8,3 triliun untuk mencetak 10 persen uang tiap tahunnya. Karenanya diperkirakan kebijakan redenominasi bisa memakan anggaran Rp 100 triliun.

“Anggaran sebesar ini sangat berpeluang menjadi bancakan para pemburu rente. Tentunya rawan korupsi,” katanya.

Ia menambahkan, efek redenominasi pun besar implikasinya, terutama menaikkan tingkat inflasi. Sebab, masyarakat akan merasa uang yang dipegang bernilai murah.

Yang juga dikritisi Fadli adalah tidak adanya penjelasan Kemenkeu ke DPR terkait rencana redenominasi itu. Sayangnya, katanya, Kemenkau justru sudah melontarkan wacana itu ke publik.

Karenanya Fadli menegaskan, redenominasi harus dibatalkan karena dianggap tak ada urgensinya bagi perekonomian nasional. “Jangan hanya didasarkan pada gengsi semata saja. Sementara masih banyak masalah ekonomi lain yang harus segera direspon dan prioritas seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan,” pungkasnya.