Produk sawit Indonesia yang diboikot oleh Uni Eropa terselip kepentingan dagang untuk melindungi produk mereka sendiri, yaitu ‘Sun Flower Oil’ dan ‘Rapeseed Oil’.
Namun, tidak adanya keterbukaan dan keseriusan tindakan dari Pemerintah pada pelaku industri sawit yang nakal telah ikut mempersulit munculnya kepercayaan masyarakat Eropa.
Opini dunia internasional bagaimanapun tidak bisa diabaikan. Apalagi, selain ancaman boikot dari Uni Eropa, kini juga muncul kampanye global “Palm Oil Free” (Bebas Minyak Sawit) yang mengarah pada boikot total seluruh produk sawit. Demikian diungkapkan Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, Kamis (19/9/2019).
“POF (Palm Oil Free) adalah kampanye negatif terhadap penggunaan produk sawit untuk berbagai industri, terutama ‘consumer product’. Sejumlah LSM lingkungan, serta para aktivis di berbagai belahan dunia, merupakan motornya. Mereka menekan sejumlah industri global untuk mencantumkan label POF di produk yang mereka hasilkan,” ujar Fadli.
Politisi Partai Gerindra ini mengungkapkan, kini ada lebih dari 200 perusahaan multinasional dengan ribuan produk pangan dan non-pangan global yang telah mengadopsi label POF.
Produk-produk itu mencakup biskuit, mi instan, coklat, margarin/mentega, sereal, es krim, makanan ringan, serta makanan beku dan kalengan.
Fadli menyatakan, kampanye tersebut tentu bisa merugikan Indonesia yang merupakan produsen sawit terbesar di dunia. Apalagi, secara global 83 persen penggunaan minyak sawit memang untuk industri pangan.
“Sementara 17 persen sisanya untuk industri non-pangan, termasuk di dalamnya biodiesel. Sehingga, jika labelisasi POF ini kian meluas, maka Indonesia akan kian kesulitan memasarkan minyak sawitnya,” ungkap Fadli.
Itu sebabnya, Fadli mendorong Pemerintah agar memanfaatkan bencana karhutla 2019 sebagai momen untuk mereformasi industri perkebunan sawit di tanah air. Pemerintah harus memperbaiki tata kelola perkebunan sawit agar tidak menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan deforestasi.
“Tindak tegas semua perusahaan sawit yang merusak lingkungan. Tanpa adanya perbaikan yang drastis, produk sawit kita akan semakin ditolak dunia,” tegas Fadli.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai pemerintah Indonesia turut andil dalam membiarkan citra buruk yang terus melekat pada industri sawit nasional. Hal ini, Fadli ungkapkan sebagai bagia dari komentarnya terhadap bencana asap akibat Karhutla.
“Pemerintah belum terbuka dalam melakukan audit industri sawit. Padahal, audit terbuka merupakan bagian dari kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO),” kata Fadli di Twitter, @fadlizon, Kamis (19/9/2019).
Menurut Fadli, seharusnya seluruh perusahaan sawit diperiksa oleh auditor independen yang bertugas memverifikasi apakah betul industri sawit kita tidak mendegradasi lingkungan atau melakukan ‘land cleansing’ dengan cara-cara yang merusak lingkungan.
Memang, kata dia, di balik boikot Uni Eropa atas produk sawit Indonesia terselip kepentingan dagang untuk melindungi produk mereka sendiri, yaitu ‘sun flower oil’ dan ‘rapeseed oil’.
“Namun, tidak adanya keterbukaan dan keseriusan tindakan dari Pemerintah pada pelaku industri sawit yang nakal telah ikut mempersulit munculnya kepercayaan masyarakat Eropa,” jelasnya.
Fadli mengatakan, opini dunia internasional bagaimanapun memang tak bisa diabaikan. Apalagi, selain ancaman boikot dari Uni Eropa tadi, kini juga muncul kampanye global “Palm Oil Free” (Bebas Minyak Sawit) yang mengarah pada boikot total seluruh produk sawit. POF (palm oil free), lanjutnya, adalah kampanye negatif terhadap penggunaan produk sawit untuk berbagai industri, terutama ‘consumer product’.
Sejumlah LSM lingkungan, tutur Fadli, serta para aktivis di berbagai belahan dunia, merupakan motornya. Mereka menekan sejumlah industri global untuk mencantumkan label POF di produk yang mereka hasilkan.
“Kini ada lebih dari 200 perusahaan multinasional dengan ribuan produk pangan dan non-pangan global yang telah mengadopsi label POF. Produk-produk itu mencakup biskuit, mi instan, coklat, margarin/mentega, sereal, es krim, makanan ringan, serta makanan beku dan kalengan,” ungkapnya.
Kampanye ini, menurutnya, tentu saja bisa merugikan Indonesia, yang merupakan produsen sawit terbesar di dunia. Apalagi, secara global 83 persen penggunaan minyak sawit memang untuk industri pangan. Sementara 17 persen sisanya untuk industri non-pangan, termasuk di dalamnya biodiesel. Sehingga, jika labelisasi POF ini kian meluas, maka Indonesia akan kian kesulitan memasarkan minyak sawitnya.
“Itu sebabnya saya ingin mendorong Pemerintah agar memanfaatkan bencana karhutla 2019 sebagai momen untuk mereformasi industri perkebunan sawit di tanah air. Kita harus memperbaiki tata kelola perkebunan sawit agar tidak menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan deforestasi,” hematnya.
“Tindak semua perusahaan sawit yg merusak lingkungan. Tanpa adanya perbaikan yang drastis, produk sawit kita akan semakin ditolak dunia,” sambung Fadli.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan, bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang saat ini sedang terjadi tak ubahnya seperti lemparan kotoran bagi para diplomat kita yang sedang berjuang meyakinkan Uni Eropa dan juga WTO (World Trade Organization) untuk mendukung produk sawit Indonesia. Bencana ini benar-benar merupakan etalase buruk bagi perjuangan diplomasi dagang kita.
“Pemerintah seharusnya menggunakan bencana karhutla sebagai alat untuk membersihkan industri perkebunan sawit nasional dari perusahaan-perusahaan nakal perusak lingkungan. Cara ini, menurut saya, akan sedikit memulihkan citra buruk industri sawit kita di mata dunia,” ungkap Fadli dalam keterangan tertulisnya, Kamis 19 September 2019.
Fadli mendorong Pemerintah agar memanfaatkan bencana karhutla 2019 sebagai momen untuk mereformasi industri perkebunan sawit di tanah air. Menurutnya tata kelola perkebunan sawit harus diperbaiki agar tidak menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan deforestasi.
“Tindak semua perusahaan sawit yang merusak lingkungan. Tanpa adanya perbaikan yang drastis, produk sawit kita akan semakin ditolak dunia,” tegas Waketum Partai Gerindra itu.
Terkait produk sawit, Fadli menginformasikan, awal tahun ini 28 negara Uni Eropa sepakat untuk memasukan minyak sawit Indonesia sebagai katagori tidak berkelanjutan sehingga tak akan mereka gunakan sebagai bahan baku biodiesel. Mereka menyoroti masalah deforestasi akibat adanya budidaya sawit yang masif.
Parahnya lagi, mulai 2030, Uni Eropa akan melarang total konsumsi sawit Indonesia. Artinya, sebelum itu mereka akan mulai mengurangi konsumsi sawit asal Indonesia.
Fadli menuding pemerintah juga turut andil dalam membiarkan citra buruk yang terus melekat pada industri sawit nasional. Alasannya, pemerintah dinilai belum terbuka dalam melakukan audit industri sawit.
Fadli juga mengakui di balik boikot Uni Eropa atas produk sawit Indonesia terselip kepentingan dagang untuk melindungi produk mereka sendiri, yaitu ‘sun flower oil’ dan ‘rapeseed oil’. Namun, tidak adanya keterbukaan dan keseriusan tindakan dari Pemerintah pada pelaku industri sawit yang nakal telah ikut mempersulit munculnya kepercayaan masyarakat Eropa.
Rencana pemerintah menaikkan iuran jaminan kesehatan telah menegasikan fungsi sosial yang mesti diemban lembaga BPJS Kesehatan.
Defisit yang dialami BPJS Kesehatan tidak harus dibebankan kepada masyarakat. Negara harus mempertimbangan kemampuan warganya.
Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam) Fadli Zon menilai, rencana menaikkan iuran melawan logika unsur jaminan sosial.
“Merujuk pada perhitungan awal pendirian BPJS, premi yang dibayarkan memang tidak akan pernah mencukupi pembiayaan,” kata Fadli di Jakarta, Minggu (8/9/2019).
“Di sinilah letak kesalahan kita meletakkan BPJS seolah perusahaan asuransi murni. Negara mestinya mendudukkan sistem jaminan sosial sebagai instrumen dari produktivitas warganya,” tambahnya.
Fadli menilai, premis pokok dalam jaminan sosial adalah tidak ada keadilan sosial tanpa sistem jaminan sosial. Konstitusi sudah mengamanatkan pemerintah untuk menjalankan pasal 28H ayat (1) yang menyatakan setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan berhak memperoleh layanan kesehatan.
“BPJS bukanlah asuransi murni tapi sistem jaminan sosial. Karena BPJS instrumen jaminan sosial oleh negara, maka negara mestinya mempertimbangkan kemampuan warga dalam membayar iuran,” jelas Fadli.
Membebankan premi yang dibayarkan warga, lanjut politisi Partai Gerindra itu, bisa merusak banyak hal, mulai sistem pengupahan, kesejahteraan tenaga kerja, dan lain-lain.
Masalah pokok jaminan sosial justru terletak pada rendahnya anggaran kesehatan. Dari Rp 2.200 triliun pada APBN 2018, anggaran kesehatan masih sekitar Rp 100 triliun.
Ditegaskan kembali, usulan kenaikan iuran BPJS sebagai cara untuk mengatasi defisit sesungguhnya sangat ironis. Di satu sisi pemerintah ingin menaikkan iuran, di sisi lain ada defisit, tapi BPJS telah lebih dulu mengurangi manfaat atau tanggungan berupa obat-obatan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.
“Ini adalah bentuk penyelenggaraan jaminan sosial yang buruk. Perlu evaluasi menyangkut kelembagaan, keorganisasian, SDM, dan sejauh mana sistem dalam BPJS itu berjalan transparan dan akuntabel,” ungkapnya.
Fadli lalu mengungkap defisit yang dialami BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun. Pada 2018 total klaim yang harus dibayar BPJS Rp 24,8 triliun, naik 13,21 persen dari Rp 21,27 triliun pada 2017. Defisit yang dialami BPJS sejak tahun pertama saja sekitar Rp 3,3 triliun di 2014. Lalu Rp 5,7 triliun di 2015, Rp 9,7 triliun di 2016, Rp 9,75 triliun di 2017, dan Rp 10,8 triliun di 2018.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon menyatakan rencana pemerintah menaikkan iuran jaminan kesehatan berlawanan dengan fungsi sosial yang mesti diemban lembaga BPJS Kesehatan.
Menurutnya, kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mestinya tidak harus dibebankan kepada masyarakat dan melawan logika unsur jaminan sosial.
“Merujuk pada perhitungan awal pendirian BPJS, premi yang dibayarkan memang tidak akan pernah mencukupi pembiayaan. Di sinilah letak kesalahan kita meletakkan BPJS seolah perusahaan asuransi murni. Negara mestinya mendudukkan sistem jaminan sosial sebagai instrumen dari produktivitas warganya,” ujarnya dikutip dari keterangan resminya, Minggu (8/9/2019).
Dia menuturkan konstitusi sudah mengamanatkan pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang yang menyatakan setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan berhak memperoleh layanan kesehatan.
“Siapa pun yang berkuasa di Indonesia harus menjalankan amanat konstitusi. Berangkat dari premis ini, setiap persoalan yang berkait dengan BPJS Kesehatan tak bisa langsung dilarikan ke logika rezim aktuaria kesehatan. Sebab BPJS bukanlah asuransi murni tapi sistem jaminan sosial. Karena BPJS instrumen jaminan sosial oleh negara, maka negara mestinya mempertimbangkan kemampuan warga dalam membayar iuran,” katanya.
Membebankan premi yang dibayarkan warga, katanya bisa merusak banyak hal, mulai sistem pengupahan, kesejahteraan tenaga kerja, dan lain-lain. Usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebagai cara untuk mengatasi defisit, kata, sesungguhnya sangat ironis. Di satu sisi pemerintah ingin menaikkan iuran, di sisi lain ada defisit, tapi BPJS telah lebih dulu mengurangi manfaat atau tanggungan berupa obat-obatan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.
“Ini adalah bentuk penyelenggaraan jaminan sosial yang buruk. Perlu evaluasi menyangkut kelembagaan, keorganisasian, SDM, dan sejauh mana sistem dalam BPJS itu berjalan transparan dan akuntabel.”
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zonmenyatakan rencana pemerintah menaikkan iuran jaminan kesehatan menegasikan fungsi sosial yang mesti diemban lembaga BPJS Kesehatan.
Menurutnya, penaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mestinya tidak harus dibebankan kepada masyarakat dan melawan logika unsur jaminan sosial.
“Merujuk pada perhitungan awal pendirian BPJS, premi yang dibayarkan memang tidak akan pernah mencukupi pembiayaan. Di sinilah letak kesalahan kita meletakkan BPJS seolah perusahaan asuransi murni. Negara mestinya mendudukkan sistem jaminan sosial sebagai instrumen dari produktivitas warganya,” ujarnya dikutip dari keterangan resminya, Minggu (8/9/2019).
Dia menuturkan konstitusi sudah mengamanatkan pemerintah untuk menjalankan amanat undang-undang yang menyatakan setiap orang berhak sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan berhak memperoleh layanan kesehatan.
“Siapa pun yang berkuasa di Indonesia harus menjalankan amanat konstitusi. Berangkat dari premis ini, setiap persoalan yang berkait dengan BPJS Kesehatan tak bisa langsung dilarikan ke logika rezim aktuaria kesehatan. Sebab BPJS bukanlah asuransi murni tapi sistem jaminan sosial. Karena BPJS instrumen jaminan sosial oleh negara, maka negara mestinya mempertimbangkan kemampuan warga dalam membayar iuran,” katanya.
Membebankan premi yang dibayarkan warga, katanya bisa merusak banyak hal, mulai sistem pengupahan, kesejahteraan tenaga kerja, dan lain-lain.
Usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebagai cara untuk mengatasi defisit sesungguhnya sangat ironis. Di satu sisi pemerintah ingin menaikkan iuran, di sisi lain ada defisit, tapi BPJS telah lebih dulu mengurangi manfaat atau tanggungan berupa obat-obatan bagi pasien peserta BPJS Kesehatan.
“Ini adalah bentuk penyelenggaraan jaminan sosial yang buruk. Perlu evaluasi menyangkut kelembagaan, keorganisasian, SDM, dan sejauh mana sistem dalam BPJS itu berjalan transparan dan akuntabel.”
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon pempersembahkan sebuah lagu untuk sang ibunda yang sedang berbaring di rumah sakit.
Momentum tersebut dibagikan Fadli Zon lewat Twitternya @fadlizon, Sabtu (7/9/2019). Ia mengatakan jika dirinya ingin menghibur sang ibunda dengan bernyanyi.
“Sabtu siang, menghibur Mama yang sedang sakit dengan lagu-lagu Minang lawas,” tulisnya.
Video yang diunggahnya ini kemudian dibanjiri doa dari netizen. Salah satu yang turut berkomentar yakni Sekjen Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni.
“Semoga mama cepat sembuh. Allahumma amin!” tulis @AntoniRaja.
“Semoga Ibunda Segera Sehat, bisa segera kembali ke rumah berkumpul lagi bersama Keluarga Aamiin,” kata @Ajeng__Cute16.
“Metode baru penyembuhan penyakit yang dilakukan oleh @fadlizon kepada ibu tercinta. Semoga dengan mendendangkan beberapa lagu ibunya cepat sembuh ya, amin,” ujar @AmbiusA.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon meminta agar masukan masyarakat atau dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didengarkan dalam merevisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Karena, kata Fadli Zon, revisi UU itu menyangkut KPK. “Makanya harus ada masukan-masukan dari masyarakat lah termasuk dari KPK-nya sendiri harus didengar, karena ini pembahasan menyangkut masalah institusi itu. Nanti kita lihat di pembahasan,” ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Dia mengakui Partai Gerindra pernah menolak revisi UU KPK tersebut. Namun, dia tidak begitu mengetahui detail proses revisi UU KPK dibawa ke rapat paripurna DPR kemarin.
“Ya ya kita menolak kan, ya nanti saya lihat saya belum tahu, saya sendiri kemarin ada di Bali, jadi tidak mengikuti dari dekat,” kata wakil ketua umum Partai Gerindra ini.
Dia tak bisa memastikan apakah revisi UU KPK itu bisa rampung oleh DPR periode sekarang. “Ya bisa kita lihat nanti dinamikanya. Sama dengan UU Pertanahan, UU KUHP, kan kita coba. Tapi politik tak seperti prosesnya. Kadang-kadang bisa terjadi, kadang-kadang tidak bisa terjadi. Jadi, sangat tergantung dinamika yang muncul,” tuturnya.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, pertemuan Prabowo Subianto dengan Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendropriyono adalah pertemuan kekeluargaan antara senior dan yunior.
“Itu pertemuan kekeluargaan antara senior dan yunior,” kata Fadli di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (6/9/19).
Fadli mengatakan, tentunya pertemuan Prabowo dengan Hendro membahas banyak hal, termasuk soal kondisi Papua.
Dia menjelaskan, Prabowo adalah orang yang sangat memahami soal Papua. Bahkan, kata dia, Prabowo adalah orang yang mengusulkan keuntungan PT Freeport harus diberikan kepada masyarakat Papua.
“Jangan lupa dulu ketika ada 1 persen keuntungan Freeport untuk masyarakat lokal itu usul Prabowo, tahun 96 kalau tidak salah,” terang Wakil Ketua DPR RI itu.
Sehingga, kata dia, masyarakat di sekitar Freeport mendapatkan benefit karena diperjuangkan Prabowo untuk mendapatkan keuntungan dari Freeport.
“Saya kira memang seharusnya demikian, keberadaan perusahan-perusahaan besar di situ harus bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya, masyarakat lokal,” jelasnya.
“Jadi, Prabowo sangat concern tentu saja dengan persoalan Papua. Dan kita ingin terjadi segera pemulihan keamanan, ketertiban, dan kedamaian di sana,” pungkasnya.