Blog

Koleksi Keris Rumah Budaya Fadli Zon Diresmikan

Koleksi Keris Rumah Budaya Fadli Zon Diresmikan

Seratusan keris Minangkabau koleksi Rumah Budaya Fadli Zon, Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat diresmikan, Ahad (20/5/2012). Sejumlah tokoh Minang yang terdiri dari kalangan seniman, sastrawan dan budayawan menghadiri peresmian itu.

Usai peresmian dilanjutkan diskusi kebudayaan dengan tema “Rediscovery Keris Minang” dengan pembicara Fadli Zon, Ketua Lingkaran Keris Indonesia yang juga pendiri Rumah Budaya Fadli Zon, dan mendapatkan gelar Kanjeng Pangeran Kusumo Hadiningrat, serta gelar Kanjeng Pangeran Aryo Kusumo Yudho dari Pakubuwono XIII. Pembicara lainnya Zaenal dari Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) dan Mak Katik, Seniman Tradisi Sumatera Barat.

“Kita tak mengetahui kapan punahnya tradisi pembuatan keris Minangkabau. Tak diketahui siapa Mpu di Ranah Minang, nenek moyangnya atau penerusnya. Yang jelas, artefak keris Minangkabau banyak ditemukan, termasuk koleksi di Rumah Budaya,” ujar Fadli Zon.
Dia menyebutkan, sebagian keris koleksi Rumah Budaya yang dibangunnya diperoleh dari Bukittinggi, melalui Saudara Iwan Edwar yang mengumpulkannya selama puluhan tahun.

“Inilah awal dari sebuah studi untuk menemukan kembali keris Minangkabau (rediscovery),” harapnya.

Selain dipengaruhi Jawa, menurut Fadli Zon, kemungkinan keris Minang banyak juga terpengaruh keris Palembang. Palembang pernah merupakan bagian Persemakmuran Mataram hingga masa Amangkurat I. Ketika Mataram diserang Trunojoyo, Palembang menjadi Kesultanan Palembang Darussalam.

Puncak kemajuan keris Palembang, jelas Fadli Zon, adalah di masa Sultan Candilawang (1662-1706), Sultan Kamaruddin (1715) dan Sultan Jayawikrama (1722). Pada masa ini produksi Mpu keris di Palembang cukup besar. Keris Palembang pudar di awal abad 20.
Sementara itu, keris Minangkabau selalu hadir dalam buku-buku keris dan senjata tradisional.

Dalam buku Traditional Weapons of the Indonesian Archipelago oleh Albert G. Van Zonneveld, foto-foto keris Minangkabau dibedakan dari keris Palembang dan keris Sumatera lainnya. Dalam The Krisdisk (Karsten Sejr Jensen), digambarkan bahwa dalam Perang Paderi, orang-orang Belanda merampas keris Minang dari pasukan Paderi dan dibawa ke Belanda. Pada keris itu tertera tahun 1835 dan 1837.

“Ini artinya, keris telah menjadi budaya yang tak terpisahkan bagi orang Minang, termasuk kaum ulama yang memegang teguh ajaran agama (wahabi). Terbukti Tuanku Imam Bonjol juga menggunakan keris,” tambahnya.

Sementara itu, lanjut Fadli Zon, keris merupakan kebudayaan material yang mewakili identitas Indonesia di tengah arus budaya dunia. Keris telah diakui oleh UNESCO pada 2005 sebagai salah satu karya agung warisan kemanusiaan milik dunia. Tak ada yang dapat menandingi keris sebagai benda budaya hasil karya manusia Indonesia.

“Keris adalah karya adiluhung bangsa Indonesia yang telah berlangsung turun-temurun sejak zaman kerajaan-kerajaan awal Nusantara. Sebagai benda budaya, keris memiliki nilai sejarah, seni, filsafat, simbol, dan religi,” terangnya.

Di Sumatera, keris adalah perlengkapan pakaian kebesaran Penghulu. Keris Sumatera biasanya dipakai di pinggang depan sebelah kiri dengan hulu menghadap ke luar. Dengan mata keris yang tajam di kedua sisi, seorang penghulu diharapkan berlaku adil dalam mengambil keputusan.

“Hulu keris yang menunduk berarti sang pemilik harus berhati-hati dalam berperilaku, rendah hati, dan cermat. Luk keris diartikan perlunya hidup bersiasat. Secara umum, keris melambangkan keselarasan dan keharmonisan,” katanya.

Keris Minangkabau merupakan jenis keris yang memiliki keunikan tersendiri.  Meskipun umumnya hampir sama dengan keris Sumatera lainnya, tapi keris Minang punya garap agak berbeda dengan keris Jawa. Perbedaan itu antara lain dari bentuk  (dhapur) serta detil dari sekar kacang dan greneng. Perbedaan lain tentunya busana,  perabot dan asesoris keris.

Rumah Budaya Fadli Zon dibangun pada tahun 2009, berhadap-hadapan dengan Rumah Puisi Taufiq Ismail yang beralamat di Jalan Raya Padangpanjang – Bukittinggi, Km. 6, Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Selama ini Rumah Budaya eksis menggelar kegiatan-kegiatan kebudayaan, mulai dari diskusi-diskusi kebudayaan, pameran lukisan, pementasan musik dan lain sebagainya.

Di dalam Rumah Budaya tersimpan sejumlah koleksi benda-benda kuno bernilai tinggi, khususnya yang terkait dengan benda kebudayaan Minangkabau tempo dulu. Di antara koleksi itu, adalah keris Luk Sembilan asal Pagaruyuang yang dibuat pada abad 18, seterika pakaian dari bara, songket lama, seribu koleksi buku bertema Minang, dan sejumlah lukisan kuno dan fosil kerbau berusia dua juta tahun.

Muhammad Subhan
Pengurus Rumah Puisi
Media Center Rumah Budaya

Gerindra: Kalau Mau Fair, Foke Harus Cuti Selama Kampanye

Gerindra: Kalau Mau Fair, Foke Harus Cuti Selama Kampanye

Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menyarankan calon gubernur DKI (incumbent) Fauzi Bowo atau Foke untuk mengajukan cuti selama kampanye, dalam pertarungan perebutan kursi DKI I.

Fadli menganggap, hal itu untuk menghindari dugaan yang tidak-tidak.

“Di belahan dunia manapun, semua calon incumbent mengajukan cuti bila kembali ikut dalam pencalonan. Jangan sampai kemudian, cuti tidak diajukan kemudian ada kampanye terselubung yang dilakukan,” kata Fadli Zon, Selasa (15/5/2012).

Selama kampanye, kata Fadli, bila incumbent (Fauzi Bowo), tidak mengajukan cuti akan banyak menimbulkan pertanyaan. Apakah, kegiatan yang dilakukan incumbent, bagian dari kampanye, atau sedang bertugas sebagai gubernur DKI.

“Dan harusnya, selama kampanye incumbent tak perlu memasang spanduk apapun. Dan jangan sampai, spanduk peringatan yang dibuat, memakai dana APBD,” Fadli menegaskan kembali.

Fadli kemudian meminta sikap tegas Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta terhadap calon incumbent Fauzi Bowo yang diperbolehkan beriklan di masa tenang kampanye.

Sementara pasangan calon lain, termasuk pasangan Jokowi-Ahok tidak diperbolehkan.

“Perlu ada aturan tegas kepada semua pasangan calon yang akan maju dalam Pemilukada DKI. Termasuk, kepada incumbent. Dan incumbent seharusnya mengajukan cuti selama kampanye. Jokowi saja cuti sebagai wali kota Solo,” tandasnya.

Lebih Dekat Dengan Fadli Zon, Berpihak pada Rakyat Kecil

Dikenal sebagai sosok eksekutif muda yang cinta tanah air. Salah satu kecintaannya, ditunjukkan dengan merelakan sebagian penghasilannya untuk membangun perpustakaan yang mengoleksi buku-buku tua dan benda-benda budaya bersejarah.

Di tengah kesibukannya, ia masih mendedikasikan waktu, pikiran dan tenaganya untuk kepentingan bangsa dan rakyat negeri ini. Beragam aktifitas dilakoninya, termasuk di jalur partai politik dan organisasi massa yang berpihak kepada rakyat kecil.

Sebagai aktifis politik, Fadli Zon (40), sudah tak asing lagi. Popularitas politisi muda ini sudah disandangnya sejak masa kuliah hingga kini. Bahkan jauh sebelum itu, sosok Fadli Zon remaja dikenal sebagai pelajar yang sarat prestasi. Sejak kecil, Fadli memang tak sekedar dikenal jenius dan suka membaca tapi juga terjun di berbagai organisasi dan dunia tulis menulis.

Panggung politik praktis pun dilakoninya sejak jaman kuliah, lewat parlemen jalanan. Kala itu, ia tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Bahasa, Universitas Indonesia ini kerap memimpin demonstrasi dalam isu-isu nasional maupun internasional. Selain terlibat dalam parlemen jalanan, Fadli yang pernah menjadi Sekjen dan Presiden Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS) (1993-1995) ini, menggeluti dunia jurnalistik –yang ditekuninya hingga sekarang.

Sikap kritisnya mengantarkan dia menjadi anggota MPR RI (1997-1999) dan aktif sebagai asisten Badan Pekerja Panitia Adhoc I yang membuat GBHN. Di tahun 1998, bersama para seniornya, seperti Yusril Ihza Mahendra, Hartono Mardjono, MS Kaban dan Farid Prawiranegara, mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB). Di partai ini, Fadli termasuk politisi termuda yang didapuk sebagai salah satu ketuanya. Namun, karena ada masalah internal yang bertentangan dengan hati nuraninya, ia pun hengkang dari partai itu pada tahun 2001.

Lepas dari aktifitas partai, tak membuat Fadli vakum dengan dunia politiknya. Sembari melanjutkan studi di The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris dalam bidang studi pembangunan. Di kampus ini ia ikut beberapa organisasi seperti Association for the Study of Ethnicity and Nationalism (ASEN) dan menjadi aktivis di LSE Stop the War Coalition (2002-2003) yang menentang invasi Amerika Serikat ke Irak.

Sekembalinya dari London, Fadli terjun ke dunia profesional di sejumlah perusahaan multinasional. Diantaranya, ia pernah menjadi Direktur Umum PT Golden Spike Energy Indonesia Ltd (2002-2005), sebuah perusahaan minyak dan gas swasta. Hingga kini ia masih bekerja pada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Tidar Kerinci Agung, dan PT Padi Nusantara yang bergerak di bidang pertanian.

Perhatian dan kedekatannya dengan kaum petani mengantarkan dirinya aktif di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai Ketua Hubungan Luar Negeri dan Organisasi Internasional (2004-2009). Pada kepengurursan HKTI periode 2010-2015, dibawah kepemimpinan Prabowo Subianto, kali ini ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal. Selain itu, beragam aktifitas yang berkaitan dengan pertanian hingga budaya dilakoninya. Semisal menjadi Anggota Dewan Gula sejak 2005 lalu, Dewan Redaksi Majalah Tani Merdeka dan Dewan Redaksi Majalah Horison, majalah sastra dan budaya.

Rupanya, meski sejak 2001 aktifitas kepartaian ditinggalkannya tak lantas membuatnya berhenti melibatkan diri dalam dunia politik. Ditengah kesibukannya sebagai pelaku usaha dan aktifis politik, jiwa nasionalismenya terpanggil, kala melihat kondisi dan keadaan panggung politik serta pemerintahan yang carut marut. Lahirlah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) –yang menjadi kendaran politik bagi mereka yang memiliki keberpihakan kepada rakyat kecil. Politisi sekaligus akademisi yang tengah menyelesaikan program doktoralnya di kampus almamater ini, dipercaya menjabat Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra.

Lantas, seperti apakah keterlibatan Fadli Zon, kolektor koin kuno ini di Gerindra? Prtengahan April lalu, kepada Hayat Fakhrurrozi dari GARUDA, ia memaparkan keterlibatannya seputar didirikannya partai berlambang kepala burung garuda ini. Berikut petikan wawancaranya:

Sebagai profesional sekaligus politisi seperti apa keseharian Anda?

Saat ini selain sibuk di dunia usaha, saya juga tengah mengambil S3 di Universitas Indonesia (UI). Selain itu saya juga mengajar, di beberapa mata kuliah bidang sejarah. Disamping itu, saya juga aktif di HKTI dan menjadi redaktur di beberapa majalah serta mengurusi perpustakaan pribadi ini yang menampung 50 ribu buku tua, keris, koin, badik, tombak, piringan hitam dan fosil. Sementara di partai, saya menjabat sebagai Wakil Ketua Umum bidang politik dan keamanan. Jadi hari-hari saya cukup sibuk, hari ini urusan petani, besok urasan kantor, besoknya lagi soal budaya, seni dan yang lainnya. Nah kalau politik sih setiap hari.

Bisa ceritakan kapan Anda mulai aktif di dunia politik?

Berangkat dari dunia aktifis jaman mahasiswa dulu. Meski masih tingkat satu, saya sudah beberapa kali memimpin demonstrasi. Selain terlibat dalam parlemen jalanan, saya juga aktif di Indonesian Student Association for International Studies (ISAFIS). Setelah lulus tahun 1997, saya diangkat menjadi anggota MPR RI 1997-1999 dan terlibat dalam Badan Pekerja Adhoc I yang menyusun GBHN. Di sinilah saya sering bertemu dan berkomunikasi dengan Mba Tutut, Ginanjar, termasuk SBY.

Setahun kemudian, saya mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) bersama Yusril, Farid Prawiranegara, MS Kaban dan Hartono Mardjono. Tapi karena ada kasus internal saya keluar. Karena memang, saya berangkat dari idealisme, masalah korupsi di partai itu yang membuat saya keluar dan melanjutkan studi ke London.

Lantas aktifitas politik Anda berhenti?

Meski tak berpartai, saya tetap terlibat dalam masalah-masalah aktual dunia politik.

Bisa diceritakan seperti apa itu?

Sepulangnya dari studi dari London, saya aktif di lembaga studi, saya membantu Pak Prabowo di tahun 2004 dalam konvensi Partai Golkar. Kemudian pada tahun 2007 sewaktu ada kasus Pak Hasyim yang dituduh mencuri arca, padahal waktu itu memang niatnya pak Hasyim untuk menyelematkan benda bersejarah milik bangsa. Yang jelas di Indonesia ini untuk berbuat baik selalu saja disalahkan.

Akhirnya waktu itu saya ngomong pada Pak Hasyim untuk mendirikan partai. Karena partai itu alat perjuangan yang efektif di Indonesia. Waktu itu, Pak Prabowo tak sependapat, karena memang masih menjadi dewan penasehat Golkar. Nah, seiring berjalannya waktu, pada saat ada event Sea Games di Thailand diadakan pertemuan bersama para tokoh di Thailand untuk membicarakan rencana pendirian partai ini.

Apa arti partai politik bagi Anda?

Sekali lagi, partai politik itu alat perjuangan yang efektif di Indonesia. Tapi sayangnya banyak partai politik yang dimanfaatkan oleh aparatur partai untuk kepentingan pribadi.

Lalu bagaimana dengan Partai Gerindra?

Partai Gerindra hadir untuk mengoreksi terhadap keadaan itu. Kita melihat keadaan negeri kita. Kok negara Indonesia yang kaya ini rakyatnya miskin. Saya kira ini karena ada kesalahan pada kepemimpinan dan haluan.

Memang ada masalah apa soal kepemimpinan dan haluan negara kita?

Masalah kepemimpinan nasional, kita lihat tidak memiliki pemimpin yang kuat lagi. Untuk itu kita perlu sosok pemimpin yang kuat untuk mengembalikan Indonesia seperti dulu. Kalau pemimpin pusat lemah maka pemimpin di bawah juga lemah. Jika pusat kuat, bawahan pun akan kuat. Masalah kedua yaitu masalah haluan yang menyangkut arah tujuan untuk mensejahterakan, memakmurkan rakyat, bukan untuk demokrasi. Selama ini haluannya masih hanya untuk demokrasi. Padahal demokrasi hanyalah salah satu cara. Kadang berhasil, kadang tidak. Tujuan kita memakmurkan rakyat supaya menikmati kemerdekaan.

Lalu seperti apa mestinya kepemimpinan yang dibutuhkan Indonesia?

Indonesia perlu strong leadership (pemimpin yang kuat), tentunya kolektif dan tidak feodal. Ciri kepemimpinan yang kuat itu adalah mempunyai integritas, hidupnya, cita-citanya menyatu dengan kepentingan Indonesia. Memiliki visi yang jauh ke depan. Selain itu memikirkan generasi mendatang. Selain itu harus jujur dan mempunyai keberpihakan ke rakyat kecil. Orang boleh kuat punya visi, tapi kalau hanya berpihak ke yang kuat buat apa? Rakyat kecil seperti nelayan, petani, pedagang kaki lima akhirnya makin tersisih. Padahal selama ini mereka sudah termarginalkan.

Siapakah sosok pemimpin seperti itu?

Sosok pemimpin seperti itu, antara lain ada pada diri Pak Prabowo. Beliau punya intergritas, sangat merah putih dan berpihak kepada rakyat kecil. Untuk itu sebagai partai Gerindra harus bekerja keras untuk mewujudkan itu. Peluang ini terbuka, karena Pak Prabowo adalah termasuk tokoh yang sangat populer dan diharapkan rakyat.

Lalu apa yang dilakukan Gerindra?

Sekarang ini di usianya 3 tahun, Gerindra tentu belum seperti partai lain yang sudah mapan. Jadi Gerindra harus ekstra bekerja keras seperti konsolidasi internal menyangkut penguatan DPD, DPC, PAC hingga ke ranting. Dengan adanya penguatan organisasi kita harapkan konsolidasi partai semakin kuat. Disamping itu membangun jaringan dan komunikasi dengan segala elemen masyarakat. Inilah yang dilakukan saat ini, apalagi kita juga tengah menjalani verifikasi.

Menjelang 2014, peluang Prabowo dan Gerindra seperti apa?

Berdasar survey yang dilakukan beberapa lembaga survei, Pak Prabowo masih populer. Namun itukan masih sangat sementara dan bergantung pada tahun-tahun mendatang. Sementara untuk partai, cukup tidak cukup waktu yang ada harus cukup. Di 2014 mendatang Gerindra bisa meraih suara besar, karena pelung itu terbuka. Namun tentunya itu tantangan bagi kami di kalangan internal sendiri. Karena kader-kader kita di DPR pusat dan DPRD sebagai ujung tombak partai jika mereka loyal dengan visi misi gerindra, dan manivesto partai, saya yakin rakyat akan berpihak. Tapi kalau aparatur partai dan DPR-DPRD hanya memikirkan diri sendiri, tanpa memikirkan rakyat, kita akan kesulitan untuk meraih simpati rakyat.

Lantas bagaimana kondisi kader yang ada di DPR dan DPRD saat ini?

Saya kira, saat ini sebagian besar anggota DPR dan DPRD kita masih mempunyai kesetiaan pada manivesto, perjuangan partai, karena kalau tidak kita jaga bisa saja terjadi penyelewengan bahkan penghiatan pada perjuangan partai.

Catatan: Artikel ini ditulis dan dimuat untuk majalah GARUDA, Edisi Mei 2011

Fadli Zon: Marzuki Gegabah, Tak Perlu Pintar untuk Korupsi

Fadli Zon: Marzuki Gegabah, Tak Perlu Pintar untuk Korupsi

Jakarta Ketua DPR Marzuki Alie mengatakan korupsi saat ini dilakukan oleh orang-orang pintar lulusan perguruan tinggi, tak terkecuali UI, UGM dan ITB. Fadli Zon, sebagai Ketua Ikatan Alumni UI (Iluni) Fakultas Ilmu Budaya (FIB) menilai pernyataan Marzuki gegabah. Menurut dia, tak perlu pintar untuk melakukan korupsi.

“Pernyataan sangat ngawur, tidak ada hubungannya. Kalau kita lihat, bukan masalah pendidikan, dalam pendidikan ada proses perbaikan. Sistem politik yang mengarahkan itu untuk korupsi,” jelas Ketua Iluni FIB yang juga Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon, saat dihubungi detikcom, Senin (7/5/2012).

Fadli menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) dan Master of Science (MSc) Development Studies dari The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris. Kini sedang menempuh S3 di Program Studi Sejarah FIB UI, juga menjadi pengajar di FIB UI.

Fadli mencontohkan sistem politik itu seperti dalam penyusunan anggaran. Bila tidak mau koruptif dalam anggaran, seharusnya ruang untuk permainan, jual-beli, atau yang lazim disebut mafia anggaran, tidak boleh ada.

“Kuasa Pengguna Anggaran bisa diperjual-belikan dengan persentase 5 persen, 6 persen di DPR harusnya dihentikan. Mafia anggaran yang menggerogoti tidak melihat latar belakang agamanya apa, idelologinya apa,” jelas dia.

Sistem politik itu juga menyangkut penegakan hukum yang tebang pilih. Di mana, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan tidak diusut, namun sebaliknya, yang tidak dekat dengan kekuasaan yang diusut.

“Di dalam pengelolaan anggaran tidak perlu orang dari mana asalnya, tidak perlu pintar untuk korupsi. Gegabah itu, pernyataan gegabah, hanya menimbulkan polemik yang nantinya tidak bermutu,” tegas Fadli.

Pernyataan Marzuki itu, imbuhnya, mengesankan semakin pintar sekolahnya, semakin tinggi tingkat korupsinya. Dia mengimbau agar Marzuki sebagai Ketua DPR berhati-hati mengeluarkan pernyataan.

“Saya kira ketua DPR hati-hati di dalam membuat pernyataan. Jangan sampai dia dikenal sebagai ketua DPR yang paling sering membuat blunder. Banyak sekali membuat blunder,” tandas Fadli.

Pemilihan Rektor UI Bermuatan Politis Jelang 2014?

Pemilihan Rektor UI Bermuatan Politis Jelang 2014?

DEPOK – Universitas Indonesia (UI) berkomitmen untuk mencegah muatan politis menjelang pemilihan rektor pada Juli mendatang. Namun, sejumlah nama politikus muncul, salah satunya nama Jusuf Kalla serta Ketua Iluni Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya (FIB) UI Fadli Zon yang juga Wakil Ketua Partai Gerindra.

Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Djoko Santoso, partai politik masuk dalam jajaran struktural akademik Universitas Indonesia (UI) bukan sebuah masalah. Sebab, lanjutnya, para akademisi UI sudah dewasa.

“Tidak masalah partai politik masuk dalam struktural UI karena UI sudah dewasa. Masalah UI mau dibawa ke mana, itu UI yang menentukan,” kata Djoko usai Sarasehan Pendidikan Untuk Mengkritisi Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) di Perpustakaan Terapung UI, Senin (7/5/2012).

Meski begitu, lanjut Djoko, pihaknya tidak mengetahui adanya unsur politis dalam pemilihan Rektor UI maupun pemilihan presiden di 2014. Djoko menambahkan, pihaknya hanya mengetahui, anggota Majelis Wali Amanat (MWA) UI dari unsur masyarakat telah mendapatkan SK dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pada pekan lalu.

Para anggota MWA itu adalah Muhammad Jusuf Kalla (mantan Wakil Presiden RI), Said Agil Siradj (Ketua PBNU), Alwi Abdurrahman Shihab (dari PKNU dan mantan Menteri Luar Negeri), Anugrah Pekerti (akademisi pendiri Lembaga Pendidikan Manajemen Indonesia), Bagir Manan (Ketua Dewan Pers), dan Endriartono Sutarto (mantan Panglima TNI).

“Saya hanya mengurusi masalah akademisi. Jadi kalaupun ada unsur politis saya tetap mengurusi UI. Selama ini UI tidak ada masalah,” paparnya.(mrg)(rhs)