Tragedi Mei 1998 Masih Rapat Terkunci, Hati-hati Pembelokan Sejarah

Tragedi Mei 1998 Masih Rapat Terkunci, Hati-hati Pembelokan Sejarah

Tragedi Mei 1998

Diskursus huru-hara Mei 1998 sering dipolitisir dan digembar-gemborkan menjelang pemilu atau kontestasi politik. Tak jarang, tragedi ini menjadi komoditas politik. Bahkan, fakta-fakta yang berkembang tak selalu didasarkan pada kejadian yang sesungguhnya. Pada arti tertentu ada upaya menjadikan tragedi ini sebagai kerusuhan rasial.

“Ini tentu membelokkan sejarah. Tujuan peluncuran dan diskusi buku ini adalah agar masyarakat tidak melupakan sejarah dan bisa menghindari distorsi,” tegas Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon dalam acara bedah buku karyanya yang berjudul ‘The Politics of The May 1998 Riots’, yang juga ditulis dalam teks bahasa Indonesia, ‘Politik Huru Hara Mei 1998’, di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (21/5).

Fadli Zon sebagai salah satu saksi sejarah Tragedi Mei ini tak ingin peristiwa bersejarah ini dijadikan propaganda yang keliru. Ia menegaskan, generasi penerus bangsa tidak boleh membaca sejarah yang salah atau sejarah yang dibuat oleh jenderal yang menang.

“Meski ada pepatah ‘History is always written by the winning generals’, kekuatan kebenaran akan muncul jika kita berani menyatakannya,” tegas Fadli.

Fadli menegaskan, Tragedi Mei 1998 yang diikuti mundurnya Soeharto, tak dapat dipisahkan dari rangkaian krisis moneter sejak Juli 1997 yang dimulai di Thailand dan menyebar ke beberapa negara lain di Asia termasuk Indonesia. Atas bantuan IMF, krisis moneter Indonesia berkembang menjadi krisis ekonomi dan melahirkan krisis politik.

Hadir pada diskusi Tragedi Mei 1998 ini Guru Besar/Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie dan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia Prof Salim Said.