Saya Kecewa Terhadap Partai Berbasis Agama

Sebelum menjadi politisi sosoknya dikenal sebagai aktivis yang vokal. Hanya dalam satu tahun Fadli Zon berhasil mendirikan Partai Gerindra dan mengantarkan partai tersebut menjadi partai besar yang dipertimbangkan para politisi.

Meski lahir di Jakarta, pria berdarah Minang ini dibesarkan di desa Cisarua, Bogor. Putra pertama dari tiga bersaudara ini menyelesaikan Sekolah Dasar di Cibeureum, Cisarua, Bogor. Setelah itu pria berkulit putih itu melanjutkan SMP di Gadog, Bogor, dan SMA selama dua tahun di SMA Negeri 31, Jakarta Timur.

Ia juga pernah mendapatkan beasiswa dari AFS (American Field Service) ke San Antonio, Texas, Amerika Serikat dan dengan predikat summa cum laude. Dan menyelesaikan pendidikan sarjana program studi Rusia, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia serta Master of Science Development Studies dari The London School of Economics and Political Science, London, Inggris.

Sebelum menjadi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) ini sempat menjadi Direktur Pengembangan Usaha PT Tidar Kerinci Agung yang bergerak bidang kelapa sawit dan Direktur PT Padi Nusantara. Mantan aktivis ini juga pernah menjadi Direktur Umum Golden Spike Energy Indonesia Ltd, sebuah perusahaan minyak dan gas swasta, dan sebelumnya Nusantara Energy Ltd.

Selain dunia politik, pergerakan dan usaha, Fadli Zon ternyata punya segudang pengalaman di bidang jurnalistik. Ia pernah menulis di majalah remaja seperti Nona dan Hai, kemudian menjadi wartawan di Majalah Suara Hidayatullah dan Harian Terbit. Semasa kuliah mengasuh Majalah Gema, redaktur Horison, dan redaktur Majalah Tajuk. Ingin sosok Fadli Zon lebih dalam, berikut petikan wawancaranya dengan Kontributor Majalah Popular Faisal Chaniago dan Fotografer Arixc Ardana:

Anda hobi baca buku ya hingga memiliki perpustakaan sendiri?
Benar. Saya termasuk orang yang suka membaca dan menulis. Saya suka mengoleksi berbagai macam buku, termasuk buku kuno, langka dan antik. Sampai-sampai saya punya buku Herman Willem Daendels, Gubernur Jendral Hindia-Belanda ke 36. Saya juga senang mengoleksi koran kuno diantaranya Koran Sinpo, Koran Berjuang, Koran Patriot dan masih banyak lagi. Koran tua yang saya miliki terbitan tahun 1879.

Selain di sini (Fadili Zon Library, Jalan Danau Limboto, Jakarta – Red) di rumah, saya juga menyimpan banyak buku. Namun sayang, rumah tersebut terbakar. Semua buku, catatan harian, piagam, ijazah, dan dokumen semuanya habis terbakar.

Di mana buku dan koran tersebut Anda dapatkan?
Hunting dari kolektor, teman dan pedagang buku kuno. Setiap jalan ke daerah saya sering menyempat diri memburu buku kuno.

Bukan hanya buku, kelihatannya Anda juga suka mengoleksi lukisan?
Saya mengoleksi lukisan-lukisan pelukis terkenal. Saya punya lukisan Afandi, Basuki Abdulah, Soedarso, Rustamadji, Trubus Sudarsono, Dulah, Hendra Gunawan dan pelukis terkenal lainnya. Selain itu, saya juga suka mengoleksi keris, saya punya sekitar 300 keris. Bahkan saya punya keris zaman Majapahit dan Sriwijaya. Saya juga menyimpan tombak kuno, uang kuno dan patung.

Dulu sosok Anda lebih dikenal sebagai aktivis, sekarang sebagai politisi. Kenapa tertarik pada dunia politik?
Saya termasuk orang yang meminati banyak bidang. Waktu mahasiswa – selain aktif dipergerakan, Senat Fakultas Sastra dan Senat Universitas, saya juga aktif di teater. Saya juga sempat menjadi kolomnis dan wartawan. Di eksktrakurikuler kampus, saya aktif di kelompok-kelompok studi. Menjadi Presiden ISAFIS (Indonesia Student Association for International Studies). Di era yang sama, saya tergabung dengan CPDS (Center for Policy and Development Studies), wadah ini merupakan tempat pertemuan tokoh militer dan sipil. Di sana saya banyak bertemu dengan tokoh militer dan sipil. Setelah itu, CPDS berubah menjadi IPS (Institute for Policy Studies). Tahun 1997 saya menjadi anggota MPR RI, sebagai asisten Badan Pekerja Panitia Adhoc I yang membuat GBHN. Hampir setiap hari saya bertemu dengan politisi.

Di masa reformasi. Karena mempunyai kesempatan membuat partai. Bersama teman-teman saya mendirikan Partai Bulan Bintang. Saya menjadi salah satu ketua termuda, usia kala itu masih 27 tahun. Tahun 2001, karena berbeda pendapat dengan Yusril Izha Mahendra, saya dan beberapa teman mengundurkan diri.

Setelah itu saya memutuskan menjadi pekerja profesional dan pelaku bisnis serta melanjutkan sekolah ke Inggris. Saya mengambil Master of Science, Development Studies di The London School of Economics and Political Science, London, Inggris. Untuk S1 saya mengambil program studi Rusia, di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Saat menjadi mahasiswa saya sempat terpilih menjadi Mahasiswa Berprestasi I Universitas Indonesia, dan Mahasiswa Berprestasi III tingkat Nasional sehingga mendapat kesempatan untuk memimpin delegasi pemuda dan mahasiswa ke luar negeri seperti ke Malaysia, Taiwan, dan Amerika Serikat. Meskin pun aktif di organisasi tapi studi akademi saya cukup baik.

Dari partai berideologi Islam dan pindah ke partai berideologi nasionalis. Kok bisa?
Walau berlatar belakang Masyumi tapi saya kecewa terhadap partai-partai berbasis agama. Kalau membawa partai agama, saat melakukan kesalahan, kita mendapat dua dosa politik. Pertama dosa pada Tuhan, kedua dosa pada masyarakat.

Ternyata tidak menjamin bahwa politisi yang berasal dari partai agama akan bersih. Lihat saja, banyak orang yang berasal dari partai berbasis agama terlibat korupsi. Makanya saya membuat partai berhaluan nasionalis, kerakyatan, dan nasionalis religius berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Setelah keluar dari Partai Bulan Bintang Anda sempat ke mana?
Kurang lebih 5 tahun sekitar tahun 2000-2005 saya masuk ke dunia profesional, menjadi direktur di perusahaan minyak dan gas. Tahun 2005 saya bergabung dengan kelompok Bapak Prabowo.

Semenjak kapan Anda kenal dengan Prabowo Subianto?
Semenjak tahun 1994, sejak mahasiswa sekitar tingkat tiga. Saat itu saya banyak berhubungan dengan aktivis di se-Jawa. Di Universitas Gadjah Mada saya kenal Anis Baswedan. Saya juga sering demonstrasi bersama Indra Piliang.

Bisa ceritakan proses Anda membentuk Partai Gerindra?
Saat itu, partai yang mau kita buat belum punya nama. Sempat ada ide pakai nama Partai Indonesia Raya, namun nama tersebut sudah ada yang pakai. Oleh Bapak Hasyim Djojohadikusumo ditengahnya ditambah dengan gerakan maka jadilah nama Partai Gerakan Indonesia Raya. Sementara lambang partai yaitu burung garuda adalah gagasan Bapak Prabowo.

Kita mendirikan partai dalam waktu sangat singkat, hanya satu tahun. Gagasannya adalah mengembalikan cita-cita proklamasi dan pendiri bangsa – cita-cita itu adalah nasionalisme. Kita menginginkan segala sesuatunya kembali pada kepentingan nasional dan rakyat. Saat masyarakat lemah kita punya kewajiban melindungi mereka. Misalnya sektor pertanian, kita harus melindungannya dengan cara memberi subsidi. Tidak memperbolehkan produk-produk asing masuk dalam negeri sebab yang bisa menghancurkan harga di tingkat petani.

Siapa yang bisa melawan pengusaha-pengusaha negara besar. Misalnya supermarket yang katanya menghancurkan pasar tradisional, siapa yang bisa mengaturnya?
Itu karena pemerintah tidak berpihak. Bukan berarti saya anti super market. Saya setuju namun harus diletakkan pada yang tepat. Di negeri asalnya supermarket hanya ada di pinggir kota, tidak di tengah kota dan dekat pasar tradisonal.

Apa yang menyebabkan Partai Gerindra menjadi partai besar hanya dalam satu tahun?
Platform yang berpihak pada rakyat kecil serta didukung sosok pemimpin yang kuat yang berpihak pada rakyat. Untuk mengsosialisasikan diri, kami mengemas kampanye secara modern melalui iklan-iklan di televisi. Bila dikerjakan secara konvesional mungkin agak sulit. Sehingga kita bisa mendapatkan suara 4,6%. Seharus Gerindra mendapat suara lebih dari itu. Anggota Gerindra saja lebih dari 10 juta. Makanya kita melakukan kritikan terdapat DPT. Sebab banyak anggota Gerindra tidak terdaftar dalam DPT.

Apa cukup dalam satu tahun mempersiapkan kader menjadi anggota legislatif yang baik?
Sampai sekarang kita masih terus melakukan pengkaderan. Setiap caleg Gerindra harus menandatangani fakta integritas, dalamnya tercatum, kalau sudah keluar dari garis partai dan cita-cita nasional harus siap diganti. Itu sudah menjadi otoritas partai.

Dulu sempat ada kekhawatiran di kalangan pengusaha. Jika Partai Gerindra menang mereka dikesampingkan?
Kekuatiran itu sama sekali tidak benar. Partai Gerindra sangat mendukung dunia usaha yang sehat. Kita menginginkan banyak investasi. Bukan hanya asing tapi juga dalam negeri. Itu sangat dibutuhkan dalam pembangunan. Pilar ekonomi kerakyatan ada tiga, pertama koperasi, kedua BUMN, ketiga sektor swasta.

Sektor swasta harus kuat sebab mereka adalah pionir. Tapi tidak boleh dikuasi segelintir orang. Bila hanya dikuasi segelintir orang, bumi, air dan kekayaan alam ini akan dikuasi perusahaan asing. Saya bukan anti asing, kita harus menempatkan asing tidak dominan. Dan itu hal yang wajar, Amerika saja menerapkan cara seperti itu. Makanya ada renegoisasi bila ada kontrak yang tidak menguntungkan negara dan rakyat. Cara pikir seperti ini adalah cara yang masuk akal, bukan anarki. Masak rakyat Indonesia tidak mendapatkan keuntungan.

Ide seperti itu sudah lama, tapi buktinya sulit dijalankan?
Pasalnya rezim yang memerintah dikuasai para ekonom neoliberal. Pemerintah memang berganti tapi otoritas tetap dipegang madzab ekonomi neoliberal. Kita ingin menempatkan para ekonom yang visinya berpihak pada kepentingan rakyat dan negara. Bahkan sekarang Amerika menjadi salah negara yang paling sosialis – membeli semua perusahaan yang jatuh. Dalam rezim kapitalisme cara seperti itu tidak boleh.

Apa yang menyebabkan pasangan Mega Prabowo kalah dalam Pilpres?
Waktu yang terbatas dalam mengusung visi misi. Kedua pembiayaan, dalam pembiayan Partai Gerindra paling sedikit. Kita juga punya kendala dengan DPT dan netralitas KPU. Dalam kompetisi Partai Gerindra siap kalah dan menang.