Sarasehan Budaya dan Peluncuran Buku Puisi “Ada Genderuwo di Istana” karya Fadli Zon

Sarasehan Budaya dan Peluncuran Buku Puisi “Ada Genderuwo di Istana” karya Fadli Zon

fadli-puisi

Fadli Zon Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra yang juga anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno meluncurkan antologi puisi bertajuk ‘Ada Genderuwo di Istana’. Acara peluncuran buku digelar di Aljazeerah Polonia, Jakarta Timur.

“Ada 25 puisi yang dihimpun bertema puisi-puisi politik khususnya puisi dengan nada kritis terhadap pemerintah. Antologi puisi yang diluncurkan diambil dari salah satu judul puisi ‘Ada Genderuwo di Istana’, karena kebetulan kita ingin mengusir ‘genderuwo’ di Istana,” ungkap Fadli Zon melalui siaran tertulis yang diterima, Rabu (10/4).

“Puisi-puisi dalam ‘Ada Genderuwo di Istana’ disajikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris setebal 84 halaman. Dalam buku tersebut, dilampirkan pula kliping judul-judul berita yang menampilkan pemberitaan puisinya. Buku ini juga dilengkapi prolog yang ditulis oleh Rocky Gerung serta epilog yang ditulis oleh Ridwan Saidi,” sambung Fadli.

Lebih lanjut dirinya mengatakan, menulis puisi lantaran sisi kebudayaan jarang disinggung. “Kita tahu, tak ada peradaban tanpa ada budaya. Saya berharap budaya makin maju dan menjadi aset nasional. Puisi harus menjadi salah satu budaya yang dijaga sebagai aset nasional,” ucap Fadli Zon.

“Sering kali kita tidak melihat budaya dan kebudayaan itu sebagai satu kekayaan nasional. Padahal justru sebenarnya budaya itu adalah aset atau kekayaan nasional yang sangat berharga. Karena di situ kita bisa membentuk identitas, jati diri, keberagaman, dan kebinekaan yang inheren dengan perjalanan sejarah bangsa,” jelasnya

Peluncuran buku puisi “Ada Genderuwo di Istana” dimeriahkan oleh pembacaan puisi dari para tokoh, akademisi, seniman dan budayawan. Fahri Hamzah membacakan puisi berjudul “Arah Baru”, Ridwan Saidi membacakan puisi “Ada Genderuwo di Istana” dan puisi yang ia tulis sendiri berjudul “Rantai Sepeda Putus”. Sarasehan juga menghadirkan  pembaca puisi Neno Warisman, Dipo Alang, Tio Pakusadewo, Sang Alang, Derry Sulaeman, Dahnil Anzar Simanjuntak, hingga penyair senior Jose Rizal Manua.

Turut membaca puisi para penyanyi Camelia Malik, Evi Tamala, dan Fitria Evi Sukaesih. Acara juga diramaikan dengan penampilan dari komedian Komeng, Lieus Sungkharisma: Fauzi Baadila, Mustofa Nahra, Abrory A Djabar, Linda Djalil, Nissa Rengganis, Peri Sandi dan Bode Riswandi.

Dalam orasinya, Ridwan Saidi menyinggung kalau puisi menjadi wadah efektif untuk ekspresi kritik terhadap pemerintah. Menurutnya, puisi-puisi Fadli Zon memuat pesan-pesan yang tegas dan aktual. “Puisi Fadli: Ngeri” tulis Ridwan Saidi dalam epilognya. Sementara, Rocky Gerung menulis prolognya, puisi-puisi fadli adalah cara interupsi yang cerdas.

“Tak harus estetik kriteria utama sebuah puisi. Yang utama adalah ia otentik. Artinya,

ia harus tumbuh dari radikalitas rohani.   Yaitu ekspresi jujur dari batin yang terganggu. Terganggu oleh ketakjujuran,  terganggu oleh kemunafikan, terganggu oleh ketidakadilan. Watak puisi adalah memang subversi: terhadap kemapanan, terhadap kepongahan, bahkan terhadap  kepastian. Karena itu, yang terucap   dalam sebait puisi adalah ggumpalan kehendak yang menginginkan yang baru. Puisi adalah interupsi terhadap arogansi. Dan dengan itu ia menemukan jalan baru” tulis Rocky dalam prolognya.

Sumber