Revisi Undang-Undang KPK Agar Pimpinan Tak ‘Abuse of Power’

Revisi Undang-Undang KPK Agar Pimpinan Tak ‘Abuse of Power’

Revisi Undang-Undang KPK Agar Pimpinan Tak 'Abuse of Power'

Revisi Undang-Undang KPK masuk Program Legislasi Nasional 2015. Wakil Ketua DPR Fadli Zon membantah revisi tersebut untuk memperlemah KPK.

“Revisi itu, kita mengembalikan kepada fungsi agar tak terjadi institutional problem. Nah, sekarang ada masalah institusi dengan KPK. Mungkin dulu, undang-undangnya dibuat dalam euforia demokrasi dan semangat,” kata Fadli di DPR, Jakarta, Rabu (17/6/2015).

Ia mengatakan KPK merupakan lembaga ad hock saat polisi dan kejaksaan belum berfungsi baik. Oleh karenanya masih banyak permasalahan terkait KPK. Ia mencontohkan penyadapan yang melanggar prosedur.

“Saya menilai sudah saatnya revisi dalam undang-undang ini. Terbukti kan, dalam banyak hal, KPK terbukti melakukan tindakan yang berbenturan dengan institusi lain. Bisa juga dinilai melanggar HAM. Misalnya bisa menyadap orang seenaknya tanpa melalui protap dan prosedur, ini harus dibenahi,” jelasnya.

Ia mengingatkan, dalam melaksanakan tugasnya, pimpinan KPK tidak menyalahgunakan kekuasaan atau abuse of power. Dua Ketua KPK sebelumnya, kata Fadli, terkena masalah hukum.

“Karena memang lembaga ini terlalu powerfull. Sementara tak ada kontrol. Mereka bisa bersikap seenaknya. Maka sebenarnya, pimpinan KPK itu harus orang yang sudah selesai lah dengan dirinya, tak lagi tergoda dengan tahta, harta, wanita,” katanya.

Revisi ini termasuk menyoal Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Politikus Gerindra itu mengatakan kalah tiga kali di praperadilan harus jadi koreksi bagi KPK. Termasuk soal penyidik independen. Menurut dia, KPK tak dapat mengangkat penyidik independen.

“Tak ada itu istilah penyidik independen. Penyidik itu ya dari kepolisian dan kejaksaan sesuai UU. Jadi tak bisa, seperti apa itu penyidik independen? Enggak ada aturannya,” ujarnya.

 

Sumber