Replika Kapal dari 800 Batang Bambu

Replika Kapal dari 800 Batang Bambu

PERTAMA, terbesar dan terhebat, Institut Seni Indone­sia (ISI) Padangpanjang dipercaya jadi pelaksana Southeast Asia Malay Art Festival (Sea MAF) 2012 yang membuka pin­tu re­fe­rensi bagi masyarakat.

Cerahnya cuaca di Kota Serambi Mekkah seakan men­dukung perhelatan besar untuk membentuk paradigma baru dalam peradaban Melayu. Wajah Kampus ISI Padang­pan­jang sebagai tuan rumah Sea MAF, tampak meriah de­ngan ane­ka spanduk, baliho, karangan bunga dan berbagai atribut ter­kait pagelaran seni terbesar pertama di Indonesia itu.

Di antara kemeriahan atribut dan pengunjung di kampus seni itu, sebuah relif kapal berdiri kokoh di tengah lapangan bola kampus.

Tak ayal, kreativitas ini me­nyita perhatian pengunjung. Re­plika kapal ini terbuat dari bam­bu tanpa polesan cat dan ak­seso­ris. Relif itu tersem­purna­kan de­ngan kontur bambu bagian pu­cuk yang membentuk anju­ngan kapal secara alami. Replika ka­pal ini mengandung beberapa fi­losofi ketika berbicara tentang Me­layu.

Konseptor relif kapal ber­uku­ran 22×4 meter itu, Am­zah me­ngatakan, replika kapal ini me­nyimbolkan perjalanan dan per­kembangan budaya Melayu di seantero nusantara dalam menyebarkan kebudayaan de­ngan cara berdagang.

Secara geografis, rumpun Me­la­yu yang terdiri dari berba­gai kerajaan, merupakan wil­a­yah ma­ritim. Sehingga un­tuk me­la­kukan perjalanan dari sua­tu tem­pat ke tempat lainnya me­la­­ku­kan perdagangan, men­ggu­na­kan kapal sebagai alat trans­por­tasi.

”Melayu itu dulunya adalah men­cakup kesultanan-kesul­ta­nan di wilayah nusantara. Ma­kanya, saya berpandangan bah­wa perkembangan pera­daban Me­layu tidak terlepas dari pe­man­faatan kapal sebagai alat men­capai suatu tujuan,” tutur Am­zah yang juga dosen seni ru­pa ISI Padangpanjang itu.

Sedangkan 800 batang bam­­bu sebagai material, kata Am­zah, menggambarkan suatu ke­satuan yang kokoh dan elastis. Bam­bu adalah tumbuhan be­rupa rumpunan yang tahan ko­koh terhadap terpaan angin. “Fi­lo­sofi bambu ini, meng­gam­bar­kan bahwa rumpun Melayu ti­dak semestinya hidup terpisah. Se­­baliknya tumbuh besar dalam sa­tu rangkuman, meski dibe­da­kan besar dan kecil seperti ke­ne­garaan. Kekokohan batang bam­­bu, menggambarkan se­buah harapan kebersamaan yang tidak bisa dirusak oleh apa pun,” ungkapnya.

Demikian juga bambu tanpa di­cat, pesannya bahwa keb­u­da­yaan Melayu tidak semes­tinya hi­lang atau memu­dar. “Dium­pa­m­akan dengan cat, dipastikan m­e­ngalami perubahan dalam jangka waktu tertentu,” jelasnya.

Sederhana tapi tidak mudah. Meski relif kapal yang berukuran tidak besar mengunakan batang bambu tidak dicat dan dibentuk, namun memakan waktu hingga lima bulan sampai selesai.

”Terkesan memang mudah da­lam pembuatannya. Tapi u­n­tuk sampai pada sebuah per­wujudan kapal seperti ini, tidak se­merta-merta langsung jadi. Peng­kajian hingga layak dija­dikan simbol peradaban Melayu, mem­butuh­kan waktu hingga em­pat bulan lamanya,” pungkas Am­zah.

Pamerkan Ratusan Artefak

Rangkaian Southeast Asia Ma­lay Festival (Sea MAF) juga diisi dengan pameran artefak dan regalia Kesultanan Nusan­tara. Pameran berlangsung sam­pai Kamis (29/11) ini, digelar dan di­buka di Rumah Budaya Fadli Zon, siang kemarin (26/11).

Ratusan artefak, baik asli, re­plika maupun foto yang dipa­merkan merupakan high light ke­kayaan peninggalan budaya Me­layu. Ada di antaranya artefak pa­da abad 10 sebelum Masehi dan koleksi berumur 2.000 ta­hun. “Semua itu bukti pera­da­ban bangsa. Saya memandang bah­wa bangsa yang beradab ada­lah yang bisa menghargai ke­budayaan,” sebut Fadli Zon, pemilik Rumah Budaya itu.

Wali Kota Padangpanjang, Suir Syam menyampaikan, pa­me­r­an ini menggambarkan be­sar dan kuatnya nenek mo­yang bang­s­a ini pada dulu kala. “Mel­alui pameran ini, kita berha­rap bisa membuka mata kita bahwa bangsa ini terlahir dari orang-orang pemberani,” tutur Suir Syam sebelum pembukaan pa­me­ran dengan pemukulan gong dan pengguntingan pita.

Koordinator Pameran Arte­fak Sea MAF, Erizal menga­ta­kan, kegiatan yang dirancang se­jak 4 bulan ini nyaris tidak ter­laksana karena satu bulan se­te­lah surat dilayang ke kepala be­berapa museum di Indonesia tak ada bala­san. “Namun setelah jem­put bola, akhirnya dapat diwu­jud­kan de­ngan sedikitnya 10 museum ikut berpartisipasi,” papar Dekan Fa­kultas Seni Rupa dan Desain ISI Padangpanjang. (yuwardi)