Penghargaan WSA buat SBY Tak Punya Arti, Jika..

Penghargaan WSA buat SBY Tak Punya Arti, Jika..

Penghargaan World Statesman Award yang akan diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dari Appeal of Conscience Foundation, 30 Mei mendatang, tidak akan punya arti jika presiden keenam ini tidak memberikan capaian dan warisan yang berharga kepada rakyatnya.

“Apa arti gelar dan penghargaan tersebut bagi rakyat Indonesia? Sebab, bagi pemimpin negara, yang terpenting adalah apa yang dicapai dan apa diwariskan bagi rakyatnya (legacy),” nilai Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon di Jakarta, Kamis, (9/5).

Menurutnya, hal itu terjadi seperti yang menimpa Presiden Uni Soviet, Mikhail Gorbachev yang menerima hadiah Nobel dan banyak penghargaan dunia, namun tak dihargai rakyatnya di dalam negeri, bahkan Uni Soviet mengalami disintegrasi.

Bagi seorang pemimpin negara, imbuh Fadli, yang utama harus didapat, adalah penghargaan dari rakyat. Penghargaan yang muncul secara tulus atas keberhasilan menciptakan kebahagiaan, kesejahteraan, kemerdekaan, dan perdamaian.

“Jangan sampai, dunia internasional memberikan penghargaan, namun rakyat sendiri justru menilai sebaliknya,” tandas dia.

Penghargaan WSA buat SBY

Fadli menuturkan, Presiden SBY akan menerima penghargaan World Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation, yakni sebuah organisasi yang mempromosikan perdamaian, demokrasi, toleransi, dan dialog antar kepercayaan. Rencananya, anugerah ini akan diberikan 30 Mei mendatang di New York, Amerika Serikat.

Pemberian anugerah ini, tentunya membawa nilai positif bagi Presiden SBY dan menambah deretan penghargaan dunia internasional yang diterimanya. Barangkali, di antara Presiden RI era reformasi, SBY lah yang paling banyak menerima gelar atau penghargaan.

Selama 9 tahun menjabat presiden, SBY sudah memperoleh 7 gelar Doktor Honoris Causa. Presiden Soeharto yang menjabat 30 tahun sering ditawari, tapi tak bersedia menerimanya.

Anugrah World Statesman Award sendiri diberikan kepada mereka yang berhasil membangun perdamaian, demokrasi, dan toleransi. “Tapi, jika kita lihat di masa kini, tingkat konflik yang melibatkan kelompok etnis dan keagamaan di Indonesia justru semakin meningkat,” pungkasnya.