Pangan Masih jadi PR Besar

Pangan Masih jadi PR Besar

Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Fadli Zon mengatakan, posisi pangan sangat vital, bahkan kini menjadi problem yang sangat kompleks. Misalnya, masih ada tumpang tindih kebijakan antar kementerian dan ketimpangan dalam lintas sektoral. Belum lagi persoalan cadangan pangan dan fluktuasinya harga komoditas.

“Problem akurasi data pangan hingga kini juga belum selesai, isu kualitas pangan juga masih bermasalah,” kata Fadli Zon saat membuka Munas Pemuda HKTI di Karawang, Sabtu (17/11).

Karena itu soal pangan menurutnya, adalah hal yang mendesak segera diselesaikan, karena menyangkut soal hidup dan mati bangsa Indonesia. “Saya melihat sudah 70 tahun Indonesia Merdeka, tapi ketahanan pagan masih menjadi persoalan serius,” ujarnya.

Misalnya,  skor indeks ketahanan pangan tahun 2021 sebesar 59.5, turun 3.1 piont dari tahun lalu sebesar 62.6. Skor Indeks ketahanan pangan tersebut nomor 5 di Asia Tenggara di bawah Vietnama 60.3.

Bahkan meski produksi komoditas pertanian meningkat, tapi selama 20 tahun terakhir justru produksi padi mengalami stagnasi. Pada peripde 2020-2021 naik 0,73 persen. Namun jika dilihat dalam lima tahun terakhir produksi padi minus 0,34 persen/tahun.

Padahal di sisi lain anggaran subsidi untuk meningkatkan produksi padi, seperti pupuk terus meningkat, tapi produksi padi justru stagnan. “Kita mengalami persoalan serius untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negeri,” katanya.

Fadli mengakui, meski di sisi lain konsumsi beras turun, tapi bukan beralih ke pangan lokal, justru pangan berbahan baku berbasis gandum. Impor gandum yang tahun 1970-an hanya 0,45 juta ton, kini sudah mencapai 10,5 juta ton lebih.

“Gandum yang tahun 1970-an tidak  banyak kita kenal sebagai pangan pokok, kini sudah menjadi bagian konsumsi pangan masyarakat. Kalau dibiarkan, tahun 2040 diperkirakan gandum akan  memenuhi 50 persen kebutuhan pangan,” tuturnya.

PR lain yang menjadi persoalan pertanian Indonesia adalah minimnya perhatian terhadap kebijakan untuk kesejahteraan petani. Selama ini Ketua MPR ini menilai, kebijakan lebih cenderung dilihat dari sisi konsumen dan jarang dari sudut pangan produsen. Padahal kunci kemakmuran suatu bangsa dan sebagai lokomotif pertumbuhan negara adalah kesejateraan produsen (petani).

Sumber