Negeri Penghasil Bawang yang Cuma Punya Mimpi

Negeri Penghasil Bawang yang Cuma Punya Mimpi

Negeri Penghasil Bawang yang Cuma Punya MimpiSatu bulan terakhir ini ibu-ibu rumah tangga, pemilik warung, pedagang, disibukkan dengan gonjang-ganjing harga bawang putih yang kian hari kian berkilau dan “kinclong” karena menembus angka puluhan ribu rupiah, bahkan hampir Rp.100.000 per kilogram.
Jakarta, Aktual.co — Dalam pekan-pekan terakhir bawang putih ternyata mampu membuat pusing bukan hanya ibu rumah tangga, karena harganya terus melambung, namun juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang marah besar lantaran para menterinya lamban bergerak mengatasinya.

Adalah Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan dan Menteri Pertanian, Suswono, yang dimarahi Presiden karena bawang ini, dua pembantu Presiden itu dinilai tidak kompak mengurus bawang.

Teguran kepada dua menteri itu disampaikan Presiden SBY dalam pertemuan dengan sejumlah petinggi media di Istana Negara, Jumat 15 Maret 2013.

“Saya marah kemarin, karena urusan bawang merah dan putih ini berhari-hari kurang cepat. Kurang konklusif dan kurang nyata penangganannya,” kata SBY.

Satu bulan terakhir ini ibu-ibu rumah tangga, pemilik warung, pedagang, disibukkan dengan gonjang-ganjing harga bawang putih yang kian hari kian berkilau dan “kinclong” karena menembus angka puluhan ribu rupiah, bahkan hampir Rp.100.000 per kilogram.

Angka tersebut sungguh diluar kewajaran, bahkan harga satu kilogram bawang putih setara dengan empat kilogram daging ayam potong. Sepanjang sejarah, baru tahun ini harga bawang putih “gila-gilaan”, meski beberapa hari kemudian akhirnya harus terjun bebas karena stok di pasaran mulai melimpah.

Meski sudah “terjun bebas”, harga bawang putih di pasar-pasar tradisional masih belum mampu kembali ke harga normal seperti sebelumnya yang hanya Rp18.000-Rp20.000 per kilogram. Harga saat ini rata-rata masih di atas Rp30.000 per kilogram.

Kenaikan harga bawang putih juga mengerek harga bawang merah yang saat ini berada di atas Rp40 ribu per kilogram.

Padahal Indonesia saat ini merupakan eksportir bawang merah, sedangkan untuk bawang putih kebutuhan Indonesia dipenuhi produk impor dari China.

Menteri Pertanian Suswono memang mengakui saat ini, sebagian besar kebutuhan bawang putih di dalam negeri masih dipenuhi dari impor, sebab petani dalam negeri hanya mampu memenuhi kurang dari 10 persen pasokan bawang putih dari total kebutuhan nasional.

Sayangnya Suswono menyatakan, saat ini data catatan produksi petani bawang putih maupun bawang merah belum ada. Sehingga pihaknya tidak memiliki pegangan soal produksi petani saat ini.

Memang Kementerian Pertanian sendiri tidak bisa memaksakan petani untuk menanam bawang putih atau bawang merah. Sebab, petani ini tentu melihat untung rugi dalam menanam komoditas tersebut.

Berdasarkan penelitian Kementerian Pertanian, petani bawang ini banyak yang mengalihkan fungsi lahannya menjadi menanam padi karena lebih menguntungkan.

“Satu hektare untuk produksi bawang ini ongkos produksinya bisa Rp 60 juta. Ini padi kan lagi bagus harganya. Apalagi risikonya juga kecil. Sementara menanam bawang itu high risk high return. Jadi petani memang lebih menanam yang lebih menguntungkan,” tambahnya.

Sekadar catatan, kebutuhan bawang putih secara nasional mencapai 400.000 ton setiap tahun. Dari kebutuhan tersebut, sekitar 320.000 ton dipenuhi dari impor.

Di semester I-2013 ini, pemerintah akan menyepakati rencana impor bawang putih sebesar 84 persen dari rencana tersebut atau sekitar 134.600 ton bawang putih.

Untuk mengantisipasi kenaikan harga bawang putih tersebut, Kementerian Perdagangan seger mengeluarkan Surat Persetujuan Impor (SPI) bawang putih untuk 92 perusahaan Importir Terdaftar (IT) yang akan mendatangkan 134,6 ribu ton bawang putih atau sebesar 84,15 persen dari total kebutuhan semester pertama sebanyak 160.000 ton untuk periode Januari sampai Juni.

SPI tersebut diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan setelah sebelumnya Kementerian Pertanian mengeluarkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) bagi para pemegang IT.

“Dengan diterbitkannya SPI tersebut, dalam waktu kurang lebih 10 sampai 14 hari mendatang pasokan bawang putih ke pasar induk dan pasar eceran diharapkan bisa segera bertambah dan bisa membantu menurunkan harga,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi, di Jakarta, Rabu (13/3).

Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian yang telah berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Perekonomian akhirnya melepaskan sebanyak 332 kontainer yang sempat tertahan demi menstabilkan harga bawang putih yang terus merangkak naik akibat minimnya pasokan.

Tingkat ketergantungan Meski harga bawang putih mulai berangsur turun, bukan berarti permasalahannya selesai, sebab permasalahan pelik yang dihadapi bangsa Indonesia sebenarnya adalah tingkat ketergantungan impor yang sangat tinggi akibat dari rendahnya produksi dalam negeri, sehingga tak mampu memenuhi kebutuhan domestik.

Menteri Perdagangan Gita Wiryawan mengatakan, produksi bawang putih sering tidak bisa memenuhi permintaan kebutuhan masyarakat Indonesia, sehingga tingkat ketergantungannya terhadap impor selalu tinggi, bahkan bisa mencapai 95 persen dari kebutuhan.

Produksi bawang putih di Tanah Air rata-rata hanya 14.200 ton per tahun, sedangkan kebutuhan masyarakat mencapai 400 ribu ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mau tidak mau pemerintah harus impor dari sejumlah negara, termasuk China yang mencapai 135 ribu ton.

Meski Indonesia merupakan negara tropis, bukan hal yang mustahil jika produksi bawang putih bisa memenuhi kebutuhan, apalagi Indonesia juga pernah menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri (swasembada) pada tahun 1996-1998 lalu.

Menurut Sekjen Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon, peningkatan produksi bawang putih tidak dianggap sebagai hal yang mustahil, sebab pengembangan riset pertanian memungkinkan Indonesia untuk memproduksi bawang putih meskipun iklim di Indonesia cenderung tidak cocok.

Tanah di Indonesia, umumnya memang lebih cocok ditanami bawang merah. Namun, menurut dia, jika pemerintah serius mengembangkan penelitian mengenai penanaman bawang putih, maka Indonesia bisa mengurangi ketergantungan impor.

Ia juga menyayangkan produksi bawang putih di Indonesia cenderung mengalami penurunan. Saat ini, Indonesia bahkan hanya bisa memproduksi bawang putih kurang dari 10 persen kebutuhan masyarakat. “Dulu kita pernah berjaya, kenapa bisa turun, semestinya ada kemajuan karena perkembangan teknologi,” kata dia.

Pada tahun sebelum 1998, luas lahan tanaman bawang putih di Tanah Air mencapai 250 ribu hektare dengan produktivitas cukup tinggi dan jika dikonversikan dengan kebutuhan saat ini sudah bisa mencukupi dan Indonesia tidak perlu impor lagi.

Namun, fakta yang ada saat ini lahan (areal) tanaman bawang sudah menyusut cukup tajam, sehingga produktivitasnya juga rendah dan keran impor akhirnya dibuka lebar-lebar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Kalangan petani pun mengaku enggan menanam bawang putih maupun bawang merah meski harganya di pasaran tengah melonjak. Petani justru mempersiapkan lahannya untuk menanam daun bawang pre.

“Menanam bawang merah atau putih tidak lagi menguntungkan karena biaya operasional dan perawatannya cukup besar, disamping harga bibitnya juga mahal,” kata Warsito, salah seorang petani di Torongrejo, Batu.

Menurut dia, harga bibit saat ini mencapai Rp25.000-Rp50.000 per kilogram dan biaya operasionalnya juga tinggi. Untuk per hektarenya butuh biaya sekitar Rp20 juta-Rp25 juta dan biaya itu akan membengkak lebih tinggi jika tanaman bawang merah terserang penyakit, mirisnya lagi saat panen tiba harga jual bawang merah sering anjlok.

Sedangkan untuk daun bawang pre, biaya operasionalnya sekitar Rp10 juta/hektare. Pada saat harganya mahal bisa mencapai Rp6.000-Rp7.000/kg dan ketika harganya anjlok sekitar Rp1.000-Rp1.500/kg, namun petani tetap tidak rugi karena masih balik modal.

Sementara itu, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia yang juga anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, mengatakan bahwa terkait dengan bawang putih, merupakan hal yang berbeda jika dibandingkan dengan tanaman padi.

“Bawang putih merupakan tanaman di kawasan subtropis yang memerlukan sinar matahari sebanyak 17 jam per hari, dan tidak ada wilayah di Indonesia yang memiliki daerah tersebut,” kata Khudori saat dihubungi Antara, Sabtu (23/3).

Masih memungkinkan Khudori menjelaskan, memang masih dimungkinkan untuk menanam bawang putih di Indonesia, namun produksinya akan jauh berbeda dengan negara asalnya.

“Jika di negara subtropis untuk satu hektare tanah bisa menghasilkan 20 ton bawang putih, maka jika ditanam di Indonesia akan menghasilkan setengahnya saja,” ungkap Khudori, yang juga mengatakan bahwa keberadaan lahan pertanian di Pulau Jawa akan terus terhimpit dan perlu didorong adanya pengembangan lahan pertanian di luar Pulau Jawa.

Dia menambahkan, jika memang menjadi fokus dari pemerintah maka bisa dilakukan pengembangan bibit bawang putih yang cocok untuk iklim tropis seperti di Indonesia, namun apabila tidak maka memang harus terus tergantung dengan impor.

“Pengembangan juga tidak bisa dilakukan dengan sekejap, perlu waktu yang lama, tinggal apakah pemerintah fokus untuk mengatasi masalah ini. Jika tidak, maka kita akan terus bergantung untuk melakukan impor bawang putih,” ujar Khudori.

Sementara itu Sekjen HKTI Fadli Zon, menyatakan, mengenai penanganan harga bawang merah, ia menyarankan agar ada perbaikan kualitas bibit.

“Kalau perlu kita impor bibitnya bukan bawang merah jadi, itu jauh lebih untung. Selanjutnya juga dilakukan pengendalian hama, penyakit dan penggunaan rumah plastik,” katanya.

Pemerintah juga bisa membuat sentra produksi bawang baru selain Brebes, NTB, Bali, dan Probolinggo.

“Menanam bawang,hanya membutuhkan waktu dua bulan sehingga tidak ada alasan tak mampu,” katanya.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Bidang Penggalangan Tani, Sidik Suhada menilai kebijakan pemerintah yang melakukan impor bumbu dapur seperti bawang ini sebagai kegagalan pemerintah untuk membangun kemandirian petani. Impor tidak seharusnya dilakukan mengingat Indonesia kaya sumber daya alam.

“Pemerintah telah gagal membangun petani yang mandiri di atas tanahnya sendiri. Kebijakan ini membuktikan pemerintah gagal membangun kedaulatan pangan nasional,” katanya.

Sidik juga mengatakan, harga bawang di sejumlah daerah di Tanah Air saat ini sudah mulai berangsur turun. Pasokan bawang terutama bawang putih yang diimpor oleh pemerintah sudah mulai datang.

Namun, bukan berarti pemerintah bisa merasa puas, sebab penurunan harga bawang yang hanya ditopang dengan stok impor mudah digoncang kembali. Penurunan harga ini tidak memiliki basis yang kuat dan mengakar dari rakyat.

Pihaknya menduga, terdapat mafia-mafia yang sengaja bermain dalam tragedi kenaikan harga bawang itu. Agar harga tidak mudah dimainkan, dianjurkan agar ada komoditas yang menopang kuat yang dihasilkan dari produksi petani sendiri dan bukan impor.

“Sebagai negara agraris, seharusnya kebijakan itu bersandar pada basis utama yaitu agraria dan pertanian dan bukan mengadopsi kebijakan yang dibuat negara lain,” tukasnya.

Ia yakin dengan komitmen tegas dari pemerintah, petani akan bisa meningkatkan kesejahteraannya dan bisa berdaya dengan produksi sendiri, tidak mengandalkan impor.

Akhirnya dari sengkarut bawang putih ini yang diperlukan adalah komitmen pemerintah untuk membela petani agar gairah mereka pun bisa bangkit. Terlebih lagi, profesi petani bagi sebagian remaja kurang menarik sehingga ditinggalkan.