Menimbang Hak Kaum Disabilitas di Indonesia

Menimbang Hak Kaum Disabilitas di Indonesia

images-12-715x375

Baru-baru ini, kasus drg Romi Syofpa Ismael menyita perhatian publik. Sosok Romi menjadi perbincangan setelah pemerintahan daerah (Pemda) Solok Selatan, Sumatera Barat menganulir kelulusannya sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) pada 2018.

Padahal, Romi berhasil lulus dengan nilai terbaik. Namun, kelulusannya dibatalkan setelah pemda Solok Selatan mengetahui Romi penyandang disabilitas.

Meski Pemerintah telah mengembalikan hak Romi pada Senin (5/8) melalui rapat koordinasi di Kantor Staf Presiden (KSP), tapi kasus ini harus menjadi pembelajaran. Ini karena para penyandang disabilitas punya hak dan kesempatan yang sama seperti warga negara lain.

Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, menilai sampai hari ini belum ada institusi atau lembaga yang dapat memastikan pemerintah melakukan hal terbaik untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Bahkan, pemerintah belum memiliki data yang bisa diandalkan untuk menggambarkan situasi penyandang disabilitas.

Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mewajibkan peran pemerintah, baik Pemerintah Daerah, BUMN maupun BUMD untuk mempekerjakan penyandang disabilitas sebesar 2 persen dari jumlah pegawai. Bahkan, ada nilai tambah berupa insentif bagi perusahaan yang memperkerjakan penyandang disabilitas.

“Akan tetapi, pelaksanaannya saya kira masih belum direalisasikan,” kata Fadli, usai menjadi pembicara dalam seminar ‘Pendekatan Gender dan Disabilitas Dalam Legislasi Bidang Ketenagakerjaan’, di Ruang Abdoel Moeis, Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/8).

Dia menegaskan, hak kaum penyandang disabilitas terlibat dalam dunia ketenagakerjaan Indonesia harus sama. Apalagi Indonesia ikut serta mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) atau konvensi mengenai hak-hak disabilitas melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.

Ratifikasi CRPD tersebut menjadikan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang berkomitmen mewujudkan secara optimal segala bentuk dari penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dari penyandang disabilitas. Hal ini sebagaimana tercantum dalam CRPD tersebut.

Hal serupa diutarakan anggota Komisi IX DPR, Nova Riyanti Yusuf. Dia menegaskan sudah saatnya negara hadir dan menghentikan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap kaum disabilitas dengan memberikan pelayanan publik yang baik.

“Kita memotong rantai pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap orang-orang penyadang disabilitas, di antaranya lewat public service,” kata dia.

Isu disabilitas harus ditangani oleh multi sektoral, minimal tiga lembaga negara yakni Kementerian Sosial, Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, serta Kementerian Dalam Negeri. Ketiga lembaga ini harus ikut dalam pembahasan RUU Pengawasan Ketenagakerjaan, agar hak-hak kaum disabilitas bisa terpenuhi.

Selain hak ketenagakerjaan, alokasi anggaran bagi penyadang disabilitas juga masih minim. Pada tahun 2018, Pemerintah hanya mengalokasikan 0,014 persen anggaran nasional untuk isu disabilitas, atau Rp323 miliar dari total anggaran nasional Rp2.400 triliun.

Nova mengutarakan, pemerintah harus punya komitmen kuat dari aspek regulasi, anggaran, dan pengawasan demi menghentikan diskriminasi pada kaum disabilitas.

 

Sumber