Mengabarkan dan Mengaburkan Minangkabau

Oleh : Raudha Thaib
Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat

Sampai hari ini, Minangkabau tetap merupakan bagian dari realita sosial kehidupan kemanusiaan. Sebuah suku bangsa atau etnik yang “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan suku-suku bangsa lainnya di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Ikut bertungkus lumus memperjuangkan negara ini menjadi sebuah negara merdeka yang berdaulat.

Banyak para putra-putranya yang sahid mempertahankan negara ini, yang jadi pahlawan pengharum sejarah, tokoh kebangsaan dan politisi, ilmuwan dan budayawan yang memberi warna berbagai pemikiran. Mempunyai batas-batas wilayah yang jelas, bahasa dan sastra yang indah, sistem sosial spesifik yang tetap setia diamalkan, suku bangsa yang dinamis dan terus berkembang ke seantero muka bumi, mempunyai keyakinan keagamaan yang semakin mantap dan selalu mengasah dan menguji pengalaman etika dan estetikanya yang menyentuh rasa dan meninggikan citra. Minangkabau bukanlah sebuah negeri dongeng yang hanya didendangkan oleh para tukang kaba atau story-teller dengan iringan saluang sejenis musik purba, sebagaimana yang dianggap orang selama ini.

Mengabarkan dan mengaburkan merupakan dua kata yang saling berdekatan dan saling berkaitan. Mengabarkan, memberi kabar dan mengaburkan memberi kabar juga tetapi berada di luar perkabaran. Dalam kesehariannya, orang Minangkabau bila jumpa sesamanya, akan selalu saling mengabarkan hal ihwal dirinya. “Baa kaba?” atau “bagaimana kabar” adalah ungkapan yang sangat akrab antara mereka. Artinya, satu sama lain saling membutuhkan informasi, hal ikhwal, dan persoalan yang jika berat “supaya sama-sama dipikul” dan jika ringan “sama-sama dijinjing”.

Di balik itu semua, ungkapan yang sangat familiar ini mengandung kejujuran terhadap realita sosial yang tengah mereka hadapi. Tidak untuk berpura-pura, tidak untuk saling menyenangkan hati, tidak untuk saling tipu menipu. Semua itu dituntun oleh kaidah”silaturrahim” yang diajarkan keyakinan keagamaannya.

Seorang istri Minangkabau yang bijaksana, akan selalu menyambut kepulangan suaminya dengan pertanyaan tersebut. “Baa kaba?” Bagaimana kabar suamiku, ketika kau sedang berada di luar rumah? Sehatkah? Sakitkah? Adakah persoalan-persoalan yang dapat kita pecahkan bersama? Istri Minangkabau tidak akan menanyakan suaminya yang baru datang, apakah dia sudah makan, mau makan, mau tidur, mau bercumbu atau tidak. Semua itu tak perlu ditanyakan lagi, karena semua itu sudah menjadi kewajiban seorang istri. Tapi akan halnya “baa kaba?” itu adalah permintaan seorang bijaksana untuk mengetahui berbagai hal ikhwal yang terjadi atas diri suaminya.

Sedangkan kata mengaburkan, kandungan dustanya lebih besar daripada kebenaran dalam perkabaran. Mengaburkan dapat menjurus pada penzaliman, penistaan dan peniadaan. Mengaburkan Minangkabau dapat diartikan dengan penzaliman terhadap sebuah kebudayaan, penistaan terhadap kehidupan suatu bangsa atau etnik, peniadaan terhadap eksistensi kemanusiaan. Suatu hal yang sangat tidak dapat diterima oleh agama manapun, tidak dapat dibenarkan oleh berbagai disiplin keilmuan apapun, tidak dapat dicatat sebagai budi luhur dalam karya-karya sastra manapun.

Dalam perjalanan kehidupan masyarakat Minangkabau sampai hari ini, terus berkecamuk antara perkabaran dan pengaburan. Banyak catatan-catatan orang asing yang ditinggalkannya tentang Minangkabau ketika mereka datang berkunjung, menjajah dan melakukan penelitian. Semua itu masih dalam tahap mengabarkan. Artinya mereka meninggalkan catatan-catatan yang dapat dijadikan rujukan untuk mengetahui perjalanan manusia Minangkabau dari masa ke masa. Semua catatan-catatan tersebut dalam berbagai bidangnya, telah dijadikan rujukan bagi para ilmuan yang datang kemudian.

Ketika para ilmuan yang datang kemudian ini mencoba menafsirkan catatan-catatan yang tertinggal tersebut, terjadi “distorsi” baik dalam data, analisa dan penafsiran. Distorsi inilah yang menyebabkan terjadinya pengaburan. Di satu pihak mereka mengabarkan tentang Minangkabau, tapi di pihak lain secara bersamaan mereka telah melakukan pengaburan.

Banyak sekali contoh-contoh yang dapat diberikan dalam hal pengaburan-pengaburan ini. Baru-baru ini saja, untuk menjadikan Mr.Syafruddin Prawiranegara menjadi pahlawan Nasional, kita harus menunggu waktu yang cukup panjang dengan perasaan harap-harap cemas, bisa jadi karena dia berjuang di Sumatera Barat. Jauh sebelum itu, ketika Pemda Sumatera Barat mengusulkan Sultan Alam Bagagar Syah menjadi pahlawan Nasional yang berasal dari Minangkabau, justru yang sangat berkeberatan itu adalah beberapa orang Minangkabau itu sendiri yang mengklaim dirinya sebagai ilmuan, yang menyebabkan tokoh sejarah itu tersisih dari catatan perjuangan masyarakat Minangkabau. Banyak lagi tokoh-tokoh nasional yang berasal dari Minangkabau “harus antri” menunggu hilangnya awan mendung pengaburan-pengaburan tersebut oleh orang Minangkabau itu sendiri.

Pengaburan-pengaburan itu yang dapat juga dipadankan dengan kata “penzaliman fakta dan data” tidak hanya terbatas pada bidang kesejarahannya saja. Hampir di seluruh aspek kehidupan pengaburan itu berlangsung. Mulai dari pengertian dan pengamalan sistem nasab keibuan yang dikenal dengan sebutan sosiologis “sistem matrilineal”, “pewarisan, hak tanah ulayat, dan keturunan”, sistem kemasyarakatan yang monumental “kelarasan Koto Piliang” dan “kelarasan Bodi Caniago” yang terus dicampurbaurkan untuk suatu pengaburan. Bahkan pengaburan itu sudah meruyak kepada asesoris budaya seperti perubahan pakaian kebesaran seorang penghulu, kepemilikan rumah gadang, kepemilikan masjid-masjid pribadi, dan adab serta tatacara pernikahan dan majelis-majelis perkawinan, serta upacara-upacara kematian, kata-kata panggilan, dan sikap dalam berkenalan.

Pengaburan terhadap adat dan budaya Minangkabau mempunyai dampak yang beragam, baik bagi masyarakat Minangkabau itu sendiri maupun masyarakat luar Minangkabau yang ingin mengetahui tentang Minangkabau. Pengaburan yang dilakukan selama ini telah menyebabkan timbul berbagai ekses yang sangat merugikan. Antara lain, sampai sekarang masyarakat Minangkabau masih belum berhasil membuat sebuah panduan, atau bakuan baik berupa buku atau perundang-undangan tentang adat dan budayanya sendiri. Hal ini menyebabkan para penulis budaya membuat buku tentang adat dan budaya Minangkabau menjadi beragam untuk berbagai kepentingan. Begitu juga para akademisinya, mempunyai persepsi yang saling berseberangan antara sesamanya tentang sebuah realita sosial budaya yang tengah dibedahnya.

Banyak hal yang telah dikabarkan, tetapi lebih banyak yang telah dikaburkan. Diharapkan dalam momentum peresmian Rumah Budaya Fadli Zon Tuanku Muda Pujangga Diraja ini, dapat ditimbulkan kembali keinginan bersama untuk menghentikan pengaburan dan meneruskan pengabaran yang benar tentang adat dan budaya Minangkabau. Waktu kita tinggal sedikit, sebelum arus globalisasi menghanyutkan sesuatu yang diyakini dan diamalkan selama ini, seyogyanyalah kita satu sama lain saling berendah diri dan saling berjujur-jujur pada bidang yang kita geluti. Apalagi dalam saat sekarang, ketika “permainan” politik yang dilakonkan para aktor politiknya sudah begitu bebasnya bergentayangan ke seluruh lapis kejujuran, ke seluruh jalinan urat kebenaran, ke seluruh permukaan kebenaran. Tabiat buruk seseorang tokoh atau pemimpin masyarakat yang dulu diungkapkan dalam mamangan “buruk muka cermin di belah”, kini justru mamangan tersebut jadi sebuah ironi; “seburuk-buruk muka citra harus terjaga”.
Sebagai penutup pidato ini, sengaja saya ulangi lagi apa yang telah disampaikan tadi bahwa, kata mengaburkan, kandungan dustanya lebih besar daripada kebenaran dalam perkabaran. Mengaburkan dapat menjurus pada penzaliman, penistaan dan peniadaan. Mengaburkan Minangkabau dapat diartikan dengan penzaliman terhadap sebuah kebudayaan, penistaan terhadap kehidupan suatu bangsa atau etnik, peniadaan terhadap eksistensi kemanusiaan. Suatu hal yang sangat tidak dapat diterima oleh agama manapun, tidak dapat dibenarkan oleh berbagai disiplin keilmuan apapun, tidak dapat dicatat sebagai sitawa-sidingin dalam berbagai gendre karya sastra manapun.

Semoga kita terhindar dari semua bentuk pengaburan yang akan dapat menggerus kejujuran dalam kehidupan rohani dan diri kita.
“Malabihi ancak-ancak, mangurangi sio-sio” begitu mamangan cerdas dari sekian banyak kearifan lokal dalam budaya Minangkabau.(*)

Tulisan ini merupakan Pidato Kebudayaan penulis, Prof.Dr.Puti Reno Raudha Thaib, Ketua Umum Bundo Kanduang Sumatera Barat dalam acara Peresmian Rumah Budaya Fadli Zon Di Nagari Aie Angek – Padang Panjang Sabtu, 4 Juni 2011