Kerusuhan Mei 1998 Dipicu IMF

Kerusuhan Mei 1998 Dipicu IMF

Kerusuhan Mei 1998 Dipicu IMF

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai, kerusuhan Mei 1998 dipicu agenda Internasional Monetary Fund (IMF) di Indonesia.

Dalam acara peluncuran buku Politik Huru Hara Mei 1998 di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (21/5/2013) Fadli mengatakan, IMF memiliki agenda untuk mengganti rezim yang berkuasa di Indonesia saat itu.

“Kerusuhan Mei triger-nya, karena kondisi yang diciptakan IMF untuk menciptakan rezim change. IMF di Amerika mengatakan, sudah tidak mungkin lagi terjadi kebijakan ekonomi, harus ada perubahan politik,” ujar Fadli.

IMF, menurut Fadli, terlibat menangani krisis moneter di Indonesia pada 31 Oktober 1997, setelah rezim Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, berusaha mengembalikan kepercayaan pasar dan menstabilkan nilai Rupiah yang terpuruk.

“Pada 8 Oktober 1997, Pemerintah Indonesia mengumumkan akan meminta bantuan IMF,” tuturnya.

“Atas desakan para penasihat ekonominya, maka pada 31 Oktober 1997 ditandatangani nota kesepahaman pertama dengan IMF,” ucap Fadli.

Dalam kesepakatan itu, tercantum pasal mengenai peniadaan subsidi dan kontrol, yang berdampak naiknya harga BBM. Setidaknya, terjadi tiga kali nota kesepahaman antara IMF dan Pemerintah Indonesia, yang menurut Fadli justru makin memerparah kondisi perekonomian di Indonesia.

Sejumlah persoalan yang timbul saat itu, bebernya, adalah anjloknya nilai Rupiah secara dramatis, pasar uang dan pasar modal rontok, ratusan perusahaaan bertumbangan, tingkat pengangguran naik 20 persen lebih dari angkatan kerja, atau tepatnya 20 juta orang, dan naiknya harga-harga kebutuhan pokok dengan cepat.

“Garis kemiskinan mencapai sekitar 50 persen dari total penduduk. Kondisi perekonomian Indonesia semakin memburuk dan semakin tidak jelas titik terang ke arah pemulihan. Ini merupakan indikator kegagalan IMF di Indonesia. Kegagalan IMF sebenarnya bukan saja karena memberikan diagnosa dan resep yang salah terhadap krisis ekonomi Indonesia, dan kesalahan membaca peta sosial politik Indonesia, tapi juga karena IMF tidak punya kapabilitas intelektual yang memadai untuk memahamai situasi Indonesia, selain tidak memiliki good faith,” urai Fadli.

“Sejak saat itu berbagai demonstrasi mahasiswa telah dimulai, dan sejak Februari 1998 semakin marak dan berani dengan tuntutan harga-harga diturunkan, dan agenda reformasi dilaksanakan,” kupas Fadli.

Puncaknya, terang Fadli, dengan ditembaknya empat mahasiswa di Kampus Universitas Trisakti, pada 12 Mei 1998.

“Kemarahan masa memuncak pada 13, 14, 15 Mei 1998, dengan meletusnya kerusuhan massal di Jakarta dan kota-kota lain,” jelasnya. (*)