Jelang Pemilu, Gerindra Minta Pemerintah Revisi Standar Warga Miskin

Jelang Pemilu, Gerindra Minta Pemerintah Revisi Standar Warga Miskin

Jelang Pemilu, Gerindra Minta Pemerintah Revisi Standar Warga MiskinPerbedaan standar pendapatan membuat seolah-olah secara statistik angka kemiskinan di Indonesia turun dan rendah.

Pemerintah diminta untuk berani mengoreksi data kemiskinan masyarakat, dengan cara mengubah standar pendapatan untuk masyarakat miskin mengikuti standar internasional.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon, menyatakan bahwa selama ini pemerintah mengelompokkan warga miskin berdasarkan pendapat Rp7.000 per hari, atau berjumlah sekitar 30 juta penduduk (12 persen).

“Pemerintah harus berani mengoreksi data kemiskinan, dengan menggunakan standar internasional atau pendapatan Rp18 ribu per hari, bukan Rp7 ribu per hari,” kata Fadli Zon dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu (12/1).

Menurut Fadli, memang dengan standar pendapatan orang miskin versi internasional yang kisarannya hampir USD2 itu, jumlah angka warga miskin Indonesia akan membengkak menjadi lebih dari 100 juta jiwa.

Tapi baginya, keberanian untuk jujur memotret fenomena kemiskinan adalah salah satu langkah penting untuk menangani masalah kemiskinan.

“Kalau menggunakan standar internasional, ada lebih dari 100 juta jiwa rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Lebih dari 3 kali lipat data statistik BPS. Inilah akrobat data pemerintah yang sering kali rakyat tak tahu,” ungkapnya.

Perbedaan standar itu, menurutnya lagi, membuat seolah-olah secara statistik angka kemiskinan di Indonesia turun dan rendah.

Padahal dengan perspektif dan standar yang berbeda, turunnya angka kemiskinan yang ada, bisa jadi bukan karena suksesnya kebijakan pemerintah, melainkan karena rendahnya standar garis kemiskinan.

Secara positif, dijadikannya standar internasional pendapatan Rp18 ribu per hari sebagai acuan, menurut Fadli, akan meningkatkan efektifitas belanja sosial oleh negara.

Dengan secara jujur membuka angka warga miskin yang sebenarnya, maka menurutnya potensi penyelewengan belanja sosial negara bisa dihilangkan atau diminimalisir.

“Barangkali pemerintah juga tahu, bahwa potensi perburuan rente di belanja sosial ini cukup besar. Apalagi menjelang Pemilu,” kata Fadli pula.