Inilah Jawaban Prabowo Soal Tragedi Mei 1998

Kekerasan yang terjadi pada Mei 1998 tak hanya sekedar catatan hitam dalam lembaran sejarah Indonesia, tapi juga luka bagi para korban dan keluarga korban kekerasan. Termasuk masyarakat Tionghoa yang harta bendanya dirampas. Apalagi para perempuan Tionghoa korban pemerkosaan biadab.

Prabowo Subianto yang saat peristiwa tersebut menjabat sebagai Panglima Komando Angkatan Darat memberi penjelasan soal dugaan keterlibatannya.

“Saya memang dituduh melakukan banyak hal termasuk dituduh melakukan kudeta tapi bukti sejarah menunjukan saya tidak melakukan kudeta karena saya percaya pada prinsip-prinsip demokrasi,” kata dia depan masyarakat Tionghoa, termasuk beberapa LSM dan media massa berbahasa Mandarin di Restoran Nelayan, Ancol, Jakarta Utara, Sabtu 13 Juni 2009.

Kata Prabowo, saat itu menjaga stabilitas jadi fokus utama. “Saat itu saya adalah pejabat dalam suatu pemerintahan, setelah itu ada pergantian rezim. Apa yang oleh satu pemerintahan disebut sebagai penahanan, oleh pemerintahan selanjutnya bisa diartikan sebagai penculikan,” kata dia.

Sebagai Pangkostrad, kata Prabowo, dia mengambil tanggung jawab. “Itu bukan proyek dan suruhan saya,” kata dia. Prabowo lalu mengaku sudah ada rekonsiliasi. “Namun, saya juga minta maaf,” kata dia.

Selain menjawab pertanyaan pengunjung soal peristiwa Mei 1998, Prabowo juga membagi-bagikan buku berjudul ‘Huru-hara Mei 1998’ karya Fadli Zon, yang saat ini menjadi Wakil Ketua Umum Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Kerusuhan terjadi di Indonesia pada 13 Mei – 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta dan  beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.

Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa. Selain itu banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa juga menjadi sasaran amuk massa, terutama di Jakarta dan Surakarta. Juga terdapat puluhan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dalam kerusuhan tersebut.

Pada peringatan 11 tahun peristiwa Mei 1998, sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) di kantor Kontras mengadakan ‘May Tribunal’, sebagai representasi pengadilan rakyat. Mereka menuntut Pengadilan HAM ad hoc mengadili pihak-pihak yang bertanggungjawab atas peristiwa itu.