Hari Kebangkitan Nasional Masih Sekedar Seremoni

Hari Kebangkitan Nasional Masih Sekedar Seremoni

Bukittinggi – Peringatan Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei setiap tahunnya di Sumbar baru sekadar seremonial dan belum bersifat aktual.

Dari tahun-tahun sebelumnya pemerintah terus berkeinginan untuk bangkit. Namun tidak jelas dari mana mengawali kebangkitan itu.

“Jika ingin menyuarakan kebangkitan, titik tegaknya harus jelas. Mau mulai dari mana? Apakah pendidikan, kebudayaan, ekonomi dan sebagainya. Namun selama ini pemerintah belum terlalu fokus, sehingga tidak memiliki visi yang jelas,” ujar pengamat sejarah dan budaya Sumbar Abel Tasman, yang juga merupakan anggota Komisi IV DPRD Sumbar, Minggu (20/5).

Menurut Abel, kondisi Sumbar saat ini sedang mengalami berbagai krisis, baik formal maupun informal. Para pemimpin saat ini juga dinilai belum menjadi sosok panutan masyarakat. Sehingga masyarakat mengalami krisis kepercayaan kepada pemerintah.

Pemerintah yang terjebak pada demokrasi liberal tanpa didukung penegakan hukum merupakan salah satu penyebab terjadinya permasalahan tersebut. Seharusnya, demokrasi yang telah berjalan itu didukung oleh penegakan hukum yang kuat juga. Sehingga birokrasi, peraturan dan sasaran tujuan yang dibuat berjalan dengan baik.

Untuk mencapai itu, Abel menyarankan agar pemerintah saat ini bisa bersikap keras, memiliki visi yang jelas, serta memiliki jiwa leadership yang kuat. Meski nantinya kebijakan yang akan dibuat menimbulkan banyak kontroversi, namun Abel yakin langkah tersebut bisa diterima masyarakat, meski bukan secara instan.

“Saat ini, masyarakat masih bersikap patrimonial. Mereka masih membutuhkan back up pemimpin yang memiliki sosok seorang bapak yang keras, melindungi masyarakat, serta tidak memikirkan diri sendiri. Masyarakat juga masih membutuhkan keteladanan seorang pemimpin,” tutur Abel.

Jika pemerintah serius memikirikan masyarakat, pemerintah sebagai fasilitator masyarakat akan menjalankan fungsinya dengan baik. Abel mencontohkan, untuk mensejahterakan masyarakat tidak perlu memberi uang kepada masyarakat. Tapi bagaimana caranya agar masyarakat bisa mendapatkan modal dari bank tanpa syarat agunan dan tanpa banyak persyaratan lainnya.

Dari segi pendidikan dicontohkan, saat ini anak-anak pintar dan berprestasi sama sekali tidak terdata dengan baik. Hasilnya, setelah tamat sekolah anak itu berjualan di pasar tanpa melanjutkan pendidikan dengan alasan ekonomi. Hal ini tentu saja sangat merugikan, baik merugikan anak itu sendiri, dan juga merugikan bangsa, karena anak pintar dan berprestasi akan terbuang sia-sia.

Abel juga menyorot sumbar daya manusia (SDM) di Sumbar yang banyak ditempatkan ke suatu tempat tapi tak sesuai dengan kemampuan. Faktor ini membuat sebagian besar pejabat tidak memiliki gebrakan baru, dan hanya melanjutkan program-program yang telah ada sebelumnya. Itupun masih banyak juga yang tak terselesaikan.

“Jika ingin maju, tempatkanlah seseorang sesuai dengan kemampuannya. Siapa yang bisa, yang mampu, memiliki visi yang jelas, silahkan ditunjuk sebagai pemimpin. Namun jika tidak memiliki kemampuan dan tidak memiliki visi yang jelas, jangan dipaksakan untuk menjabat suatu jabatan tertentu,” tambah Abel.

Untuk tingkat nasional, budayawan, sejarawan dan politikus nasional Fadli Zon menilai, pemerintah pusat saat ini harus bisa menjawab tantangan masa kini, yang berpedoman dari permasalahan masa lalu.

Untuk saat ini, Fadli Zon lebih cenderung menyarankan pemerintah pusat untuk memfokuskan diri ke masalah ekonomi dan budaya. Ekonomi merupakan faktor harkat masyarakat yang harus dipenuhi. Sementara kebudayaan merupakan jati diri dan identitas daerah dan bangsa.

“Jika ekonomi hancur, maka semuanya tak akan berdaya. Makanya penting dilakukan berbagai terobosan untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan dari sisi kebudayaan, perlu diciptakan budaya malu untuk korupsi, malu untuk melakukan kecurangan, serta malu untuk berbuat kejahatan lainnya. Mulailah untuk menjalankan sesuatu yang kecil dan tak perlu membuat program muluk-muluk,” harap Fadli Zon.