Gerindra Minta Pembahasan UU Pilpres Libatkan Masyarakat

Gerindra Minta Pembahasan UU Pilpres Libatkan Masyarakat

Gerindra Minta Pembahasan UU Pilpres Libatkan Masyarakat

Pembahasan revisi UU Pilpres kembali ditunda. Ada fraksi yang setuju direvisi dan ada yang menolak revisi.

Fraksi Partai Gerindra termasuk yang setuju revisi dalam mengevaluasi syarat pencalonan Presiden dengan Presidential Threshold (PT) 20 persen.

Fadli Zon, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, mengatakan tertundanya pembahasan UU Pilpres ini sangat disayangkan, mengingat waktu pelaksanaan pemilu semakin dekat.

Pembahasan seharusnya tak hanya menjadi domain baleg, DPR atau parpol saja, tetapi harus melibatkan masyarakat. Karena yang akan memilih Presiden adalah rakyat. Perlu dengar aspirasi masyarakat soal syarat pencalonan.

Dia menegaskan, Gerindra sama sekali tak khawatir meskipun PT tetap 20 persen untuk pencalonan presiden. “Kami yakin dapat mencapainya. Namun, ini bertentangan dengan semangat konstitusi,” tegasnya kepada Tribunnews.com, Rabu (10/7/2013).

Menurut Fadli, ambang batas 20 persen yang ada dalam UU pilpres saat ini tak ada dasarnya kecuali argumentasi sumir soal sistem presidensial. Menurutnya, tanpa PT pun sistem presidensial kita saat ini sudah sangat kuat, bahkan terkuat di dunia.

“Sebaiknya pembicaraan ini dibawa ke diskursus publik,” ucapnya.

Dia menjelaskan, dalam UUD 1945 pasal 6 tak diamanatkan penetapan threshold. Konstitusi menyebutkan bahwa presiden dan wapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol. Sehingga, penetapan angka treshold untuk pencalonan presiden, jelas melanggar konstitusi dan mencederai prinsip civil rights dalam sistem demokrasi.

Pembatasan presidential treshold hanya membuat praktik politik transaksional terus berlanjut, dan kader-kader bangsa terbaik semakin sulit mendapat kesempatan dipilih sebagai capres di masa depan.

Bahkan, hal ini merupakan cermin oligarki partai secara sistemik yang melukai penghormatan terhadap hak setiap warga negara. Pada akhirnya, oligarki partai inilah yang memangkas hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan diri sebagai presiden.