Gara-gara Perdagangan Bebas, Gerindra: RI Hanya Jadi Pasar Produk Asing

Gara-gara Perdagangan Bebas, Gerindra: RI Hanya Jadi Pasar Produk Asing

Gara-gara Perdagangan Bebas, Gerindra RI Hanya Jadi Pasar Produk AsingSikap pemerintah yang mendukung liberalisasi atau perdagangan bebas saat ini sangat disesalkan. Karena liberalisasi perdagangan menutup banyak lapangan pekerjaan.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan, dirinya menyesalkan sikap Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, yang menyatakan mendukung penuh liberalisasi perdagangan antar negara untuk mendukung perekonomian dunia. Pernyataan ini disampaikan Gita dalam pertemuan World Economic Forum di Davos, Swiss.

“Pernyataan ini patut disayangkan. Selama ini liberalisasi perdagangan di Indonesia tak menguntungkan. Akibat perdagangan bebas yang tak adil, negara kita hanya menjadi pasar bagi negara-negara besar,” kata Fadli dalam pernyataannya kepada detikFinance, Rabu (30/1/2013).

Menurut Fadli, liberalisasi perdagangan menutup lapangan pekerjaan yang mencapai angka 7,5 juta jiwa. Artinya, jumlah pengangguran terbuka akan naik dua kali lipatnya.

“Bahkan ILO melaporkan akibat perdagangan bebas dengan RRC misalnya, Indonesia mengalami penurunan kesempatan pekerjaan sebanyak 188.635 orang. Sektor pertanian adalah sektor yang paling banyak kehilangan kesempatan kerjanya,” kata Fadli.

Dia mengatakan, sikap pemerintah yang membuka diri untuk bergabung dalam mekanisme perdagangan bebas, tidak diiringi oleh peningkatan daya saing produk dalam negeri. Karena itu saat ini barang impor di Indonesia mengalir lebih deras ketimbang ekspor yang dilakukan.

“Kita hanya jadi pasar bagi produk asing. Misalnya, pertumbuhan impor kita pasca ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) 54,97 persen, sementara ekspor Indonesia ke RRC hanya tumbuh 25,08 persen. RRC juga telah membeli 6.779 SNI (standar nasional Indonesia) dari kita,” ungkap Fadli.

Saat ini, Fadli meminta pemerintah melakukan evaluasi dan melindungi produk-produk dalam negeri yang belum siap dibebaskan. Harus ada proteksi dan promosi. “Kebijakan ini juga tetap dilakukan negara-negara maju. RRC dan AS tidak membuka pasarnya ketika manufakturnya belum kuat,” tambah Fadli.

Dia meminta pemrintah berusaha menahan laju serbuan produk asing untuk proteksi produk lokal, misalnya dengan Voluntary Export Restraint, kebijakan yang memaksa pembatasan barang negara eksportir.

“AS pernah melakukan ini ketika produk RRC membanjiri pasar. Pasar bebas, yang menjadi resep Washington Consensus, terbukti gagal dan sering merugikan masyarakat lemah. Pemerintah harusnya melakukan upaya nyata melindungi kepentingan nasional, bukan sebaliknya,” tegasnya.