
Wakil Ketua DPR Fadli Zon tidak setuju dengan usulan dikeluarkannya delik korupsi dari revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurut dia, pengaturan pasal terkait tindak pidana tak perlu dipisah-pisah.
“Masa kejahatan harus dipisah-pisah? Narkoba sendiri, ini sendiri. Jadi dijadikan satu, jangan tercerai berai,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Selasa (15/9/2015).
Rencana masuknya delik korupsi dalam RUU KUHP ditentang oleh sejumlah pihak, termasuk Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. Menurut Prasetyo, jika delik korupsi masuk RUU KUHP bisa menyebabkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi otomatis kehilangan kekhususannya.
Selain itu, masuknya delik korupsi dalam RUU KUHP juga ditentang Indonesia Corruption Watch. Masuknya delik korupsi dalam RUU KUHP dianggap akan memangkas fungsi KPK, terutama untuk fungsi penindakan korupsi.
Fungsi penindakan KPK diatur secara khusus dalam UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK. Dengan masuknya delik korupsi ke dalam KUHP, maka fungsi penindakan oleh KPK, seperti penyidikan dan penuntutan, akan dialihkan ke Polri dan Kejaksaan.
Meski demikian, Fadli menegaskan, dirinya tak berkeinginan untuk mereduksi sifat kekhususan penanganan kasus korupsi. Hanya saja, ia meminta, agar delik korupsi tidak dijadikan sebagai alat politik.
“Beberapa kali periode ini kan terjadi abuse of power dan itu terbukti dari oknum-oknumnya. Kita ingin memberantas korupsi, tapi tugas pemberantasan korupsi harus sistemik bukan tanggung jawab satu institusi,” ujarnya.