Fadli Zon: APBN Boros, Cermin Negara Salah Urus

Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini mencerminkan muka buruk pengelolaan negara oleh elit pemerintah. Pengelolaan APBN dinilai gagal memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan rakyat. Partai Gerindra menilai, ABPN justru ditempatkan sebagai instrumen “perburuan rente” bagi para oknum.

“Partai Gerindra menilai kondisi ini merupakan cermin dari salah urus negara yang dapat menyebabkan terjadinya lingkaran kemiskinan di Indonesia. Hal ini disebabkan penerimaan yang belum maksimal, penyerapan anggaran yang tak rasional dan belanja yang tak efektif serta boros,” ungkap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dalam keterangan pers di Restoran Pulau Dua, Selasa (26/7/2011).

Fadli mencatat, ada tujuh indikator dalam pengelolaan ABPN yang menguatkan penilaian Gerindra. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Indikator kedua adalah pertumbuhan hanya terjadi di sektor non-tradable, seperti sektor konsumsi. Padahal, menurut dia, sektor tradable, seperti pertanian, menyerap banyak tenaga kerja. Tapi ironisnya, alokasi dana untuk pertanian dalam APBN masih sangat rendah.

Indikator ketiganya adalah penerimaan negara melalui pajak belum maksimal yang ditunjukkan oleh tax ratio yang masih jauh ketinggalan dibanding Malaysia, Thailand dan Filipina. Selain itu, penyerapan anggaran juga tak rasional.

Menurut Gerindra, hanya realisasi belanja pegawai saja yang mencapai lebih dari 80 persen. Sementara yang lain masih di bawah 75 persen. Bahkan, realisasi belanja modal tak mencapai 50 persen.

Gerindra juga mencatat bahwa anggaran belanja tak digunakan secara efektif. Pos-pos anggaran yang dinilai tak efektif adalah anggaran vakasi, seperti untuk studi banding, anggaran bantuan sosial, anggaran bantuan sosial melalui kementerian dan lembaga, anggaran subsidi yang tidak efektif digunakan.

Indikator berikutnya adalah pembangunan yang salah arah karena tak memiliki prioritas yang fokus dan jelas. Seharusnya, lanjut Fadli, dari 14 prioritas pembangunan, pemerintah cukup fokus ke 3-5 prioritas setiap tahunnya, terutama bidang pertanian.

Sementara itu, indikator terakhirnya adalah korupsi di Indonesia semakin hari semakin merajalela. “Berbagai indikasi negara salah urus ini menjadi titik awal menuju negara gagal. Implikasi selanjutnya dapat menyebabkan krisis kepercayaan terhadap institusi-institusi yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan negara,” tandasnya.