Dinilai ”Terlambat”

Masyarakat Sumbar patut berbangga dan bersyukur dengan ditetapkannya Buya Hamka, dan Syafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan nasional. Buya Hamka yang bernama lengkap Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah, sudah sejak lama diusulkan menjadi pahlawan nasional, namun baru sekarang dikabulkan pemerintah pusat. Buya Hamka dikenal sebagai ulama, aktivis politik, wartawan, dan sekaligus sebagai penulis terkenal.
Begitu pula Syafruddin Prawiranegara, yang sudah diperjuangkan sebagai pahlawan nasional sejak 1989. Walau berasal dari Serang, Banten, namun Syafruddin tak terpisahkan dari sejarah perjuangan di Sumbar. Syafruddin adalah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesua (PDRI), dan tokoh sentral Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Dengan penetapan Buya Hamka, berarti sudah 14 tokoh pejuang asal Sumbar yang bergelar pahlawan nasional. Tapi dibanding daerah lain, Sumbar masih tergolong sedikit memiliki pahlawan nasional. Bersama Buya Hamka sebetulnya Pemprov Sumbar juga mengusulkan Siti Manggopoh, Tuanku Rao, Siti Rahmah El Yunusiah, Khatib Sulaiman, dan Siti Rohana Kudus, sebagai pahlawan nasional.
Terlambat
Sejarawan Unand Prof Gusti Asnan menilai, pemberian gelar pahlawan terhadap Buya Hamka sudah terlambat. “Seharusnya dari dulu sudah diberi gelar pahlawan karena sejak muda dia sudah banyak berbuat untuk bangsa,” ujarnya. Puncak kejayaan Buya Hamka sebenarnya pada tahun 1970-an. ”Tapi saat itu kan zaman orde baru, sementara dia tidak dekat dengan Soeharto. Akhirnya sosok kepahlawanannya diredam,” ujarnya.
Hamka akhirnya dapat gelar kepalawanan saat ini karena sikap ngotot orang daerah. Menurut Gusti, sosok Hamka lah salah satu yang amat dibanggakan orang Sumbar. Namun dia sangat menyangkan rendahnya apresiasi terhadap karya Hamka. Saat ini karya-karya ulama asal Ranah Minang ini di bidang agama dan sastra sulit dicari. Justru di Malaysia masih menjadikan Hamka sebagai referensi, bahkan karyanya dicetak berulang-ulang.
Selain itu, ulama saat ini tak ada lagi seperti Hamka. “Sekarang yang banyak ulama gaul, sekadar menghibur masyarakat tanpa ada nilai agama dan moral yang kuat yang berupaya ditanamkan kepada masyarakat,” tukasnya.
Sosok Hamka
Buya Hamka lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumbar pada 16 Februari 1908. Anak dari Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenal Haji Rasul, pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau ini, lebih banyak belajar secara otodidak. Hamka aktif di organisasi keagamaan Muhammadiyah, dan pernah tercatat sebagai ketua cabang Muhammadiyah di Padangpanjang, ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumbar, penasihat PP Muhammadiah.
Di politik, Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi, anggota Partai Politik Sarekat Islam (1925), Ketua Barisan Pertahanan Indonesia (1947), dan menjadi orator pada Pemilihan Raya Umum pada 1955. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjara pemerintahan Soekarno. Meski dapat siksaan fisik dan bathin, Hamka yang dituduh pro Malaysia, berhasil menulis Buku Tafsir Al-Azhar. Hamka tak dendam, saat Soekarno meninggal dunia, Hamka menjadi Imam Shalat jenazahnya.
Novel-novel Hamka yang terkenal dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura adalah “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Kabah” dan ”Merantau ke Deli”. Hamka juga seorang wartawan hebat. Sejak tahun 1920-an, dia wartawan Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Tahun 1928, menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat, tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Hamka juga editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Syafruddin Presiden
Gelar pahlawan nasional Syafruddin Prawiranegara, otomatis makin mengukuhkan kebenaran tentang PDRI dan PRRI. Sebagaimana ditegaskan dalam seminar-seminar tentang perjuangan Syafruddin, bahwa PDRI adalah bagian tak terpisahkan dari keberlangsungan NKRI. Sementara itu, PRRI bukanlah pemberontakan untuk berpisah dari NKRI, tapi sebagai koreksi atas sikap pemerintah pusat yang dipimpin Presiden Soekarno, yang amat dekat dengan komunis. PRRI sekaligus untuk mengingatkan tentang perhatian pusat yang sangat kurang ke daerah.
Fadli Zon, tokoh muda Sumbar yang aktif memperjuangkan Syafruddin sebagai pahlawan nasional, menyebutkan upaya pengusulan Syafruddin telah dimulai sejak tahun 1989. Lalu dilanjutkan pada 2001, dengan napak tilas PDRI. “Waktu itu, saya sekretaris panitia,” kata Fadli Zon, kepada Padang Ekspres, tadi malam. Fadli juga yang menggagas dan mengadakan seminar dan pameran foto tentang PDRI pada tahun 2006. “Pada 2007, kami menggelar seminar lagi di gedung MK (Mahkamah Konstitusi),” ujar Fadli.
Sebelum penetapan pahlawan nasional, April 2011 diadakan seminar tentang PDRI dan peran Syafruddin dalam memperjuangan keberlangsungan PDRI. Kegiatan ini adalah rangkaian “Satu Abad Mr. Syafruddin Prawiranegara”. “Bila masih belum juga (Syafruddin jadi pahlawan nasional), berarti pemerintah benar-benar gak tahu sejarah,” tegas Fadli.
Dalam seminar April itu, ditegaskan bahwa Syafruddin yang sebagai ketua PDRI, adalah presiden RI secara defacto dan dejure. PDRI lahir untuk menyambung eksistensi NKRI, yang oleh kolonial Belanda dianggap telah lenyap, karena Ibukota Yogyakarta mereka kuasai, dan pemimpin bangsa ini mereka tawan. Sebelumnya Presiden SBY telah mengeluarkan Keppres  tentang peringatan hari bela negera (HBN) setiap 19 Desember (1948)—Pembentukan PDRI.