Banyak Mal, Tanda Majunya Jakarta?

Pesatnya pembangunan ternyata bukan jaminan majunya sebuah kota. Setidaknya itu pandangan sosiolog asal Universitas Indonesia, Imam Prasodjo. Imam menilai pesatnya pembangunan, terutama mal, di suatu kota menandakan kota tersebut tidak berkembang dengan baik. Banyaknya mal ini juga akhirnya akan menghilangkan ruang publik.

“Tanda-tanda tidak berkembangnya suatu kota adalah banyak berdirinya mal (pusat perbelanjaan, red),” kata Imam Prasojo dalam diskusi “Jakarta Tenggelam” di Fadli Zon Library, Jakarta, Kamis 23 September 2010.

Menurutnya, persepsi banyak mal sebagai tanda kota sudah berkembang merupakan pemahaman yang salah. “Itu kesesatan cara berpikir. Padahal itu (banyak mal berdiri) mengindikasikan banyaknya public space (ruang publik) seperti play ground dan taman yang hilang. Apalagi kalau banyak yang jalan-jalan di mal, itu tanda-tanda masyarakat ‘sakit’,” ujar Imam lebih lanjut.

Imam menjelaskan, persyaratan kota modern yang perlu diperhatikan adalah berupa syarat terbukanya peluang dan adanya pelayanan dasar yang baik kepada masyarakat.

“Pelayanan dasar bukan lomba pembuatan mal. Itu persepsi salah jika kota berkembang apabila besar malnya,” ujar Imam. Namun yang dimaksud pelayanan dasar adalah adanya pelayanan kesehatan, pendidikan dan hunian yang baik kepada warganya.

Selain itu, diperlukan kepemimpinan yang baik dan nilai estetika yang terdapat di kota tersebut agar dapat dianggap sebagai kota modern.

Sementara itu, pengamat kebijakan publik, Andrianof Chaniago, menganggap perlu adanya moratorium pembangunan di Jakarta sebagai solusi berbagai masalah di Jakarta. “Pembangunan harus dihentikan. Orientasi harus pada penataan bangunan, bukan orientasi untuk menambah bangunan yang ada,” ujar Adrianof.

Selain itu, Adrianof juga meminta Pemda DKI tidak terlalu berbangga hati dengan turunnya tingkat urbanisasi di Jakarta dari tahun ke tahun. “Memang perumbuhan penduduk di Jakarta hanya 1 persen, tapi jangan lupa ada peningkatan 3,5 persen di wilayah penyangga DKI, seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi,” ujar Adrianof.

Hal ini secara langsung tetap akan berimbas terhadap Jakarta. “Sekarang kecenderungannya, karena kepadatan hunian di Jakarta maka para pendatang memilih menetap di Bodetabek tapi mereka tetap beraktivitas di Jakarta” ujar Adrianof. Inilah yang membuat kemacetan tidak dapat teratasi secara maksimal.