Babe Ridwan Saidi: Puisi Politik Fadli, Ngeri!

Babe Ridwan Saidi: Puisi Politik Fadli, Ngeri!

budayawan betawi bersama fadli zon

“Puisi Fadli Ngeri! Saya baru ketemu model puisi seperti karya Fadli Zon. Pesan sangat tegas, tema pun aktual. Cara pengungkapan tidak keluar dari rima artinya masih dalam koridor puisi. ”

Demikian penilaian budayawan Betawi ‘Babe’ Ridwan Saidi dalam Sarasehan Budaya dan Peluncuran Buku Antologi Puisi Politik Fadli Zon “Ada Genderuwo di Istana” di Restoran Al Jazeerah, Polonia, di Jalan Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, Senin (8/4/2019) lalu.

Dari situlah, kata Ridwan Saidi, kita kenali bahwa yang ditulis Fadli Zon adalah puisi. Karena kita sudah terbiasa dengan puisi yang pesannya tidak jelas, tema pun tidak kita pahami.  Karena puisi-puisi tersebut penuh dengan metafora. Jadi kita hanya memperkira saja, jangan-jangan ini hanya puisi cinta, atau puisi renungan nasib diri.  Tapi, begitu kita membaca judul puisi Fadli Zon, langsung kita berpapasan dengan politik.

“Apakah ini salah? Tidak ada yang salah dalam puisi, apalagi mempidanakan puisi. Tidak pernah terjadi dalam sejarah. ltulah keuntungan menggunakan puisi sebagai infrastruktur ungkapan perasaan. Berbeda dengan misalnya penulisan kolom. Fadli dengan sangat cerdik menggunakan infrastruktur puisi untuk membawa muatan ungkapan-ungkapan perasaan dia di bidang politik,” ungkap Babe, begitu ia akrab disapa.

Sejauh ini, lanjut Babe, banyak sekali puisi yang bernuansa romantis, dimana puisi-puisinya hanya mengisahkan hidup penyairnya dalam urusan pangan dan cintanya sendiri. Tapi Fadli berbeda, karena ia menulis puisi-puisi yang tercipta dari kejengkelan pada realita politik yang di dasarkan pada ketololan para pelakunya.

“Tolol itu endemik. Hampir tanpa waktu untuk inkubasi. Sebenarnya, Fadli itu orang yang ketakutan ketularan tolol. Perasaan dia tersiksa oleh panorama politik tolol. Itulah yang mendorong, dan memicu dia untuk melahirkan puisi. Dari sinilah keistimewaan Fadli. Puisinya pun gamblang dan bicara langsung apa adanya. Tidak berputarputar.”

Yang agak tersamar adalah sajak orang kaget. Tapi selebihnya kita mudah mencerna sajak-sajak Fadli. Ini yang mungkin disebut sebagai sajak milenial. Dia tetap sajak, tapi penampilannya kekinian. Kekinian itu artinya bicara sesuai konteks dan realita yang terjadi.

“Jika bicara pantun betawi yang sangat berterus terang, pantun betawi pun diringkas dari empat baris menjadi dua baris yang kita kenal dengan istilah cengcowakan. Misalnya begini:

‘apa itu di atas pagar

perut gue laper tahu”

Dikatakan Babe Ridwan, melihat perubahan seperti itu, kita tidak boleh marah. Karena ini adalah konsekuensi dari era cyber society, dimana orang tidak mau membuang waktunya untuk merenung dan euphemisme. Orang hanya mau terang-terangan langsung bicara pada persoalan. Tidak menggelap-gelapkan puisi dan terjebak pada phrase puitis. Ini yang bisa kita temukan dalam puisi-puisi Fadli.

“Ini menjadi salah satu tanda bahwa hari ini, orang-orang semakin malas untuk merenung. Tetapi kita tidak perlu cemas dalam keadaan seperti ini, karena ini hanya selintas saja. Dan orang-orang akan kembali pada kontemplasi karena renungan adalah matriks kehidupan,” jelas Babe.

 

Sumber